Minggu, 27 Mei 2018

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM



            AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
yang Diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Disusun Oleh :
Ach. Sofwan Fanani Sayadi
Atiqurrahman
Erico Feri Sandi
Hafid
Khaffaf Badar Ilhami

 

PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang masih sangat sederhana dengan judul “AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM"
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad  SAW. Yang mana beliau telah mengangkis kita minadz dzulumati ilan nur dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
           Kami berharap semoga makalah ini bisa membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, dan semoga makalah ini bisa menjadi pedoman untuk menjaga dan selalu berhati-hati dalam menjaga hati dari berbagai penyakit yang bisa membuat kita bertambah jauh dari Allah SWT. Amin.
Kami akui makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat minim. Oleh karena itu, kami harapakan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kedepannya.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.


Pamekasan,8 Maret 2018



Penulis,


BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Islam adalaha agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan yang dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya.Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dan pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari yang maha sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al quran Al Karim. Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun As-Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, akan tetapi kata ini tidak mungkin digunakan untuk ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan Qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjjuk dalam Al-qur’an  untuk member petunjukdalam Al-Qur’an untuk menentukan hukum Allah, yaitu laranan atau perintah Allah.
Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul”AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM ”
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud Al-Qur’an?
2.    Apa yang dimaksud Sumber Hukum dan Dalil?
3.    Bagaimana pandangan  ulama’ tentang  kehujjahan Al-Qur’an?
4.    Bagaimana cara Al-Qur’an dalam menetapkan hukum?
5.    Apa saja Macam-macam Ahkam dalam Al-Qur’an?
6.    Apa yang dimaksud Dilalah Al-Qur’an?
7.    Apa yang dimaksud dengan Khashaish Al-Quran?
C.  TUJUAN
1.    Untuk mengetahui apa itu pengertian Al-Qur’an.
2.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud Sumber Hukum dan Dalil.
3.    Untuk mengetahui pandangan-pandangan ulama’ tentang kehujjahan Al-Qur’an.
4.    Untuk mengetahui bagaimana cara Al-Qur’an dalammenetapkan hukum.
5.    Untuk mengetahui Macam-macam Ahkam dalam Al-Qur’an.
6.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud Dilalah Al-Qur’an.
7.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Khashaish Al-Quran.




BAB I
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologis, Al-Qur’an diambil dari asal kata (قَرَأَ) mashdarnya (قِرَاءَةٌ  ) (تِلَاوَةٌ) artinya bacaan. Sedangkan ( قِرَاءَة ) atau (قُرْأَنٌ) berarti pula (مُطَالَعَةٌ ). Qur’an adalah mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru artinya yang dibaca.[1]
Diterangkan pula Oleh As-Syafi’i  bahwa lafazh Al-Qur’an bukan mustaq (tidak berasal dari akar kata) dan bukan mahmuz akan tetapi nama asal dan dijadikan sebagaimana atas kalam yang diturunkan  kepada Nabi Muhammad Saw. Atau tidak diambil dari qara’a (قَرَأَ ), seandainya diambil dari kata qara’a niscaya setiap apa yang dibaca disebut Qur’an.Secara terminologi, diterangkan sebagai berikut:
اَلْقُرْأَنُ هُوَكَلَامُ اللهِ الْمُعْجِزُالْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِالتَّوَاتِرِالْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Al-qur’an adalah firman Allah sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.Yang ditulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita dengan mutawatir dan membacanya adalah ibadah.[2]
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa defenisi yang dikemukakan ulama’ tentang Al-Quran. Berikut ini hanya dikemukakan tiga defenisi saja:
1.    Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturun kan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat jibril dengan lafaz berbahasa Arab dengan makana yang benar sebagai hujah dai Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggab ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin ke asliannya.
2.    Menurut Mahmud Syaltut, al-Qur’an ialah lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukil sampai kepada kita secara mutawatir
3.    Menurut Abu Zahra, al-Qur’an ialah Kitab yang diturunkan kepada Nbi Muhammad SAW berupa ayat yang pertama turun, yaituاقرأ باسمربك الذي خلق  dan ayat yang terakhir turun, yaitu Arab  اليوم أكملت لكم دينكم
Berdasarkan kepada tiga definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an adalah “lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dinukilkan secara mutawatir, diyulis dalam mushaf dan membacannya dianggab sebagai ibadah.”[3]
B.      PENGERTIAN SUMBER HUKUM DAN DALIL
Sumber secara etimologi berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Dan dalil berarti petunjuk pada sesuatu, baik yang bersifat material maupun nonmaterial.
Adapun secara terminologi dalam usul fiqih, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok/utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu berupa Al-Qur’an dan As-sunnah. Sedang dalil mengandung pengertian sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath’I (pasti) atau zhanni (relatif).
Abdul Wahhab Khalaf mengatakan bahwa pengerian dalil Al-Hukm (دليل الحكم) atau adillah Al-Ahkam (ادلة الا حكام ) ini identik dengan Uhshul Al-Ahkamاصولا حكام) ) (sumber-sumber hukum). Karenanya, para ulama ushul fiqih adakalannya menggunakan istilah adillah Al-Ahkam untuk menunjuk mashadir Al-Ahkam dan sebaliknya.
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih kontemporer lebih cenderung memilih bahwa yang menjadi sumber utam hukum Islam (mashadir ahkam Al-Syari’ah) tersebut adalah Al-Qyr’an dan sunnah. Karena Al-Qur’an dan sunnah disepakati seluruh ulama ushul fiqih, klasik, kontemporer, sebagai sumber primer hukum Islam.[4]
    
C.      KEHUJJAHAN AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM YANG UTAMA.
Para ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebgai sumber pertama dan utama bagi syariat islam, termasuk hukum islam. Dan menganggapnya Al-Qur’an sebagai hukum islamkarena di latar belakangi sejumlah alasan diantaranya:
1.    Kebenaran Al-Qur’an
Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;petunjjuk bagi mereka yang bertakwa”(Q.S. Al-Qur’an,2;2)   berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang wajib di ikuti oleh seluruh umat islam sepanjang masa hidupnya.
2.    Kemukjizatan Al-Qur’an.
Mukjizat berasal dari kata Arab (I’jaz) ,Mukjizat memiliki arti sesuatu yang luar biasa yang tiada kuasa manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mukjizat dalah sesuatau kelebihan yang Allah berikan kepada nabi dan rasulnya untuk menguatkan kenabian dan kerasulan mereka. Dan untuk menunjukan bahwa agama yang mereka bawa bukanlah buatan mereka sendiri melainklan benar-benar datang dari AllahSWT. Seluruh nabi dan rasulnya memiliki mukjizat termasuk diantara mereka termasuk  Rasulullah  SAW yang salah satunya mukjizat nya adalah kitab suci al-qur’an. Dan dari semua kemukjizatan-kemukjizatan Al-Qur’an kita sangatlah wajib mengikuti dan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam pertama karen Al-Qur”an sebagai petunjuk bagi seluruhumat manusia.[5]
Selain juga bukti-buktikehujjahan Al-Qur’an yang disebutkan di atas tadi juga ada beberapa pendapat atau pandangan-pandangan ulama’ imam mazhab diantaranya sebagai berikut ;
1.    Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama’, imam abu hanifah berpendapat berbeda dengan jumhjr ulama’, megenai al quran itu mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukan pendapat imam abu hanifah bahwa al quran hanya maknaya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahas dengan selain arab,dan misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan mudharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak memperbolehkan membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
2.    Pandangan Imam Malik.
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknaya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam allah termasuk sifat allah. Sesuatu yang termasuk sifat allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa al-quran itu makhluk imam malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan al-quran secara murnitanpa memakai atsar, maka beliau berkata, “seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan al-quran dengan nalar murni maka aku akan memenggal leher orang itu.”
Dengan demikian hal ini imam malik mengikuti ulama salaf atau sahabat dan tabi’in yang membatasi pembahasan al-quran sesempit mungkin karena hawatir melakukan kebodohan terhadap allah SWT. Maka tidak heran kalau kitabnya,Al-muwaththa dan Al-mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. dan malikpun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
3.    Pandangan Imam Asy-syafi’i.
Imam As-syafi’I sebagaima para ulama lainnya menetapkan bahwa Al-quran diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terhadap Al-quran.”oleh karena itu imam syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al-quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, yakni deduktif.
4.    Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal.
Al-quran merupakan sumber dan tiangnya syariat islam, yang di dalamnaya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat, Al-quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-quran itu sebagai sumber pokok islam, kemudian disusul oleh As-sunnah. Namun, seperti halnya Imam Syafi’i, memandang bahwa As-sunnah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum adalah nash, tanpa menyebut Al-quran dahulu atau As-sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-quran dan As-sunnah.[6]
D.      CARA AL-QUR’AN DALAM MENETAPKAN HUKUM.
Al-qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia.karena itu, Al-quran berisi perintah dan larangan, al-quran memerintahkan yang baik dan melarang yang keji.
Di dalam mengerjakan perintah dan larangan, al quran selalu berpedoman pada tiga hal, yaitu:
1.    Tidak memberatkan atau menyusahkan.
 Misalnya, mengqoshar shalat (dari empat rakaat menjadi dua rakaat dalam perjalanan), tidak berpuasa karena musafir, bertayamum sebagai ganti untuk berwudhuk, memakan makanan yang terlarang dalam keadaan darurat.
2.    Tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja, dan lain-lain.
3.    Berangsur-angsur didalam mensyar’iatkan sesuatu.
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali, kemudian dipituskan tidak boleh. (Lihat Al-baqarah ayat 219, An-nisa’ ayat43, dan Al-maidah ayat 90-91)
E.      MACAM-MACAM AHKAM DALAM AL-QUR’AN
Hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu :
1.    Hukum-hukum I’tikad.
Yaitu yang berhubungan dengan apa-apa yang wajib atas mukallaf mengimaninya, seperti iman kepada Allah, Malikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kiamat. Hukum-hukum ini termasuk pembahasan ilmu tauhid.


2.    Hukum-hukum Akhlak .
Yaitu berhubungan dengan sifat-sifat yang baik yang harus dipunyai oleh mukallaf dari sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhinya. Hukum-hukum ini termasuk pembahasan ilmu akhlak.
3.    Hukum-hukum amaliyah.
Yaitu yang berhubungan dengan apa-apa yang berasal dari manusia berupa perkataan, pebuatan, akad-akad dan tindakan-tindakan mukallaf lainnya. Bagian ini merupakan pembahasan ilmu Ushul Fiqh yang menghasilkan ilmu Fikik.
Hukum Amaliyah meliputi dua bagian pulan, yaitu:
a.    Hukum-hukum Ibadah
Berupa shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah dan lain-lainnya dari pada ibadat. Yang dimaksud dengan hukum-hukum bagian ini ialah untuk mengatur dan memelihara hubungan manusia dengan Tuhannya.
b.    Hukum-hukum Mu’amalat
Yaitu hukum yang mengatur bermacam-macam akad dan tindakan (tasarruf) mukallaf, kejahatan, hukuman dan sebagainya selain dari pada shalat. Yang dimaksud dengan hukum bagian ini ialah mengatur hubungan antara sebagian mukallaf dengan sebagian lainnya, baik mereka sebagai pribadi-pribadi, golongan maupun bangsa .[7]
F.       DILALAH AL- QURAN
Arti dilalah secara umum adalah “Memahami sesuatu atas sesuatu.”Kata “Sesuatu” yang di sebutkan pertama disebut “Madlul” (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “Hukum” itu sendiri. Kata “Seuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “Dalil hukum”. Pembahasan tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.
Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyah,Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafziyah dan dilalah ghairuh lafziyah[8].
a)   Dilalah lafziyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairuh lafziyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairuh lafziyah ini di kalangan Hanafiyah disebut “dilalah sukut” atau di sebut juga “bayan dharurah”.
b)   Dilalah Ghairuh Lafziyah, dilalah ini juga bisa disebut dilalah sukut atau bayan al-dharurah. Menurut ulama Hanafi ada empat macam, yaitu:
1)   Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu. Kelaziman itu dapat diketahui dari ungkapan lafaz tersebut.
Umpamanya firman Allah dalam surat an-Nisaa’ (4): 11:
يُوصِيكُمُاللَّهُفِيأَوْلَادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّ الْأُنْثَيَيْنِۚفَإِنْكُنَّنِسَاءًفَوْقَاثْنَتَيْنِفَلَهُنَّثُلُثَامَاتَرَكَۖوَإِنْكَانَتْوَاحِدَةًفَلَهَاالنِّصْفُوَلِأَبَوَيْهِلِكُلِّوَاحِدٍمِنْهُمَاالسُّدُسُمِمَّاتَرَكَإِنْكَانَلَهُوَلَدٌۚفَإِنْلَمْيَكُنْلَهُوَلَدٌوَوَرِثَهُأَبَوَاهُفَلِأُمِّهِالثُّلُثُۚفَإِنْكَانَلَهُإِخْوَةٌفَلِأُمِّهِالسُّدُسُۚمِنْبَعْدِوَصِيَّةٍيُوصِيبِهَاأَوْدَيْنٍۗآبَاؤُكُمْوَأَبْنَاؤُكُمْلَاتَدْرُونَأَيُّهُمْأَقْرَبُلَكُمْنَفْعًاۚفَرِيضَةًمِنَاللَّهِۗإِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاحَكِيمًا.
Artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.  Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ibarat nash dari ayat ini ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga, yaitu dua pertiga. Sebenarnya pengetahuan kita akan hak ayah yang dua pertiga itu adalah karena kita sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedudukan ayah bila tidak bersama anak laki-laki adalah berhak atas sisa waris.
2)   Dilalah (penunjukan) keadaannya diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan.Seorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas seuatu. begitu pula seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam saja. Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal diam waktu mekihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberkan izin untuk berbuat.
3)   Mengapa diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan.Dalam definisi lain disebutkan:Mengapa bayan al-dharurah untuk menolak penipuan.
Bedanya ketiga ini dari bentuk kedua: pada bentuk kedua, diamnya itu cukup untuk dijadikan petunjuk untuk memahami sesuatu. Namun ada yang bentuk ketiga ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat dianggap berbicara.
4)   Dilalah sukut (menunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menhindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.Contoh dalam hal inibiasanya muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam tata bahasa Arab bila seseorang berkata-kata: مائة وصاع منارز(seratus dan satu gantang beras). Dalam pemakaian bahasa arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan ucapan: صاع و صاعyang kalau kita terjemahkan menjadi “seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka
G.     KHASHAISH AL-QUR’AN
A.       Pengertian Khushush
Khash (khushush) adalah lawan dari ‘am (umum). Khushush adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian, dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan[9].      
Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhushuskan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
1.    Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukkan artinya yang khas secara qath’i al-dilalah (penunjukkan yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah (5) ayat 89:
لَايُؤَاخِذُكُمُاللَّهُبِاللَّغْوِفِيأَيْمَانِكُمْوَلَٰكِنْيُؤَاخِذُكُمْبِمَاعَقَّدْتُمُالْأَيْمَانَۖفَكَفَّارَتُهُإِطْعَامُعَشَرَةِمَسَاكِينَمِنْأَوْسَطِمَاتُطْعِمُونَأَهْلِيكُمْأَوْكِسْوَتُهُمْأَوْتَحْرِيرُرَقَبَةٍۖفَمَنْلَمْيَجِدْفَصِيَامُثَلَاثَةِأَيَّامٍۚذَٰلِكَكَفَّارَةُأَيْمَانِكُمْإِذَاحَلَفْتُمْۚوَاحْفَظُواأَيْمَانَكُمْۚكَذَٰلِكَيُبَيِّنُاللَّهُلَكُمْآيَاتِهِلَعَلَّكُمْتَشْكُرُونَ.
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
        Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
2.    Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki ole dalil itu.
Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat ‘am dan ditemukan pula hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz-khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘am itu. Mkasudnya, lafaz khas itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz ‘am itu hanya sebagian afrad-nya saja, yaitu sebagian yang tidak disebutkan dalam lafaz khas.
Umpamanya hukum ‘am yang difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat: 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍوَلَايَحِلُّلَهُنَّأَنْيَكْتُمْنَمَاخَلَقَاللَّهُفِيأَرْحَامِهِنَّإِنْكُنَّيُؤْمِنَّبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِۚوَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَٰلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًاۚوَلَهُنَّمِثْلُالَّذِيعَلَيْهِنَّبِالْمَعْرُوفِۚوَلِلرِّجَالِعَلَيْهِنَّدَرَجَةٌۗوَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ.
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3.    Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘am terdapat perbedaan pendapat:
a.         Menurut Ulama Hanafiyah, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang men-takhsis-kan yang ‘am, karena tersedianya persyaratan untuk takhsish.
b.         Menurut jumhur Ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘am dengan dalil khushush karena keduanya bila datang dalam waktu yang bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘am.


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Para ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi syariat islam, termasuk hukum islam. Dan menganggapnya Al-Qur’an sebagai hukum Islam karena di latar belakangi sejumlah alasan diantaranya, bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertakwa”(Q.S. Al-Qur’an,2;2)   berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang wajib di ikuti oleh seluruh umat Islam sepanjang masa hidupnya.

B.       SARAN
Di dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami mengambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang di tugaskan  kepada kami. Untuk itu marilah kitaambil hikmah dan manfaatnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abd.Hakim, Atang.2016. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hayat, Abdul. 2010. Ushul Fiqh. Banjarmasin: LKis Printing Cemerlang.
Koto, Alaiddin. 2014. Ilmu fiqh dan Ushul fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Shidiq, Sapiudin. 2014. Ushul fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Syafe’i, Rachmat.2015. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Prenadamedia Group.
Umam, Chaerul. 1998. Ushul fiqih 1. Bandung : CV Pustaka Setia.





[1]Abdul Hayat, Ushul Fiqh (Banjarmasin: LKiS Printing Cemerlang,2010), hlm.117.
[2]Ibid,hlm.118.
[3] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta:Kencana Prenamadia Group,2014), hlm. 27.
[4] Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih1(Bandung: Cv Pustaka Setia,2008) hlm. 31.
[5]Alaidin koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh(Jakarata: Raja Grafindo Persada, 2014) hlm. 45.
[6]Rachmad  Syafe’IIlmu Ushul Fiqh (Bandung:Pustaka Setia), hal 51.
[7]Rahmat Dahlan.Ushul Fiqh (Jakarta:Amzah,2014) hlm. 116.
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Prenadamedia Group,2014), hlm.144.
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Prenadamedia Group,2014), hlm.94.