Jumat, 08 Desember 2017

Makalah Tasawuf Irfani



TASAWUF IRFANI


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.


Disusun Oleh :

Musdalifah
Musyahrotin
Nur Imania Ramadhanti
Nuriyah
Nuril Fahmi Ariantika







PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Tasawuf Irfani” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf dengan tepat waktu.
              Shalawat serta salam selalu kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, atas jasa beliau kita sebagai umat Islam bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlak yang mulia, rahmat dan kasih sayang yang selalu tumbuh diantara umatnya.
              Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Tidak ada kesempurnaan dalam makalah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
              Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila dalam makalah terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Dan kami mengharap kritik serta saran dari para pembaca agar kami dapat menjadi lebih baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya.
              Akhir kata, semoga makalah ini bisa membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
 Wassalamualaikum wr.wb.

Pamekasan, 2 Oktober 2017
Penulis,                                   





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL  .................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI   .............................................................................................
BAB I  PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang    ...................................................................
B.    Rumusan Masalah    ..............................................................
C.    Tujuan Masalah    ..................................................................

BAB II  PEMBAHASAN
A.       Definisi Tasawuf Irfani .........................................................
B.       Hakikat Tasawuf Irfani .........................................................
C.       Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani ...............................................
D.       Konsep Ajaran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani ......................

BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan ...........................................................................
B.    Saran .....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA  ...............................................................................

  i
 ii
iii

  1
  1
  2


  3
  4
  6
  9


17
17

18







BAB I
PENDAHULUAN

      A.    LATAR BELAKANG

Tasawuf adalah membersihkan hati dan apa yang mengganggu makhluk, berjuang meninggalkan pengaruh budi yang asal kita memadamkan sifat-sifat yang merupakan kelemahan kita, menjauhkan diri dari seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal.
Salah satu ajaran yang terdapat dalam tasawuf yaitu tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antarmanusia. Tasawuf irfani membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya  hanya untuk Allah SWT. Sehingga tidak ingin dipuji, atau jika dipuji tidak pernah berubah karena pujian tersebut.
Dalam tasawuf irfani terdapat beberapa tokoh sufi yang terkenal. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran dan konsep mengenai ajaran-ajaran yang berkaitan dengan tasawuf irfani. Ajaran ini juga dikenal dengan cara pandang tokohnya yang sulit dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena pemikiran dan ucapannya yang membingungkan bagi orang-orang awam.

      B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan tasawuf irfani?
2.      Bagaimana hakikat tasawuf irfani?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf irfani?
4.      Bagaimana konsep ajaran tokoh-tokoh tasawuf irfani?

        C.    TUJUAN MASALAH
1.         Untuk mengetahui yang dimaksud dengan tasawuf irfani.
2.         Untuk mengetahui hakikat tasawuf irfani.
3.         Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf irfani.
4.         Untuk mengetahui konsep ajaran tokoh-tokoh tasawuf irfani.






BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Definisi Tasawuf Irfani

Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan makrifat sufistik.[1]
Tasawuf irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu ini diperoleh karena manusia yang melakukan tasawuf berupaya melakukan tasfiyat  al-qalb. Dengan hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batin dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah SWT ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).[2]
Inti dari tasawuf irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamba dengan Tuhan dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk selain-Nya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan tasawuf irfani adalah tasawuf yang mendasarkan pedomannya kepada makrifat atau pengetahuan terhadap Tuhan sebagai dasar atau inti dari landasan tasawufnya.[3]

       B.     Hakikat Irfani

Tasawuf irfani membahas mengenai apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Hal tersebut merupakan tingkatan ikhlas yang paling tinggi karena semuanya  hanya untuk Allah SWT. Orang yang ‘irfan/makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah orang yang bermakrifat kepada Allah SWT. Terkadang kata itu diidentikkan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang ’arif (orang yang bermakrifat kepada Allah SWT), dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, “ ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu.[4]
Adapun tanda-tanda seorang ‘arif menurut Al-Misri, yaitu cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir, dan banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan. Paparan Al-Misri menunjukkan bahwa seorang ‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah SWT, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apa pun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya.[5]
Pada awalnya, ‘irfan adalah pengganti istilah tasawuf dalam perspektif kaum Syi’i. ‘Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘irfan ilmi dan ‘irfan amali. ‘Irfan ilmi bersifat teoretis, sementara ‘irfan amali bersifat praktis. Menurut Murtadha Mutahari, ‘irfan amali menjelaskan hubungan vertikal antara hamba dan Allah SWT. Di samping itu, membahas tanggung jawab bersama terhadap dirinya sendiri dan dunia yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ‘irfan amali lebih mirip dengan akhlak dalam tasawuf. Adapun ‘irfan ilmi berhubungan dengan ontologi yang membicarakan Tuhan, dunia, dan manusia. Aspek ini sangat mirip dengan filsafat teologi. Bidang yang dibahas adalah falsafah Ilahiah.[6]
Dalam pandangan seorang ‘arif, kesempurnaan manusia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta, tetapi terletak pada kemampuan untuk kembali kepada sumber segala sesuatu, kemampuan untuk mengatasi jarak antara dirinya dengan zat Tuhan, dan dalam dekapan-Nya, untuk meleburkan diri hingga ia menjadi abadi dalam ketakterhinggaan-Nya.[7]
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu Irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan suluk (riyadha) seorang hamba kepada Allah SWT. Akan keniscayaan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki daripada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) pancaindra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan Irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Ajaran Irfan sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu pula apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran Irfan. Tidak seluruh Irfani memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang.
Berikut ini penjelasan masing-masing bagian dari metode Irfani:
1.      Riyadhah. Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksimat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk. Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
2.      Tafakur (Refleksi). Secara harfiyah takafur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis, dan terperinci. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri, 1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah.
3.      Tazkiyat An-Nafs. Secara harfiyah (etimologi) tazkiyat an-nafs terdiri dari dua kata, yaitu tazkiyat dan an-nafs. Kata tazkiyat berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata zakka yang berarti penyucian. Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui tazkiyat an-nafs bermakna penyucian jiwa.
4.      Dzikrullah. Istilah zikr berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat-ingat. Berzikir kepada Allah SWT berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha Suci. Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin).[8]

       C.    Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani

1.      Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau pada tahun 99 H/717 M di suatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia di lahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yg sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tuanya menamakannya Rabi’ah.
Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari Suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yg diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yg bersifat materi dari Tuhan.[9]

2.      Dzu An-Nun Al-Misri
Dzu An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang di berikan Allah SWT kepadanya. Di antaranya, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di Sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Misri tidak banyak di ketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak di utarakan. Al-Misri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Siria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini menyebakan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.[10]

3.      Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai keajaiban. Kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.[11]

4.      Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia tumbuh dewasa di Kota Wasith, dekat Bahgdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian, ia pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia masuk ke Kota Bahgdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi mengembara dari suatu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia diberi gelar Al-Hallaj karna penghidupannya yang diperoleh dari memintal Wol.
Dalam semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan dan Mekkah, Al-Hallaj banyak memperoleh pengikut. Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di Baghdad, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan Pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M. Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang.[12]

       D.    Konsep Ajaran Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani

1.      Ajaran Rabi’ah Al-Adawiyah (Muhabbah/Cinta)
Dalam perkembangan mistisisme dalam Islam, Rabi’ah Al-Adawiyah tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Di antara sya’ir cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu
adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.”

Al-Ghazali memberikan ulasan tentang sya’ir Rabi’ah sebagai berikut, “Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini, sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis Qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit di kalbu manusia.” [13]

Kecintaan kepada Allah SWT akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hati manusia, dan hal ini merupakan nikmat yang terbesar dalam kehidupan seseorang. Manusia yang mecintai Allah SWT maka Allah SWT pun juga mencintainya, orang itu akan mendapatkan kasih sayang-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.[14]

2.      Ajaran Dzu An-Nun Al-Misri
a.      Makrifat
Al-Misri adalah pelopor paham makrifat. Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat makrifat:
1)      Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah SWT. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2)      Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah SWT pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah SWT, mereka berbuat dengan perbuatan Allah SWT.[15]

Kedua pandangan Al-Misri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.  Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu pengetahuan untuk seluruh muslim, pengetahuan khusus untuk para filosof dan ulama, dan pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.[16]

b.      Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Misri tentang maqamat dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakkal, dan ar-ridha.
Mengenai maqam at-taubah, menurut Al-Misri ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas.[17]  Lebih lanjut, Al-Misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1)      Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.
2)      Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
3)      Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

Keterangan Al-Misri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sedang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Misri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan.”  Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”[18]  Menurut Al-Misri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dari-Nya, menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.[19]
Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, Al-Misri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.[20]
Ketika ditanya tentang maqam ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qannad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan.
Mengenai ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang-orang yang mencintai Allah SWT adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya. Artinya, orang-orang yang mencintai Allah SWT senantiasa mengikuti sunnah rasul, tidak mengabaikan syariat.
Dalam salah satu doanya, Al-Misri berkata,[21] “Ya Allah, sesungguhnya rahmat-Mu yang luas lebih kami dambakan daripada amal yang kami lakukan, dan kami lebih mengharapkan ampunan-Mu daripada siksa-Mu.”[22]

3.      Ajaran Abu Yazid Al-Bustami
a.      Fana’ dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.[23]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?”  Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.”
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[24]


b.      Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’.[25]  Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dengan fana’-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari syatahat yang diucapkannya. Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[26]
     
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu
Karena aku hanyalah hamba yang hina
Tetapi aku heran terhadap cinta-Nya padaku
Karena Engkau adalah Raja Mahakuasa.”

Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
                    
“Tuhan berkata, “Semua mereka --kecuali engkau-- adalah makhluk.”  Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”

Sehabis shalat subuh, Abu Yazid pernah berucap:
         
“Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid” Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.”[27]

4.      Ajaran Abu Manshur Al-Hallaj (Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud)
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul).
Kata al-hulul berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[28]

Berikut ini salah satu sya’ir Al-Hallaj:
     
“Mahasuci Dzat yang sifat kemanusiaan_Nya membuka rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata. dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”
Melalui sya’ir diatas, Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut).[29] Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam sya’irnya:
               
“Aku adalah rahasia yang Mahabenar dan bukanlah yang Mahabesar itu aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami.”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah sesungguhnya karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan antar hamba dan Tuhan.[30]

  

 


BAB III
PENUTUP

        A.    KESIMPULAN

Inti dari tasawuf irfani adalah pendekatan yang intens seorang hamba dengan Tuhan dengan sedekat-dekatnya dan menutup ruang hatinya untuk selain-Nya.
Orang yang ‘irfan/makrifat kepada Allah SWT adalah yang benar-benar mengenal Allah SWT melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). ‘Irfan terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘irfan ilmi dan ‘irfan amali. ‘Irfan ilmi bersifat teoretis, sementara ‘irfan amali bersifat praktis.
            Terdapat beberapa tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani. Diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah yang tercatat pada perkembangan mistisme sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (muhabbah) kepada Allah SWT. Dzun An-Nun Al-Misri yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.

       B.     SARAN

Setelah kita mengetahui dan memahami tentang tasawuf irfani dan tokoh-tokoh tasawuf irfani serta konsep ajarannya, sepatutnya kita mengambil nilai positif dari hal-hal tersebut. Melakukan pendekatan hanya semata-mata ingin mendapat ridha Allah SWT dan melaksanakan sesuatu hanya berlandaskan hukum-hukum Allah SWT. Sehingga kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak terlalaikan oleh kenikmatan dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Amin , Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah, 2015.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013.
Solichin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.
Solihin, Muhammad dan Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008.


[1] Muhammad Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 145.
[2] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 27.
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 241.
[4] Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 145.
[5] Ibid. hlm. 155-156.
[6] Samsul, Ilmu Tasawuf, hlm.240.
[7] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 93.
[8] Nasution, Akhlak Tasawuf, hlm. 27.
[9] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 253.
[10] Ibid. hlm. 257.
[11] Ibid. hlm. 265.
[12] Ibid. hlm. 269.
[13] Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 148.
[14] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah, (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 158.
[15] Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 153.
[16] Ibid. hlm. 154.
[17] Ibid. hlm. 156.
[18] Ibid. hlm. 157
[19] Ibid. hlm. 152.
[20] Ibid. hlm. 157.
[21] Ibid. hlm. 158.
[22] Ibid. hlm. 159.
[23] Ibid. hlm. 160.
[24] Ibid. hlm. 161.
[25] Ibid. hlm. 161.
[26] Ibid. hlm. 162.
[27] Ibid. hlm. 163.
[28] Ibid. hlm. 166.
[29] Ibid. hlm. 167.
[30] Ibid. hlm. 169.

2 komentar: