Minggu, 27 Mei 2018

MASHLAHAH MURSALAH



MASHLAHAH MURSALAH

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Disusun Oleh :
Nuriyah
Nuril Fahmi A
Philia Dewinta B.P
Qoyyimah
R.A. Kristina Y.L
Rif’atun Hasanah S



 


PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mashlahah Mursalah” sehingga dapat terbit sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepadaNabi Muhammad SWT. Para sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqhdan semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga dapat memperbaiki isi makalah ini. Disamping itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Penulisan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu pembaca untuk memberikan saran dan komentar yang kontruktif sebagai perbaikan dan penyempurnaan untuk masa-masa yang akan datang dan menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Pamekasan,17 April 2018


Penulis,







DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ..............................................................................
B.     Rumusan Masalah .........................................................................
C.     Tujuan Masalah .............................................................................
BAB IIPEMBAHASAN
A.    Pengertian Mashlahah Mursalah..................................................
B.     Jenis-jenis Mashlahah....................................................................
C.     Dasar berlakunya Mashlahah Mursalahsafi.................................
D.    Syarat-syarat menjadikan hujjah Mashlahah Mursalah.................
E.     Kehujjahan Maslahah Mursalah....................................................
F.      Kedudukan Mashlahah Mursalah..................................................
BAB IIIPENUTUP
A.   Kesimpulan ....................................................................................
B.    Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

i
ii
iii

1
2
2

3
8
14
16
18
19

21
22
23









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Semua hukum sudah ditetapkan oleh Allah swt.atas hamba-hambanya dalam bentuk perintah maupun larangan yang mengandung mashlahat. Semua perintah dari Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk hamba-hambaNya itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.Manfaat yang diberikan oleh Allah dapat dirasakan pada saat itu juga dan ada juga yang dirasakan sesudahnya. Sebagai contoh, Allah memperintahkan hambaNya untuk sholat dan sholat mengandung banyak sekali manfaat, antara lain bagi kesehatan jasmani dan rohani.
Dan juga dengan larangan Allah untuk dijauhi oleh hamba-hambaNya.Di balik larangan-larangan yaitu terkandung kemashlahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kerusakan. Sebagai contohnya adalah larangan meminum-minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapatr merusak tubuh, jiwa serta akal yang ada pada hambaNya.
Dari penjelasan singkat diatas, tampak betapa pentingnya muslahat dalam kehidupan manusia.Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara syar’I baik dalam al-qur’an dan hadis nabi, maka dengan merujuk kepada kemashlahatan manusia.Masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pertimbangan akal, tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan- tujuan syara’. Salah satu bentuk ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut bisa disebut dengan mashlahah mursalah, yang selanjutnya akan dibahas di dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Mashlahah Mursalah?
2.         Apa saja jenis-jenis Mashlahah?
3.         Bagaimana dasar berlakunya Mashlahah Mursalah?
4.         Apa saja syarat-syarat menjadikan hujjah MashlahahMursalah?
5.         Bagaimana kehujjahan Maslahah Mursalah?
6.         Bagaimana kedudukan Mashlahah Mursalah?

C.    Tujuan Masalah
1.         Untuk mengetahui pengertian Mashlahah Mursalah
2.         Untuk mengetahui jenis-jenis Mashlahah
3.         Untuk mengatahui dasar berlakunya Mashlahah Mursalah
4.         Untuk mengetahui syarat-syarat menjadikan hujjahMashlahahMursalah
5.         Untuk mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah
6.         Untuk mengetahui kedudukan Mashlahah Mursalah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah(مصلحة) berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan “alif” diawalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusuk”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahahdalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.” Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yag bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atay menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi yang setiap mengandung manfaat patutu disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahahitu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudaratan.
Dalam mengartikan mashlahahsecara definitif terdapat perbedaan rumusan di kalangan ulama yang kalau dianalisis ternyata hakikatnya adalah sama.
1.      Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahahitu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjaukan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari mashlahahadalah:
المُحَا فَظَةُ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).”
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.”[1]
2.      Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi al-Ghazali diatas, yaitu:
الْمُحَا فَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ بِدَفْعِ الْمَفَا سِدِ عَنِ الْخَلْقِ
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.”
Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya, karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan menolak kemashlahatan ber-arti menarik kerusakan.
3.      Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Iqawa’id al-Ahkam,memberikan arti mashlahahdalam bentuk hakikinya dengan “kesenangan dan kenikmatan.” Sedangkan bentuk majazi-nya adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut. arti ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
4.      Al-Syatibi mengartikan dua mashlahahitu dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya mashlahahdalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.
a.       Dari segi terjadinya mashlahahdalam kenyataan, berarti:
مَايَرْجِعُ اِلَى قِيَامِ حَيَاةِ اْلاِنْسَانِ وَتَمَامِ عَيْشَتِهِ وَنَيْلِهِ مَاتَقْتَضِيْهِ اَوْصَافُهُ الشَّهْوَا تِيَّةُ وَالْعَقْلِيَّةُ عَلَى اْلاِطْلاَقِ
“Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.”
b.      Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penerapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untu berbuat.
5.      Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-‘Alim dalam bukunya al-Maqashid al-Ammah li al-Syari’ati al-Islamiyah mendefinisikan mashlahah sebagai berikut:
عِبَارَةٌ عَنِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّى اِلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ عِبَادَةًاَوْعَادَةً
“Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat”.[2]
Definisi dari al-Thufi ini bersesuaian dengan definisi dari al-Ghazali yang memandang mashlahahdalam artian syara’ sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.
Dari beberapa definisi tentang mashlahahdengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahahitu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[3]
Dari kesimpulan tersebutterlihat adanya perbedaan antara mashlahahdalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahahdalam pengertian hukum atau syara’.Perbedaannya terlihar dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan.Mashlahahdalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu.Sedangkan pada mashlahahdalam artian syara’ yang menjadi titik bahasan dalam ushul fiqih, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindar ketidaksenangan.
            Selanjutnya Yusuf Hamid dalam kitab al-Maqashid menjelaskan keistimewaan mashlahah syar’I itu dibanding dengan mashlahahdalam artian umum, sebagai berikut:
1)      Yang menjadi sandaran dari mashlahahitu selalu petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan akal manusia, karena akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relatif dan subjektif, selalu dibatasi waktu dan tempat, serta selalu terpengaruh lingkungan dan dorongan hawa nafsu.
2)      Pengertian mashlahahatau buruk dan baik dalam pandangan syara’ tidak terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga untuk akhirat; tidak hanya untuk kepentingan semusim, tetapi berlaku untuk sepanjang masa.
3)      Mashlahahdalam artian syara’ tidak terbatas pada rasa enak dalam artian fisik jasmani saja, tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental-spiritual atau secraa ruhaniyah.[4]
            Mashlahah Mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahahtelah dijelaskan diatas, secraa etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah).
            Al-Mursalaat (المرسلة)adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu رسل, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadiارسل.Secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti مطلقة (bebas).Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata mashlahahmaksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan kedekatan pengertiannya. Diantaa definisi tersebut adalah:
1.      Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِا لْبُطْلاَنِ وَلاَبِالْاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
“Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dala bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.”
2.      Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi:
الْمُنَاسِبُ الَّذِى لاَيَعْلَمُ اَنَّالشَّارِعَ الْفَاهُ اَوِاعْتَبَرَهُ
“Maslahah yang tidak diketahui apakah Syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.”
3.      Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali member rumusan:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ اِبْطَالٌ وَلاَ اِعْتِبَارٌ مُعَيِّنٌ
Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.
4.      Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan:
مَالَمْ يَشْهَدِ الشَّرْعُ لاَ لِبُطْلاَ نِهَا وَلاَ لاِعْتِبَارِهَا
Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.
5.      Jalal al-Din Abd al-Rahman member rumusan yang lebih luas:
المَصَالِحُ الْمُلاَ ئِمَةُ لِمَقَاصِدِ الشَّارِعِ وَلاَ يَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ بِاْلاِعْتِبَارِ اَوْبِاْلاِلْغَاءِ
Mashlahah yang selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya dan penolakannya.
6.      Abd al-Wahhab al-Khallaf memberi  berikut:
اِنَّهَامَصْلَحَةٌ لَمْ يَرِدْعَنِ الشَّارِعِ دَلِيْلٌ لاِعْتِبَارِهَا اَوْ لِاِلْغَاءِهَا
Mashlahah mursalah ialah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.
7.      Muhammad Abu Zahrah member definisi yang hamper sama dengan rumusan Jalal al-Din di atas, yaitu:
هِيَ الْمَصَالِحُ الْمُلاَ ئِمَةُ لِمَقَا صِدِ الشَّارِعِ اْلاِسْلاَمَىِّ وَلاَيَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ بِالْاِعْتِبَارِ اَوْبِالْاِلْغَاءِ
Mashlahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
Selain definisi diatas, masih banyak definisi lainnya lainnya tentang mashlahah mursalah, namun karena pengertiannya hampir bersamaan, tidak perlu dikemukakan semuanya. Memang terdapat rumusan yang berbeda, namun perbedaannya tidak sampai pada perbedaan hakikatnya.
Dari beberapa rumusan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut:
1.      Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia;
2.      Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;
3.      Apa yang baik menurut akan dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secraa khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
Mashlahah musralah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan ”mashlahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya dengan “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan al-istishlah. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.[5]
B.     Jenis-jenis Mashlahah
            Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa mashlahahdalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikamatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yaitu memelihara lima rinsip pokok kehidupan. Umpamanya larangan meminum minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau mashlahahkarena dapat menghindarkan diri dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minuma keras, yaitu untuk memelihara akal manusia dengan salah satu dari lima prinsip pokok kehidupan manusia harus dipelihara.
            Kekuatan mashlahahdapat dilihaat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkatan kebutuhan dna tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut:
1.      Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mashlahahada tiga macam, yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan mashlahah tahsiniyah.
a.       Mashlahah dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah kemashlahatan yang kebenarannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahahdalam tingkat dhururi. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyababkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau mahlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memlihara jiwa; melarang minum minuman keras untuk memlihara akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.      Mashlahah hajiyah (المصلحة الحاجية) adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara langsungbagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika tidak terpenuhi dlaam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secraa tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan.
            Contoh mashlahah hajiyahadalah: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk sempurnanya akal; melakukan jual beli utnuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlahahdalam tingkat haji.[6]
Sebaliknya ada perbuatan yang secra tidak langsung akan berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti: menghina agama berdampak pada memilihara agama; mogok makan pada memelihara jiwa; minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal; melihat aurat dalam pada memelihara keturunan; dan menipu akan berdampak pada memelihara harta. Semuanya adalah perbuatan buruk yang dilarang. Menjauhi larangan tersebut adalah baik atau mashlahahdalam tingkat haji.
c.       Mashlahah tahsiniyah(المصلحة التحسينية) adalah mashlahahyang kebutuhan hidupa manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahahdalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dnegan kebutuhan pokok manusia.
Tiga bentukmashlahahtersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatanya. Yang kuat adalah mashlahah dhururiyah, kemudian dibawahnya adalah mashlahah hajiyah dan berikutnya mashlahah tahsiniyah. Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antar sesamanya. Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas haji; dan didahulukan haji atas tahsini.
Begitu pula bila terjadi pembenturan antara sesama yang dharuri tersebut, maka tingkat yang lebih tinggi harus didahulukan. Jihat di jalan Allah, disyariatkan untuk menegakkan agama meskipun dengan mengurbankan jiwa dan harta sebagaimana tersebut dalam firman Allah pada surat al-Maaidah (5): 41:
وَجَاهِدُوْابِاَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu dlam jalan (menegakkan) agama Allah.[7]
Ayat diatas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan harta. Begitu pula syariat membolehkan meminum khamar bagi orang yang tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara jiwa itu harus didahulukan atas memelihara akal. (Hubungan mashlahahdengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, akan diuraikan dalam bahasan Maqashid al-Syari’ah).
2.      Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, mashlahahitu disebut juga dengan munasib atau keserasian mashlahahdengan tujuan hukum. Mashlahahdalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (Syari’) memerhatikannya atau tidak, mashlahahterbagi kepada tiga jenis, yaitu:
a.       Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة), yaitu mashlahahyang diperhitungkan oleh syari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya mashlahahyang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Dari langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahahtersebut, mashlahahterbagi dua:
1)      Munasib mu’atstsir (المناسب المئثر),yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’)yang memerhatikan mashlahahtersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa mashlahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh dalil nash yang menunjuk langsung kepada mashlahah, umpamanya tidak baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut mashlahahkarena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2): 222:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِالْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَفِيْ الْمَحِيْضِ[8]
Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid.
Contoh dalil yang menunjuk langsung kepada mashlahahdalam bentuk ijma’ umpamanya menetapkan adlanya kewalian ayah terhadap harta anak-anak dengan ‘illat “belum dewasa”. Adanya hubungan “belum dewasa” dengan hukum perwakilan adalah mashlahahatau munasib. Dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.
2)      Munasib mulaim (المناسب الملائم) yaitu tidak ada petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap mashlahahtersebut, namun secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk kaum yang sejenis. Umpamanya:
a)      Berlanjutnya perwakilan ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak gadisnya itu “belum dewasa”. “Belum dewasa” ini menjadi alasan bagi hukum yang sejenis dengan itu, yaitu perwalian dalam harta milik anak kecil.
b)      Bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim (penduduk setempat) karena hujan itu memang tidak oernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” (safar) menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat.[9]
c)      Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan shalat berjemaah. Tidak ada petunjuk dari syara’ yang menetapkan dingin itu sebagai alasan untuk tidak ikut shalat berjemaah. Namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin itu, yaitu “perjalanan” yang dijadikan syara’ sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan shalat jamaah tersebut, yaitu jama’ shalat. “Dingin” itu sejenis dengan “perjalanan” yaitu sama dalam hal menyulitkan; sedangkan meninggalkan shalat berjemaah sejenis dengan jama’ shalat, yaitu sama-sama rukhsah (keringanan) hukumnya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pada bentuk mashlahahyang dalilnya tidak langsung itu masih ada perhatian syara’ kepada mashlahahtersebut, meskipun sangat kecil.
b.      Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة), atau mashlahahyang ditolak, yaitu mashlahahyang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dintuntut oleh mashlahahitu. Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut turut, karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syari’ dalam menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam melakukan pelanggaran. Namun, apa yang dianggap baik oleh akal ini, ternyata tidak demikian mnurut syari’, bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan tiu, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk dapat membuatnya jera.[10]
Contoh lain umpamanya, dimasa kini msyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dnegan laki-laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik atau mashlahahuntuk menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal inipun dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak warits atas anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisaa’ (4): 11, dan penegasan Allah tentang hak warits saudara laki-laki sebesar dua kali hak saudara perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisaa’ (4): 176.
c.       Mashlahahal-Mursalaat (المرسلةالمصلحة), atau yang juga biasa disebut istishlah (الاستصلاح), yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah mu’tabarah, sebagaimana juga mereka sepakat dalam menolak mashlahah mulghah. Menggunakan metode mashlahah murasalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan dikalangan ulama.[11]

C.      Contoh Mashlahah Mursalah
Contoh mashlahah mursalah dalam kehidupan sehari-hari adalah melakukan pencatatan perkawinan oleh petugas Kantor Urusan Agama. Tujuan penulisan akta pernikaan ini adalah untuk keperluan sahnya gugatan perkawinan, nafkah, pembagian warisan, pembagian harta gono-gini dan lainnya. Tidak hanya itu pemerintah mengatur usia perkawinan juga merupakan contoh mashlahah mursalah. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga mashlahat yakni kesehatan pasangan dan keturunannya.
Contoh lainnya adalah membuang barang yang ada diatas kapal laut tanpa izin yang punya barang, disebabkan ada gelombang besar yang mengakibatkan kapal oleng. Hal tersebut dilakukan demi kemashlahatan seluruh penumpang dan menolak bahaya.
Contoh mashlahah mursalah lainnya adalah penetapan riba pada bunga bank serta dikeluarkannya fatwa oleh para ulama tentang berbagai hal misalnya label halal dalam kemasan makanan, sertifikat halal, menetapkan jatuhnya tataq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan lainnya.[12]

D.      Dasar BerlakunyaMashlahah Mursalah
Pada dasarnya ulama berbeda pendapat dalam memandang mashlahah, sedangkan mereka memandangnya sebagai hujjah syar’iyah dan termasuk salah satu dari dalil-dalil pembinaan hukum, sedangkan ulama lain memandang sebaliknya. Abdul Wahab Khalaf dalam sebuah kitabnya menulis bahwa Imam Malik dan Ahmad serta pengikut-pengikutnya berpegang kepada istislah sebagai metode syar’iyah untuk menetapkan hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak ada baik nas maupun ijma’. As-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya dalam hal ini menolah istislah. Mereka berprisip bahwa seorang yang berpegang dengan istislah identik dengan orang yang berpegang dengan istihsan, dan istislah memang identik dengan istihsan. Adapun Ulama Hanafiyah dan kitab-kitab yang memang dinyatakan sebagai ulama yang tidak mau berpegang dengan istihsan dan tidak menganggapnya sebagai dalil syar’iyah. Al-Qarafi sebagaimana disinyalir oleh Abu Zahrah justru mempunyai pandangan yang lebih ekstrim. Beliau menyatakan bahwa mashlahahsecara faktual dijadikan hujjah oleh semua Imam Mahzab pada sebagian masalah furu’iyah. Menurut pandangannya ulama-ulama mahzab itu mempraktikan qiyas dan mereka menentukan illat berdasarkan munasbab padahal disitu jelas tidak ada dalil yang mengakuinya. Syekh Muhammad Abduh terkenal sebagai seorang mujtahid yang berpegang pada mashlahah, hal ini dpaat dibuktikan kepada corak fatwa dan penafsiran beliau terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Dari beberapa ulama yang berhujjah dengan mashlahahmaka Imam Maliklah yang terkenal paling banyak mempergunakannya, walaupun oleh kebanyakan pengikut-pengikut beliau pernyataan ini ditolaknya.[13]Dari perbedaan persepsi dan argumentasi para ulama tentang kehujjahan mashlahahdapatlah selanjutnya digarisbawahi bahwa pada prinsipnya para ulama itu berbeda pandangan dalam melihat essensi mashlahahyang sebenarnya. Sebagian berpendapat, mempraktikkan mashlahahberarti menetapkan hukum dengan dasar rasio dan subyektivitas semata tanpa memperhatikan maksud-maksud syara’.[14]
Keberadaan hukum islam sebagai suatu hukum yang mengandung kemashlahatan bagi seluruh umat manusia baik secara implisit maupun eksplisit adalah merupakan realitas hukum yang sulit dipungkiri, lebih-lebih secraa tekstual. Ini memberikan pengertian bahwa setiap kemashlahatan yang benar-benar essensial dan hakiki serta bersifat umum dan selamanya akan memperoleh justifikasi tersebut dan memang pada hakikatnya menerima mashlahahsebagai sumber hukum telah didukung oleh nas-nas Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Atas dasar ini dapatlah diyakini keberadaan hukum Islam sebagai suatu sistem akan mampu menjawab tantangan modernitas sepanjang jaman dengan tetap menjamin karakteristik hukum itu sendiri berupa fleksibilitas dan elastisitas dalam segala aturan.[15]

E.     Syarat-syarat Menjadikan Hujjah MashlahahMursalah
Para ulama yang menajdikan hujjah mashlahahmursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka mensyaratka dalam mashlahah mursalah yang di jadikan dasar pembentukan hukum itu tiga syarat sebagai berikut:
1.      Berupa mashlahah yang sebenarnya, bukan mashlahah yang bersifat dugaan. Yang di maksud dengan ini, yaitu agar dapat di realisir pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau menolah madhorot. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara mashlahah yang dapat di datangkan oleh pembetukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas mashlahah yang bersifat dugaan, contoh mashlahah ini ialah mashlahah yang di dengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi) saja dalam keadaan.
2.      Berupa mashlahah yang umum, bukan mashlahah yang bersifat perorangan. Yang di maksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembetukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan umat manusia, atau dapat menolah madhorot dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang saja di antara mereka. Kalau begitu, maka tidak dapat disyariatkan sebuah hukum, karena iya hanya dapat merealisir mashlahah secara khusus kepada Amir, atau kepada kalangan eliat saja, tanpa memperhatikan mayoritas umat, dan kemashlahatannya. Jadi mashlahah harus menguntukan (manfaat) bagi mayoritas umam manusia.[16]
3.      Pembetukan hukum bagi mashlahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nas atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui mashlahah yang menututut adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena masalah ini adalah masalah yang di batalkan. Oleh karena itu fatwa yahya ibnu yahya al-lait al-maliki, ulama fikih (spayol), murid imam malik bin anas, adalah keliru, yaitu seorang raja andalus berbuka secara sengaja pada siang bulan Ramadhan, kemudia imam yahya memberi fatwa bahwa tidak ada denda, tebusan bagi perbuatan raja itu, kecuali berpuasa di dua bulan berturut-turut. Dia mendasakan fatwanya, bahwa mashlahah menghedaki ini, karena yang di maksud dengan kafarat ialah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada perbuatan semisal dosanya, dan tidak bisa menahan kepada raja ini kecuwali ini, adapun keadaan memerdekakan budak, maka hal ini budah sekali bagi raja, namun tidak bisa menghajar kepadanya. Fatwa ini didasarkan kepada mashlahah, namun fatwa itu bertentangan dengan nas, karena dalam nas telah jelas, bahwa kafarat orang yang berbuka pada siang bulan Ramadhan secara sengaja adalah memerdekakan budak, maka siapa yang tidak mendapatkan budak harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan yang tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan tanpa membedakan antara raja yang berbuka atau orang kafir yang berbuka. Jadi mashlahah yang diakui oleh Mufti karena menetapkan raja dengan kafarat berpuasa dua bulan secara khusus, adalah bukanlah mashlahah yang umum, bahkan mashlahah yang di batalkan.
Dari sini jelas bahwa mashlahah atau dengan istilah lain, sifat yang sesuai (al-wushfu al-munasib) ketika terdapat saksi syarak yang mengakuinya dengan salah satu macam - macam pengakuan, maka sifat tersebut adalah berarti sesuai yang dia akui oleh syari. Sifat yang sesuai tersebut ada kalanya sesuai dengan yang mempengaruhi dan ada kalanya sesuai yang sepadan. Dan ketika terdapat saksi mata yang membatalkan pengakuan itu, maka sifat itu adalah sesuai yang dibatalkan. Tetapi bila tidak terdapat saksi syarak yang mengakui atau membatalkan, maka sifat tersebut adalah sesua dengan yang umum (al-munasib al-mursal), dengan istilah lain marsahalahmuslahah.[17]

F.     Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya:
a.       Mashlahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalilmenurut ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli Zahir.
b.      Mashlahah mursalah dapatmenjadi hujjah/dalilmenurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum asl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemashlahahan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemashlahahan yang dibenarkan syara’. Tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap mashlahah yang dibenarkan syara’ ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan syari’ (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemashlahahannya. Hal ini karena hampir tidak ada mashlahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
c.       Imam Al-Qarafi berkata tentang mashlahah mursalah:
اِنَّالْمَصْلَحَةُالْمُرْسَلَةَ فِى جَمِيْعِ الْمَذَا هِبِ عِنْدَالتَّحْقِيْقِ لِاَنَّهُمْ يَقِيْسُوْنَ وَيُفَرِّقُوْنَ بِالْمُنَا سَبَاتِ وَلاَ يَطْلُبُوْنَ شَا هِدًا بِالْاِعْتِبَارِ
Artinya:
Sesungguhnya behujjah dengan mashlahah mursalah dilakukan oleh semua mahzab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Di antara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemashlahahan manusia maka jelaslah bagi kita bahwa mashlahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umt manusia baik dunia maupun akhirat.[18]
G.    Kedudukan Mashlahah Mursalah
            Sebagaimana dimaklumi bahwa tujuan syari’at Islam adalah untuk mencapai kemashlahatan umat manusia yakni membawa umat manusia kepada yang bermanfaat dan menyingkirkan manusia dari yang merusak atau yang menyebabkan hidup menjadi sempit. Sedang kemashlahatan umat manusia selalu berubah dengan berubah zaman dan berbeda tempat tinggal. Mungkin pada satu saat dianggap kemashlahatan dan pada saat lain dianggap merusak, pada satu daerah dianggap bermanfaat dan pada daerah lain tidak bermanfaat.
            Kemashlahatan umat manusia ada yang diantaranya ditunjuk oleh Allah maka kemashlahatan yang seperti ini dinamakan “mashalihul mu’tabarah minas syaari”. Contohnya agar jiwa manusia terpelihara ditetapkan hukuman qisas bagi pembunuh yang bersengaja, agar harta benda terpelihara ditetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, agar kehormatan tetap terjaga ditetapkan hukuman dera bagi yang menuduh orang yang berbuat zinah dan orang yang melakukan zinnah. Semua macam hukuman yang ditetapkan diatas tujuannya untuk memelihara kemashlahatan umat manusia dan kemashlahatan itu sendiri ditunjuk oleh Allah dan Allah yang telah menetapkan hukumannya bagi pelanggar. Mengenai kemashlahatann yang disebutkan diatas tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dapat dijadikan sumber fikih. Tetapi kemashlahatan yang timbuldisebabkan kondisi setempat atau oleh kondisi tertentu yang tidak disinggung oleh syara’ hukumnya maka yang seperti ini dinamakan”mashlahatul mursalah”. Contohnya pengadilan tidak akan memeriksa perkara dalam perkawinan yang tidak tercatat dengan resmi, perjanjian untuk memindahkan hak milik yang tidak tertulisdianggap tidak dapat memindahkan hak milik, semua ketentuan-ketentuanini berdasarkan kemashlahatan yang tidak disebutkan hukumnya oleh syara’.[19]



BAB III
KESIMPULAN

A.    Penutup
Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia yang selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Jenis-jenis mashlahah dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, ada tiga macam, yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah, dan mashlahah tahsiniyah. Dan dilihat dari mashlahah dalam artian munasib dari segi pembuat hukum (Syari’) memerhatikannya atau tidak, mashlahah terbagi kepada tiga jenis, yaitu: mashlahah al-Mu’tabarah, mashlahah al-Mulghah, dan mashlahah al-Mursalaat. Para ulama berbeda pendapat baik itu dari persepsi dan argumentasinya mengenai kehujjahan mashlahah.Namun,setiap kemashlahatan yang benar-benar essensial dan hakiki serta bersifat umum dan selamanya akan memperoleh justifikasi tersebut dan memang pada hakikatnya menerima mashlahah sebagai sumber hukum telah didukung oleh nas-nas Al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Syarat-syarat Mashlahah Mursalah yaitu mashlahah itu harus hakikat bukan dugaan, mashlahah harus bersifat umum dan menyeluruh, dan mashlahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh nas atau ijma’.Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul.Di antara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahahan.Kemashlahatan yang timbul disebabkan kondisi setempat atau oleh kondisi tertentu yang tidak disinggung oleh syara’ hukumnya maka yang seperti ini dinamakan”mashlahatul mursalah”.



B.     Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.



DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. UshulFiqh 2.Jakarta: Kencana, 2014.
Zuhri, Saifudin. UshulFiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Umam, Khairul. UshulFiqih I.Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Syukur, Asywadie. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 367-368.
[2]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, hlm. 368-369.
[3]Ibid. 369.
[4]Ibid. 370.
[5]Ibid. 377-379.
[6]Ibid. 370-372.
[7]Ibid. 372-373.
[8]Ibid. 373-374.
[9]Ibid. 374-375.
[10]Ibid. 375-376.
[11]Ibid. 376-377.
[12]Jajat sudrajat, “Contoh Mashlahah Mursalah dalam Kehidupan Sehari-hari”, Contoh Mashlahah Mursalah, diakses dari ilmutentangagamaislam.blogspot.co.id/2016/10/contoh-mashlahah-mursalah-dalam.html?m=1, pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 10.54.
[13]Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 85-88.
[14]Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam, hlm. 95-96.
[15]Ibid. 101.
[16]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 127.
[17]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, hlm. 128-129.
[18]Khairul Umam, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 141-142.
[19]Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar