AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER
METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
yang Diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Disusun
Oleh :
Ach. Sofwan Fanani Sayadi
Atiqurrahman
Erico Feri Sandi
Hafid
Khaffaf Badar Ilhami
PROGAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT. atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
masih sangat sederhana dengan judul “AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM
ISLAM"
Sholawat beserta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. Yang mana beliau telah mengangkis kita minadz
dzulumati ilan nur dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
Kami berharap semoga makalah ini bisa membantu, menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, dan semoga makalah ini bisa
menjadi pedoman untuk menjaga dan selalu berhati-hati dalam menjaga hati dari
berbagai penyakit yang bisa membuat kita bertambah jauh dari Allah SWT. Amin.
Kami akui makalah ini
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat minim.
Oleh karena itu, kami harapakan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kedepannya.
Kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Pamekasan,8
Maret 2018
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam adalaha agama yang sempurna yang tentunya sudah
memiliki aturan yang dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh
umatnya.Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dan
pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang
datang dari yang maha sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al quran Al Karim. Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam islam. Kata sumber dalam artian ini
hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun As-Sunnah, karena memang keduanya
merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, akan tetapi kata ini tidak
mungkin digunakan untuk ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan Qiyas juga termasuk cara
dalam menemukan hukum. sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi
petunjjuk dalam Al-qur’an untuk member
petunjukdalam Al-Qur’an untuk menentukan hukum Allah, yaitu laranan atau
perintah Allah.
Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencoba
membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul”AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI
HUKUM ISLAM ”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud
Al-Qur’an?
2. Apa yang dimaksud Sumber Hukum dan Dalil?
3. Bagaimana pandangan ulama’
tentang kehujjahan Al-Qur’an?
4.
Bagaimana cara Al-Qur’an dalam
menetapkan hukum?
5.
Apa saja Macam-macam Ahkam dalam Al-Qur’an?
6.
Apa yang dimaksud Dilalah
Al-Qur’an?
7.
Apa yang dimaksud dengan
Khashaish Al-Quran?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa
itu pengertian Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Sumber
Hukum dan Dalil.
3. Untuk
mengetahui pandangan-pandangan ulama’ tentang kehujjahan Al-Qur’an.
4. Untuk
mengetahui bagaimana cara Al-Qur’an dalammenetapkan hukum.
5. Untuk
mengetahui Macam-macam Ahkam dalam Al-Qur’an.
6. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud Dilalah Al-Qur’an.
7. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Khashaish Al-Quran.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis, Al-Qur’an diambil
dari asal kata (قَرَأَ)
mashdarnya (قِرَاءَةٌ ) (تِلَاوَةٌ) artinya bacaan. Sedangkan (
قِرَاءَة ) atau (قُرْأَنٌ)
berarti pula (مُطَالَعَةٌ
). Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru
artinya yang dibaca.[1]
Diterangkan pula Oleh As-Syafi’i bahwa lafazh Al-Qur’an bukan mustaq (tidak
berasal dari akar kata) dan bukan mahmuz akan tetapi nama asal dan dijadikan sebagaimana
atas kalam yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Atau tidak diambil dari qara’a (قَرَأَ ), seandainya diambil dari kata
qara’a niscaya setiap apa yang dibaca disebut Qur’an.Secara terminologi,
diterangkan sebagai berikut:
اَلْقُرْأَنُ هُوَكَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزُالْمُنَزَّلُ عَلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ
عَنْهُ بِالتَّوَاتِرِالْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Al-qur’an adalah firman Allah sebagai mukjizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw.Yang ditulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita
dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah.[2]
Sedangkan secara terminologi, ada
beberapa defenisi yang dikemukakan ulama’ tentang Al-Quran. Berikut ini hanya
dikemukakan tiga defenisi saja:
1. Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah
kalam Allah yang diturun kan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat
jibril dengan lafaz berbahasa Arab dengan makana yang benar sebagai hujah dai
Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggab ibadah membacanya dan urutannya dimulai
dari surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin ke
asliannya.
2. Menurut Mahmud Syaltut, al-Qur’an ialah lafaz
berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukil sampai
kepada kita secara mutawatir
3. Menurut Abu Zahra, al-Qur’an ialah Kitab yang
diturunkan kepada Nbi Muhammad SAW berupa ayat yang pertama turun, yaituاقرأ باسمربك الذي خلق dan ayat yang terakhir
turun, yaitu Arab اليوم أكملت لكم دينكم
Berdasarkan kepada tiga definisi tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an adalah “lafaz berbahasa Arab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir, diyulis
dalam mushaf dan membacannya dianggab sebagai ibadah.”[3]
B.
PENGERTIAN SUMBER HUKUM DAN DALIL
Sumber secara etimologi berarti asal dari segala sesuatu atau
tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik
yang bersifat material maupun nonmaterial.
Adapun secara terminologi dalam usul fiqih, sumber
diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu
berupa Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedang dalil mengandung pengertian sebagai
suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau
zhanni (relatif).
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa pengerian dalil
Al-Hukm (دليل الحكم) atau adillah Al-Ahkam (ادلة الا حكام ) ini identik dengan Uhshul Al-Ahkamاصولا حكام) )
(sumber-sumber hukum). Karenanya, para ulama ushul fiqih adakalannya menggunakan istilah adillah
Al-Ahkam untuk menunjuk mashadir Al-Ahkam dan sebaliknya.
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih kontemporer lebih
cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utam hukum Islam (mashadir ahkam
Al-Syari’ah) tersebut adalah Al-Qyr’an dan sunnah. Karena Al-Qur’an dan sunnah disepakati seluruh
ulama ushul fiqih, klasik, kontemporer, sebagai sumber primer hukum Islam.[4]
C.
KEHUJJAHAN AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM YANG
UTAMA.
Para ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebgai sumber
pertama dan utama bagi syariat islam, termasuk hukum islam. Dan menganggapnya
Al-Qur’an sebagai hukum islamkarena di latar belakangi sejumlah alasan
diantaranya:
1. Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa kehujjahan
Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun
tidak ada keraguan atasnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “kitab
Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;petunjjuk bagi mereka yang
bertakwa”(Q.S. Al-Qur’an,2;2) berdasarkan ayat di atas yang menyatakan
bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang
wajib di ikuti oleh seluruh umat islam sepanjang masa hidupnya.
2. Kemukjizatan Al-Qur’an.
Mukjizat berasal dari kata Arab (I’jaz) ,Mukjizat
memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya
karena hal itu di luar kesanggupannya. Mukjizat dalah sesuatau kelebihan yang
Allah berikan kepada nabi dan rasulnya untuk menguatkan kenabian dan kerasulan
mereka. Dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan
mereka sendiri melainklan benar-benar datang dari AllahSWT. Seluruh nabi dan
rasulnya memiliki mukjizat termasuk diantara mereka termasuk Rasulullah
SAW yang salah satunya mukjizat nya adalah kitab suci al-qur’an. Dan
dari semua kemukjizatan-kemukjizatan Al-Qur’an kita sangatlah wajib mengikuti
dan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam pertama karen Al-Qur”an
sebagai petunjuk bagi seluruhumat manusia.[5]
Selain juga bukti-buktikehujjahan Al-Qur’an yang
disebutkan di atas tadi juga ada beberapa pendapat atau pandangan-pandangan
ulama’ imam mazhab diantaranya sebagai berikut ;
1. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa
Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama’,
imam abu hanifah berpendapat berbeda dengan jumhjr ulama’, megenai al quran itu
mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat imam abu hanifah
bahwa al quran hanya maknaya saja adalah ia membolehkan shalat dengan
menggunakan bahas dengan selain arab,dan misalnya dengan bahasa Parsi walaupun
tidak dalam keadaan mudharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang
itu bodoh tidak memperbolehkan membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa
selain bahasa Arab.
2. Pandangan Imam Malik.
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah
yang lafadz dan maknaya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam allah
termasuk sifat allah. Sesuatu yang termasuk sifat allah tidak dikatakan
makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang
menyatakan bahwa al-quran itu makhluk imam malik juga sangat keberatan untuk
menafsirkan al-quran secara murnitanpa memakai atsar, maka beliau berkata,
“seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan
al-quran dengan nalar murni maka aku akan memenggal leher orang itu.”
Dengan demikian hal ini imam malik mengikuti ulama salaf
atau sahabat dan tabi’in yang membatasi pembahasan al-quran sesempit mungkin
karena hawatir melakukan kebodohan terhadap allah SWT. Maka tidak heran kalau
kitabnya,Al-muwaththa dan Al-mudawwanah sarat dengan pendapat
sahabat dan tabi’in. dan malikpun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan
ra’yu.
3. Pandangan Imam Asy-syafi’i.
Imam As-syafi’I sebagaima para ulama lainnya menetapkan
bahwa Al-quran diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya
terhadap Al-quran.”oleh karena itu imam syafi’I senantiasa mencantumkan
nash-nash Al-quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, yakni deduktif.
4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal.
Al-quran merupakan sumber dan tiangnya syariat islam,
yang di dalamnaya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan
perubahan zaman dan tempat, Al-quran juga mengandung hukum-hukum global dan
penjelasan mengenai akidah yang benar.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya
berpendapat bahwa Al-quran itu sebagai sumber pokok islam, kemudian disusul
oleh As-sunnah. Namun, seperti halnya Imam Syafi’i, memandang bahwa As-sunnah
mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-quran, sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum adalah nash, tanpa menyebut Al-quran dahulu atau
As-sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-quran dan
As-sunnah.[6]
D. CARA AL-QUR’AN
DALAM MENETAPKAN HUKUM.
Al-qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup
manusia.karena itu, Al-quran berisi perintah dan larangan, al-quran
memerintahkan yang baik dan melarang yang keji.
Di dalam mengerjakan perintah dan larangan, al quran
selalu berpedoman pada tiga hal, yaitu:
1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.
Misalnya, mengqoshar shalat (dari empat rakaat
menjadi dua rakaat dalam perjalanan), tidak berpuasa karena musafir, bertayamum
sebagai ganti untuk berwudhuk, memakan makanan yang terlarang dalam keadaan
darurat.
2.
Tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan kepada
orang-orang yang mampu saja, dan lain-lain.
3.
Berangsur-angsur didalam mensyar’iatkan sesuatu.
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya
sampai tiga kali, kemudian dipituskan tidak boleh. (Lihat Al-baqarah ayat 219, An-nisa’ ayat43, dan Al-maidah ayat
90-91)
E. MACAM-MACAM
AHKAM DALAM AL-QUR’AN
Hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu
:
1. Hukum-hukum I’tikad.
Yaitu yang berhubungan dengan apa-apa yang wajib atas
mukallaf mengimaninya, seperti iman kepada Allah, Malikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kiamat. Hukum-hukum ini termasuk
pembahasan ilmu tauhid.
2. Hukum-hukum
Akhlak .
Yaitu berhubungan dengan sifat-sifat yang baik yang harus
dipunyai oleh mukallaf dari sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhinya.
Hukum-hukum ini termasuk pembahasan ilmu akhlak.
3. Hukum-hukum amaliyah.
Yaitu yang berhubungan dengan apa-apa yang berasal dari
manusia berupa perkataan, pebuatan, akad-akad dan tindakan-tindakan mukallaf
lainnya. Bagian ini
merupakan pembahasan ilmu Ushul Fiqh yang menghasilkan ilmu Fikik.
Hukum
Amaliyah meliputi dua bagian pulan, yaitu:
a.
Hukum-hukum Ibadah
Berupa shalat, puasa, zakat, haji, nazar,
sumpah dan lain-lainnya dari pada ibadat. Yang dimaksud dengan hukum-hukum bagian ini ialah untuk mengatur
dan memelihara hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum
Mu’amalat
Yaitu hukum yang mengatur bermacam-macam akad
dan tindakan (tasarruf) mukallaf, kejahatan, hukuman dan sebagainya selain dari
pada shalat. Yang dimaksud
dengan hukum bagian ini ialah mengatur hubungan antara sebagian mukallaf dengan
sebagian lainnya, baik mereka sebagai pribadi-pribadi, golongan maupun bangsa .[7]
F.
DILALAH AL- QURAN
Arti
dilalah secara umum adalah “Memahami sesuatu atas sesuatu.”Kata “Sesuatu” yang
di sebutkan pertama disebut “Madlul” (yang ditunjuk). Dalam hubungannya
dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “Hukum” itu sendiri. Kata
“Seuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang menjadi
petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “Dalil
hukum”. Pembahasan tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu
logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk
mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara
langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir
menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.
Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyah,Ulama Hanafiyah membagi dilalah
kepada dua macam, yaitu dilalah lafziyah dan dilalah ghairuh
lafziyah[8].
a) Dilalah lafziyah dalam pengertian ini,
ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah
ghairuh lafziyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz
menurut lahirnya. Dilalah ghairuh lafziyah ini di kalangan Hanafiyah
disebut “dilalah sukut” atau di sebut juga “bayan dharurah”.
b) Dilalah Ghairuh Lafziyah, dilalah ini
juga bisa disebut dilalah sukut atau bayan al-dharurah. Menurut
ulama Hanafi ada empat macam, yaitu:
1) Kelaziman dari
menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.Bila
dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang
tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz
itu. Kelaziman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.
Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisaa’
(4): 11:
يُوصِيكُمُاللَّهُفِيأَوْلَادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِۚفَإِنْكُنَّنِسَاءًفَوْقَاثْنَتَيْنِفَلَهُنَّثُلُثَامَاتَرَكَۖوَإِنْكَانَتْوَاحِدَةًفَلَهَاالنِّصْفُوَلِأَبَوَيْهِلِكُلِّوَاحِدٍمِنْهُمَاالسُّدُسُمِمَّاتَرَكَإِنْكَانَلَهُوَلَدٌۚفَإِنْلَمْيَكُنْلَهُوَلَدٌوَوَرِثَهُأَبَوَاهُفَلِأُمِّهِالثُّلُثُۚفَإِنْكَانَلَهُإِخْوَةٌفَلِأُمِّهِالسُّدُسُۚمِنْبَعْدِوَصِيَّةٍيُوصِيبِهَاأَوْدَيْنٍۗآبَاؤُكُمْوَأَبْنَاؤُكُمْلَاتَدْرُونَأَيُّهُمْأَقْرَبُلَكُمْنَفْعًاۚفَرِيضَةًمِنَاللَّهِۗإِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاحَكِيمًا.
Artinya:
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ibarat nash dari ayat ini ialah bila
ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun
dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari ungkapan ayat ini
kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga, yaitu dua
pertiga. Sebenarnya pengetahuan kita akan hak ayah yang dua pertiga itu adalah
karena kita sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan ayah bila tidak bersama
anak laki-laki adalah berhak atas sisa waris.
2) Dilalah (penunjukan) keadaannya
diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.Seorang yang
diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan
tertentu diam saja memberikan petunjuk atas seuatu. begitu pula seseorang yang
diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan
perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu
memberi petunjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan
perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal
diam waktu mekihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan penjelasan
atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberkan izin untuk
berbuat.
3) Mengapa diamnya
seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.Dalam
definisi lain disebutkan:Mengapa bayan al-dharurah untuk menolak penipuan.
Bedanya ketiga ini dari bentuk kedua: pada bentuk kedua,
diamnya itu cukup untuk dijadikan petunjuk untuk memahami sesuatu. Namun ada
yang bentuk ketiga ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan
ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat
dianggap berbicara.
4) Dilalah
sukut (menunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang
terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menhindarkan panjangnya ucapan kalau
disebutkan.Contoh dalam hal inibiasanya muncul dalam penyebutan angka-angka
atau bilangan. Dalam tata bahasa Arab bila seseorang berkata-kata: مائة وصاع منارز(seratus
dan satu gantang beras). Dalam pemakaian bahasa arab yang lengkap mestinya
dijelaskan dengan ucapan: صاع و صاعyang kalau kita
terjemahkan menjadi “seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud
bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang
pertama dalam rangka
G.
KHASHAISH AL-QUR’AN
A.
Pengertian Khushush
Khash
(khushush) adalah lawan dari ‘am (umum). Khushush adalah keadaan lafaz yang
mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan
demikian, dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun dalam pengertian
bahasa Indonesia sering disamakan[9].
Pengertian
khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh
lafaz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhushuskan menurut
ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ketentuan
lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
1.
Bila lafaz khas lahir dalam bentuk
nash syara’ (teks hukum), ia menunjukkan artinya yang khas secara qath’i
al-dilalah (penunjukkan yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki
ditentukan untuk itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Maidah (5) ayat 89:
لَايُؤَاخِذُكُمُاللَّهُبِاللَّغْوِفِيأَيْمَانِكُمْوَلَٰكِنْيُؤَاخِذُكُمْبِمَاعَقَّدْتُمُالْأَيْمَانَۖفَكَفَّارَتُهُإِطْعَامُعَشَرَةِمَسَاكِينَمِنْأَوْسَطِمَاتُطْعِمُونَأَهْلِيكُمْأَوْكِسْوَتُهُمْأَوْتَحْرِيرُرَقَبَةٍۖفَمَنْلَمْيَجِدْفَصِيَامُثَلَاثَةِأَيَّامٍۚذَٰلِكَكَفَّارَةُأَيْمَانِكُمْإِذَاحَلَفْتُمْۚوَاحْفَظُواأَيْمَانَكُمْۚكَذَٰلِكَيُبَيِّنُاللَّهُلَكُمْآيَاتِهِلَعَلَّكُمْتَشْكُرُونَ.
Artinya:
“Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Hukum
yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan
sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
2.
Bila ada dalil yang menghendaki
(pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat
dialihkan kepada apa yang dikehendaki ole dalil itu.
Bila dalam suatu kasus hukumnya
bersifat ‘am dan ditemukan pula hukum yang khushush dalam kasus lain, maka
lafaz-khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘am itu. Mkasudnya, lafaz khas itu
menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz ‘am itu hanya sebagian afrad-nya
saja, yaitu sebagian yang tidak disebutkan dalam lafaz khas.
Umpamanya hukum ‘am yang difirmankan
Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat: 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍوَلَايَحِلُّلَهُنَّأَنْيَكْتُمْنَمَاخَلَقَاللَّهُفِيأَرْحَامِهِنَّإِنْكُنَّيُؤْمِنَّبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِۚوَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَٰلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًاۚوَلَهُنَّمِثْلُالَّذِيعَلَيْهِنَّبِالْمَعْرُوفِۚوَلِلرِّجَالِعَلَيْهِنَّدَرَجَةٌۗوَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ.
Artinya:
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3.
Bila ditemukan perbenturan antara
dalil khas dengan dalil ‘am terdapat perbedaan pendapat:
a.
Menurut Ulama Hanafiyah, seandainya
kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang men-takhsis-kan yang ‘am,
karena tersedianya persyaratan untuk takhsish.
b.
Menurut jumhur Ulama, tidak
tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘am dengan dalil khushush karena
keduanya bila datang dalam waktu yang bersamaan maka yang khas memberi
penjelasan terhadap yang ‘am.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Para ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber
pertama dan utama bagi syariat islam, termasuk hukum islam. Dan menganggapnya
Al-Qur’an sebagai hukum Islam karena di latar belakangi sejumlah alasan
diantaranya, bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan
kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “kitab Al-Qur’an ini tidak ada
keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(Q.S. Al-Qur’an,2;2) berdasarkan ayat di atas yang menyatakan
bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang
wajib di ikuti oleh seluruh umat Islam sepanjang masa hidupnya.
B.
SARAN
Di
dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami mengambil dari
berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang di tugaskan kepada kami. Untuk itu marilah kitaambil
hikmah dan manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Hakim, Atang.2016. Metodologi
Studi Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hayat, Abdul. 2010. Ushul Fiqh. Banjarmasin: LKis Printing Cemerlang.
Koto, Alaiddin.
2014. Ilmu
fiqh dan Ushul fiqh.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Shidiq,
Sapiudin. 2014. Ushul fiqh. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Syafe’i, Rachmat.2015. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul
Fiqh Jilid 2. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Umam, Chaerul. 1998. Ushul
fiqih 1. Bandung : CV
Pustaka Setia.