TASAWUF
IRFANI
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
yang diampu oleh Bapak
Moch. Cholid Wardi, M.H.I.
Disusun
Oleh :
Musdalifah
Musyahrotin
Nur
Imania Ramadhanti
Nuriyah
Nuril
Fahmi Ariantika
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillah,
puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat limpahan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah mengenai “Tasawuf Irfani” dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan tepat waktu.
Shalawat
serta salam selalu kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya, atas jasa beliau kita sebagai umat Islam
bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlak yang mulia, rahmat dan kasih sayang yang
selalu tumbuh diantara umatnya.
Kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Tidak ada kesempurnaan dalam makalah ini karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT.
Dalam
penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami memohon maaf apabila dalam makalah terdapat kesalahan yang tidak kami
sengaja. Dan kami mengharap kritik serta saran dari para pembaca agar kami
dapat menjadi lebih baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb.
Pamekasan, 2 Oktober 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
|
|
HALAMAN JUDUL .................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ...................................................................
B. Rumusan
Masalah ..............................................................
C. Tujuan
Masalah ..................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf Irfani .........................................................
B. Hakikat Tasawuf Irfani .........................................................
C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani ...............................................
D. Konsep Ajaran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani ......................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
...........................................................................
B. Saran
.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
|
i
ii
iii
1
1
2
3
4
6
9
17
17
18
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tasawuf
adalah membersihkan hati dan apa yang mengganggu makhluk, berjuang meninggalkan
pengaruh budi yang asal kita memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan
kita, menjauhkan diri dari seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian,
bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih
kekal.
Salah
satu ajaran yang terdapat dalam tasawuf yaitu tasawuf irfani. Tasawuf irfani
tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antarmanusia. Tasawuf
irfani membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita
lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena
semuanya hanya untuk Allah SWT. Sehingga
tidak ingin dipuji, atau jika
dipuji tidak pernah berubah karena pujian tersebut.
Dalam
tasawuf irfani terdapat beberapa tokoh sufi yang terkenal. Tokoh-tokoh tersebut
memiliki pemikiran dan konsep mengenai ajaran-ajaran yang berkaitan dengan
tasawuf irfani. Ajaran ini juga dikenal dengan cara pandang tokohnya yang sulit
dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, ada sufi yang ditangkap dan
dipenjarakan karena pemikiran dan ucapannya yang membingungkan bagi orang-orang
awam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2. Bagaimana hakikat tasawuf irfani?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf irfani?
4. Bagaimana konsep ajaran tokoh-tokoh
tasawuf irfani?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan tasawuf irfani.
2.
Untuk
mengetahui hakikat tasawuf irfani.
3.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh tasawuf irfani.
4.
Untuk
mengetahui konsep ajaran tokoh-tokoh tasawuf irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tasawuf Irfani
Secara
etimologis, kata ‘irfan merupakan
kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’
(mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan makrifat sufistik.[1]
Tasawuf
irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat
diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi
melalui pemberian Tuhan (mauhibah).
Ilmu ini diperoleh karena manusia yang melakukan tasawuf berupaya melakukan tasfiyat
al-qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara
batin dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah SWT ke
dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).[2]
Inti
dari tasawuf irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamba dengan Tuhan
dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk selain-Nya. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan tasawuf irfani adalah tasawuf yang mendasarkan
pedomannya kepada makrifat atau pengetahuan terhadap Tuhan sebagai dasar atau
inti dari landasan tasawufnya.[3]
B.
Hakikat Irfani
Tasawuf irfani
membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan.
Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya hanya untuk Allah SWT. Orang yang ‘irfan/makrifat kepada Allah adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq
dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah orang yang bermakrifat
kepada Allah SWT.
Terkadang kata itu diidentikkan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang
tampak pada diri seorang ’arif (orang
yang bermakrifat kepada Allah SWT), dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, “ ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh
penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu.”[4]
Adapun
tanda-tanda seorang ‘arif menurut
Al-Misri, yaitu cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, ia tidak
berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir, dan banyaknya nikmat Tuhan
tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan. Paparan Al-Misri
menunjukkan bahwa seorang ‘arif yang
sempurna selalu melaksanakan perintah Allah SWT, terikat hanya kepada-Nya,
senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apa pun, dan semakin dekat serta menyatu
kepada-Nya.[5]
Pada awalnya, ‘irfan adalah pengganti istilah tasawuf
dalam perspektif kaum Syi’i. ‘Irfan terbagi
menjadi dua bagian, yaitu ‘irfan ilmi dan
‘irfan amali. ‘Irfan ilmi bersifat
teoretis, sementara ‘irfan amali bersifat
praktis. Menurut Murtadha Mutahari, ‘irfan
amali menjelaskan hubungan vertikal antara hamba dan Allah SWT. Di samping
itu, membahas tanggung jawab bersama terhadap dirinya sendiri dan dunia yang
ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ‘irfan
amali lebih mirip dengan akhlak dalam tasawuf. Adapun ‘irfan ilmi berhubungan dengan ontologi yang membicarakan Tuhan,
dunia, dan manusia. Aspek ini sangat mirip dengan filsafat teologi. Bidang yang
dibahas adalah falsafah Ilahiah.[6]
Dalam pandangan
seorang ‘arif, kesempurnaan manusia
tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta, tetapi
terletak pada kemampuan untuk kembali kepada sumber segala sesuatu, kemampuan
untuk mengatasi jarak antara dirinya dengan zat Tuhan, dan dalam dekapan-Nya,
untuk meleburkan diri hingga ia menjadi abadi dalam ketakterhinggaan-Nya.[7]
Irfan secara
etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan
suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah SWT. Akan keniscayaan suatu
bentuk pengetahuan yang lebih hakiki daripada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq)
pancaindra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan Irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk
pengetahuan hudhuri yang memiliki
derajat tinggi.
Ajaran Irfan
sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya
hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata,
begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat
rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya
ia telah memiliki pola pemikiran Irfan. Tidak seluruh Irfani memiliki substansi
ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.
Berikut ini
penjelasan masing-masing bagian dari metode Irfani:
1. Riyadhah.
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya
membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu
pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang
benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat
maksimat atau dosa. Riyadhah bukanlah
perkara mudah, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan
sifat-sifat buruk. Dengan kata lain, riyadhah
dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal
positif secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh
negatif dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
2. Tafakur
(Refleksi). Secara harfiyah takafur berarti memikirkan sesuatu
secara mendalam, sistematis, dan terperinci. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam
Badri, 1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika
hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah.
3. Tazkiyat
An-Nafs. Secara harfiyah (etimologi) tazkiyat an-nafs terdiri dari dua kata,
yaitu tazkiyat dan an-nafs. Kata tazkiyat berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari
kata zakka yang berarti penyucian.
Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti
psikis. Dengan begitu dapat diketahui tazkiyat
an-nafs bermakna penyucian jiwa.
4. Dzikrullah.
Istilah zikr berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan,
mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat. Berzikir kepada Allah SWT berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri
kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha
Agung dan Maha Suci. Dzikrullah adalah
tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman
ruhiyah (batin).[8]
C.
Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
1.
Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah
Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713
M atau pada tahun 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan
wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia di lahirkan sebagai putri keempat
dari keluarga yg sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tuanya
menamakannya Rabi’ah.
Kedua orangtuanya meninggal ketika ia
masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari Suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia
dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia
bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas
kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah
hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia
menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi
kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi
yg diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yg
bersifat materi dari Tuhan.[9]
2.
Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun
Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M
dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang di berikan Allah SWT kepadanya. Di
antaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan
selamat di Sungai
Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula
Al-Misri tidak banyak di ketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak
di utarakan. Al-Misri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi
Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Siria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah,
dan Lembah Kan’an. Hal ini menyebakan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan
mendalam. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil
Al-Maghribiy. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu
syari’at maupun tasawuf.[10]
3.
Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya
adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah
Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama
Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk
Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya,
tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu
Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya
akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan
kehalalannya.
Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu hakikat,
dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk
buku.[11]
4.
Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkap
Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi,
lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia
tumbuh dewasa di Kota
Wasith, dekat Bahgdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi
terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun
kemudian, ia pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang
sufi, dan pada tahun 878 M, ia masuk ke Kota
Bahgdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari
suatu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
ilmu tasawuf. Ia diberi gelar Al-Hallaj karna penghidupannya yang diperoleh
dari memintal Wol.
Dalam semua
perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti Khurasan,
Ahwaz, India, Turkistan dan Mekkah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia
kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad, pengikutnya
semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan Pemerintah yang berkuasa
pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga
istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang
bersih.
Al-Hallaj wafat
pada tahun 922 M. Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak
membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang.[12]
D.
Konsep Ajaran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani
1.
Ajaran Rabi’ah Al-Adawiyah (Muhabbah/Cinta)
Dalam
perkembangan mistisisme dalam Islam, Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Cinta Rabi’ah kepada
Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga
membuatnya hadir bersama Tuhan. Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta
dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan
kepadanya. Di antara sya’ir cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:
“Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta
karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta
karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta
karena diri-Mu
adalah
keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik
ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu
pujian untuk kesemuanya.”
Al-Ghazali
memberikan ulasan tentang sya’ir Rabi’ah sebagai berikut, “Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena
dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia
ini, sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan
keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta
yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan
kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis
Qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh,
Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak
terbesit di kalbu manusia.” “[13]
Kecintaan kepada
Allah SWT akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hati manusia, dan hal
ini merupakan nikmat yang terbesar dalam kehidupan seseorang. Manusia yang
mecintai Allah SWT maka Allah SWT pun juga mencintainya, orang itu akan
mendapatkan kasih sayang-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.[14]
2.
Ajaran Dzu An-Nun Al-Misri
a.
Makrifat
Al-Misri adalah
pelopor paham makrifat. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat
makrifat:
1) Sesungguhnya makrifat yang hakiki
bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang
mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan
nazhar milik para hakim, mutakalimin,
dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan
hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk
hamba-hamba-Nya yang lain.
2) Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa
Allah SWT menyinari hatimu dengan
cahaya makrifat yang murni
seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah
seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehingga terasa hilang dirinya, lebur
dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan
Allah SWT pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah SWT,
mereka berbuat dengan perbuatan Allah
SWT.[15]
Kedua pandangan
Al-Misri di atas
menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui
pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin,
yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga
semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat)
menjadi tiga macam, yaitu pengetahuan untuk seluruh muslim, pengetahuan khusus
untuk para filosof dan ulama, dan pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.[16]
b.
Maqamat dan Ahwal
Pandangan
Al-Misri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakkal, dan
ar-ridha.
Mengenai maqam at-taubah, menurut Al-Misri ada
dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas.[17] Lebih lanjut, Al-Misri membagi tobat menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
1) Orang yang bertobat dari dosa dan
keburukannya.
2) Orang yang bertobat dari kelalaian dan
kealfaan mengingat Tuhan.
3) Orang yang bertobat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya.
Keterangan
Al-Misri tentang maqam ash-shabr
dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia
menjenguk orang yang sedang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri
berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar
orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.” Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang
merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”[18] Menurut
Al-Misri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah SWT, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dari-Nya,
menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.[19]
Berkenaan dengan
maqam at-tawakkal, Al-Misri
mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki
daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT disertai perasaan
tidak memiliki kekuatan.[20]
Ketika ditanya
tentang maqam ar-ridha, Al-Misri
menjawab bahwa ar-ridha adalah
kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Al-Qannad, yakni ar-ridha
adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan.
Mengenai ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai
urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab,
tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya,
yakni Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan
sunnahnya. Artinya, orang-orang yang mencintai Allah SWT senantiasa mengikuti
sunnah rasul, tidak mengabaikan syariat.
Dalam salah satu
doanya, Al-Misri berkata,[21] “Ya
Allah, sesungguhnya rahmat-Mu yang luas lebih kami dambakan daripada amal yang
kami lakukan, dan kami lebih mengharapkan ampunan-Mu daripada siksa-Mu.”[22]
3.
Ajaran Abu Yazid Al-Bustami
a.
Fana’ dan Baqa’
Ajaran tasawuf
terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan
baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf, fana’
adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke
tahap fana’ terjadi setelah
meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.[23]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam
mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana
caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan
menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan
kemarilah.”
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji
kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat
dipisahkan dengan paham fana’.
Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga ia sedang menjalani
baqa’.[24]
b.
Ittihad
Ittihad
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’.[25] Dalam tahapan ittihad, seorang
sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu,
baik substansi maupun perbuatannya.
Dengan fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan
dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan
dapat dilihat dari syatahat yang
diucapkannya. Syatahat adalah
ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang
demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[26]
“Aku tidak heran terhadap
cintaku pada-Mu
Karena aku hanyalah
hamba yang hina
Tetapi aku heran
terhadap cinta-Nya padaku
Karena Engkau adalah
Raja Mahakuasa.”
Tatkala
berada dalam tahapan ittihad, Abu
Yazid berkata:
“Tuhan
berkata, “Semua mereka --kecuali engkau-- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku
adalah Engkau.”
Sehabis shalat subuh, Abu Yazid pernah
berucap:
“Tidak
ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika
seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu
menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid
berkata, “Pergilah, di rumah ini tidak
ada Abu Yazid, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.”[27]
4.
Ajaran Abu Manshur Al-Hallaj (Hulul dan Wahdat
Asy-Syuhud)
Diantara ajaran
tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat
asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul).
Kata al-hulul berdasarkan pengertian bahasa,
berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[28]
Berikut ini salah satu
sya’ir Al-Hallaj:
“Mahasuci Dzat yang
sifat kemanusiaan_Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian
kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata. dalam bentuk manusia yang makan dan
minum.”
Melalui sya’ir diatas, Al-Hallaj memperlihatkan bahwa
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).[29] Dengan
demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama
dengan Tuhan, seperti terlihat dalam sya’irnya:
“Aku adalah rahasia
yang Mahabenar dan bukanlah yang Mahabesar itu aku, aku hanya satu dari yang
benar maka bedakanlah antara kami.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah sesungguhnya karena
member pengertian secara jelas adanya perbedaan antar hamba dan Tuhan.[30]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Inti
dari tasawuf irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamba dengan Tuhan
dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk selain-Nya.
Orang
yang ‘irfan/makrifat kepada Allah SWT
adalah yang benar-benar mengenal Allah SWT melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan).
‘Irfan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu ‘irfan ilmi dan ‘irfan amali. ‘Irfan ilmi bersifat
teoretis, sementara ‘irfan amali bersifat
praktis.
Terdapat
beberapa tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani. Diantaranya Rabi’ah
Al-Adawiyah yang tercatat pada perkembangan mistisme sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta (muhabbah) kepada Allah SWT. Dzun An-Nun
Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami
dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’
dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj
dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat
asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
B.
SARAN
Setelah
kita mengetahui dan memahami tentang tasawuf irfani dan tokoh-tokoh tasawuf
irfani serta konsep ajarannya, sepatutnya kita mengambil nilai positif dari
hal-hal tersebut. Melakukan pendekatan hanya semata-mata ingin mendapat ridha
Allah SWT dan melaksanakan sesuatu hanya berlandaskan hukum-hukum Allah SWT.
Sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak
terlalaikan oleh kenikmatan dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Amin , Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2015.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani
Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh
Sufi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013.
Solichin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.
Solihin, Muhammad dan Rosihon
Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2008.
[1] Muhammad Solihin dan
Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 145.
[2] Ahmad
Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak
Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan
Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 27.
[5] Ibid. hlm. 155-156.
[7] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 93.
[9] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010), hlm. 253.
[11] Ibid. hlm. 265.
[14] Mohammad Muchlis
Solichin, Akhlak & Tasawuf dalam
Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah, (Surabaya: Pena Salsabila,
2014), hlm. 158.
[17] Ibid. hlm. 156.
[19] Ibid. hlm. 152.
[21] Ibid. hlm. 158.
[22] Ibid. hlm. 159.
[24] Ibid. hlm. 161.
[26] Ibid. hlm. 162.
[28] Ibid. hlm. 166.
[29] Ibid. hlm. 167.
[30] Ibid. hlm. 169.
sangat bermanfaat sekali
BalasHapussangat bermanfaat sekali
BalasHapus