
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Yang
diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi,
M.H.I
Disusun
Oleh :
Nuriyah
Nuril Fahmi A
Philia
Dewinta B.P
Qoyyimah
R.A.
Kristina Y.L
Rif’atun
Hasanah S
PROGAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat
dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
Mashlahah Mursalah” sehingga dapat terbit sesuai
waktu yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepadaNabi
Muhammad SWT. Para sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulisan
makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqhdan semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga dapat
memperbaiki isi makalah ini. Disamping itu kami mengucapkan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
dapat terealisasikanlah makalah ini.
Penulisan
makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu
pembaca untuk memberikan saran dan komentar yang kontruktif sebagai perbaikan
dan penyempurnaan untuk masa-masa yang akan datang dan menjadikan makalah ini
lebih baik lagi.
Pamekasan,17
April 2018
Penulis,
DAFTAR ISI
|
|
HALAMAN
JUDUL ......................................................................................
KATA
PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ..............................................................................
B.
Rumusan Masalah
.........................................................................
C.
Tujuan Masalah
.............................................................................
BAB IIPEMBAHASAN
A.
Pengertian Mashlahah Mursalah..................................................
B.
Jenis-jenis Mashlahah....................................................................
C.
Dasar berlakunya Mashlahah Mursalahsafi.................................
D.
Syarat-syarat menjadikan hujjah Mashlahah Mursalah.................
E.
Kehujjahan Maslahah Mursalah....................................................
F.
Kedudukan Mashlahah Mursalah..................................................
BAB
IIIPENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran
..............................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .....................................................................................
|
i
ii
iii
1
2
2
3
8
14
16
18
19
21
22
23
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semua
hukum sudah ditetapkan oleh Allah swt.atas hamba-hambanya dalam bentuk perintah
maupun larangan yang mengandung mashlahat. Semua perintah dari Allah bagi
manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk hamba-hambaNya itu sendiri
baik secara langsung maupun tidak langsung.Manfaat yang diberikan oleh Allah
dapat dirasakan pada saat itu juga dan ada juga yang dirasakan sesudahnya.
Sebagai contoh, Allah memperintahkan hambaNya untuk sholat dan sholat
mengandung banyak sekali manfaat, antara lain bagi kesehatan jasmani dan
rohani.
Dan
juga dengan larangan Allah untuk dijauhi oleh hamba-hambaNya.Di balik
larangan-larangan yaitu terkandung kemashlahatan, yaitu terhindarnya manusia
dari kerusakan. Sebagai contohnya adalah larangan meminum-minuman keras yang
akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapatr merusak tubuh, jiwa serta
akal yang ada pada hambaNya.
Dari
penjelasan singkat diatas, tampak betapa pentingnya muslahat dalam kehidupan
manusia.Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara
syar’I baik dalam al-qur’an dan hadis nabi, maka dengan merujuk kepada
kemashlahatan manusia.Masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan
pertimbangan akal, tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan- tujuan syara’.
Salah satu bentuk ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut bisa disebut
dengan mashlahah mursalah, yang selanjutnya akan dibahas di dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Mashlahah
Mursalah?
2.
Apa
saja jenis-jenis Mashlahah?
3.
Bagaimana
dasar berlakunya Mashlahah Mursalah?
4.
Apa
saja syarat-syarat menjadikan hujjah MashlahahMursalah?
5.
Bagaimana
kehujjahan Maslahah Mursalah?
6.
Bagaimana
kedudukan Mashlahah Mursalah?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian Mashlahah Mursalah
2.
Untuk
mengetahui jenis-jenis Mashlahah
3.
Untuk
mengatahui dasar berlakunya Mashlahah
Mursalah
4.
Untuk
mengetahui syarat-syarat menjadikan hujjahMashlahahMursalah
5.
Untuk
mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah
6.
Untuk
mengetahui kedudukan Mashlahah Mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah(مصلحة) berasal dari kata shalaha (صلح) dengan penambahan “alif” diawalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusuk”. Ia
adalah mashdar dengan arti kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas
daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahahdalam
bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia.” Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yag bermanfaat
bagi manusia, baik dalam arti menarik atay menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi yang setiap mengandung manfaat patutu
disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahahitu mengandung dua
sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan
kemudaratan.
Dalam mengartikan mashlahahsecara
definitif terdapat perbedaan rumusan di kalangan ulama yang kalau dianalisis
ternyata hakikatnya adalah sama.
1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut
asalnya mashlahahitu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat
(keuntungan) dan menjaukan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari mashlahahadalah:
المُحَا
فَظَةُ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ
“Memelihara
tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).”
Sedangkan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.”[1]
2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang
hampir sama dengan definisi al-Ghazali diatas, yaitu:
الْمُحَا
فَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ بِدَفْعِ الْمَفَا سِدِ عَنِ الْخَلْقِ
“Memelihara
tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari
manusia.”
Definisi
ini memiliki kesamaan dengan definisi al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya,
karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan menolak
kemashlahatan ber-arti menarik kerusakan.
3. Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam
kitabnya, Iqawa’id al-Ahkam,memberikan arti mashlahahdalam bentuk
hakikinya dengan “kesenangan dan kenikmatan.” Sedangkan bentuk majazi-nya
adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut. arti
ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan
dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
4. Al-Syatibi mengartikan dua mashlahahitu
dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya mashlahahdalam kenyataan
dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah.
a. Dari segi terjadinya mashlahahdalam
kenyataan, berarti:
مَايَرْجِعُ اِلَى قِيَامِ
حَيَاةِ اْلاِنْسَانِ وَتَمَامِ عَيْشَتِهِ وَنَيْلِهِ مَاتَقْتَضِيْهِ اَوْصَافُهُ
الشَّهْوَا تِيَّةُ وَالْعَقْلِيَّةُ عَلَى اْلاِطْلاَقِ
“Sesuatu yang kembali kepada tegaknya
kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat
syahwati dan aklinya secara mutlak.”
b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’
kepada mashlahah, yaitu kemashlahatan yang merupakan tujuan dari
penerapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia
untu berbuat.
5. Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf
Hamid al-‘Alim dalam bukunya al-Maqashid al-Ammah li al-Syari’ati
al-Islamiyah mendefinisikan mashlahah sebagai berikut:
عِبَارَةٌ
عَنِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّى اِلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ عِبَادَةًاَوْعَادَةً
“Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam
bentuk ibadat atau adat”.[2]
Definisi
dari al-Thufi ini bersesuaian dengan definisi dari al-Ghazali yang memandang mashlahahdalam
artian syara’ sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’.
Dari beberapa definisi
tentang mashlahahdengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan
bahwa mashlahahitu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat
karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi
manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[3]
Dari kesimpulan
tersebutterlihat adanya perbedaan antara mashlahahdalam pengertian
bahasa (umum) dengan mashlahahdalam pengertian hukum atau syara’.Perbedaannya
terlihar dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan.Mashlahahdalam
pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia
dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa
nafsu.Sedangkan pada mashlahahdalam artian syara’ yang menjadi
titik bahasan dalam ushul fiqih, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya
adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu
mendapatkan kesenangan dan menghindar ketidaksenangan.
Selanjutnya
Yusuf Hamid dalam kitab al-Maqashid menjelaskan keistimewaan mashlahah
syar’I itu dibanding dengan mashlahahdalam artian umum, sebagai
berikut:
1) Yang menjadi sandaran dari mashlahahitu
selalu petunjuk syara’, bukan semata berdasarkan akal manusia, karena
akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relatif dan subjektif, selalu
dibatasi waktu dan tempat, serta selalu terpengaruh lingkungan dan dorongan
hawa nafsu.
2) Pengertian mashlahahatau buruk
dan baik dalam pandangan syara’ tidak terbatas untuk kepentingan dunia
saja tetapi juga untuk akhirat; tidak hanya untuk kepentingan semusim, tetapi
berlaku untuk sepanjang masa.
3) Mashlahahdalam
artian syara’ tidak terbatas pada rasa enak dalam artian fisik jasmani
saja, tetapi juga enak dan tidak enak dalam artian mental-spiritual atau secraa
ruhaniyah.[4]
Mashlahah Mursalah terdiri
dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-maushuf, atau
dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah.
Tentang arti mashlahahtelah dijelaskan diatas, secraa etimologis
(bahasa) dan terminologis (istilah).
Al-Mursalaat (المرسلة)adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu رسل, dengan penambahan
huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadiارسل.Secara etimologis
(bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti مطلقة (bebas).Kata
“terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata mashlahahmaksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.”
Ada beberapa rumusan definisi yang
berbeda tentang mashlahah mursalah ini,
namun masing-masing memiliki kesamaan dan kedekatan pengertiannya. Diantaa
definisi tersebut adalah:
1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ
يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِا لْبُطْلاَنِ وَلاَبِالْاِعْتِبَارِ نَصٌّ
مُعَيَّنٌ
“Apa-apa
(mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dala bentuk nash tertentu
yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.”
2. Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi:
الْمُنَاسِبُ
الَّذِى لاَيَعْلَمُ اَنَّالشَّارِعَ الْفَاهُ اَوِاعْتَبَرَهُ
“Maslahah
yang tidak diketahui apakah Syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.”
3. Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali member
rumusan:
مَالَمْ
يَشْهَدْ لَهُ اِبْطَالٌ وَلاَ اِعْتِبَارٌ مُعَيِّنٌ
“Maslahat yang
tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang
memerhatikannya.”
4. Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan:
مَالَمْ يَشْهَدِ الشَّرْعُ لاَ لِبُطْلاَ نِهَا
وَلاَ لاِعْتِبَارِهَا
“Apa-apa
(mashlahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga
tidak untuk memerhatikannya.”
5. Jalal al-Din Abd al-Rahman member
rumusan yang lebih luas:
المَصَالِحُ
الْمُلاَ ئِمَةُ لِمَقَاصِدِ الشَّارِعِ وَلاَ يَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ
بِاْلاِعْتِبَارِ اَوْبِاْلاِلْغَاءِ
“Mashlahah yang
selaras dengan tujuan syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu
yang membuktikan tentang pengakuannya dan penolakannya.”
6. Abd al-Wahhab al-Khallaf memberi berikut:
اِنَّهَامَصْلَحَةٌ
لَمْ يَرِدْعَنِ الشَّارِعِ دَلِيْلٌ لاِعْتِبَارِهَا اَوْ لِاِلْغَاءِهَا
“Mashlahah mursalah ialah mashlahat yang tidak ada dalil
syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.”
7. Muhammad Abu Zahrah member definisi yang
hamper sama dengan rumusan Jalal al-Din di atas, yaitu:
هِيَ
الْمَصَالِحُ الْمُلاَ ئِمَةُ لِمَقَا صِدِ الشَّارِعِ اْلاِسْلاَمَىِّ
وَلاَيَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ بِالْاِعْتِبَارِ اَوْبِالْاِلْغَاءِ
“Mashlahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan
tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau
penolakannya.”
Selain definisi diatas, masih
banyak definisi lainnya lainnya tentang mashlahah
mursalah, namun karena pengertiannya hampir bersamaan, tidak perlu
dikemukakan semuanya. Memang terdapat rumusan yang berbeda, namun perbedaannya
tidak sampai pada perbedaan hakikatnya.
Dari beberapa rumusan definisi
di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut:
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan
pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi
manusia;
2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum;
3.
Apa yang baik menurut akan dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secraa khusus yang menolaknya,
juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.
Mashlahah musralah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan ”mashlahah muthlaqah”, ada pula yang menyebutnya dengan “munasib mursal”, juga ada yang
menamainya dengan al-istishlah. Perbedaan
penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.[5]
B.
Jenis-jenis Mashlahah
Sebagaimana
dijelaskan diatas bahwa mashlahahdalam
artian syara’ bukan hanya didasarkan
pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena
dapat mendatangkan kenikamatan dan menghindarkan kerusakan; tetapi lebih jauh
dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
yaitu memelihara lima rinsip pokok kehidupan. Umpamanya larangan meminum
minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau mashlahahkarena dapat menghindarkan diri
dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minuma
keras, yaitu untuk memelihara akal manusia dengan salah satu dari lima prinsip
pokok kehidupan manusia harus dipelihara.
Kekuatan
mashlahahdapat dilihaat dari segi
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok
bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga
dapat dilihat dari segi tingkatan kebutuhan dna tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal
tersebut:
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum, mashlahahada tiga macam,
yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah
hajiyah, dan mashlahah tahsiniyah.
a.
Mashlahah dharuriyah (المصلحة الضرورية) adalah kemashlahatan yang
kebenarannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan
manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak
ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan
lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahahdalam
tingkat dhururi. Karena itu Allah
memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.
Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyababkan
lenyap atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk,
karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut
adalah baik atau mahlahah dalam
tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah
melarang murtad untuk memelihara agama; melarang membunuh untuk memlihara jiwa;
melarang minum minuman keras untuk memlihara akal; melarang berzina untuk
memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b.
Mashlahah hajiyah (المصلحة الحاجية) adalah kemashlahatan yang tingkat
kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak
secara langsungbagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti
dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika tidak
terpenuhi dlaam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan
rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secraa tidak langsung memang bisa
mengakibatkan perusakan.
Contoh mashlahah hajiyahadalah: menuntut ilmu
agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk
sempurnanya akal; melakukan jual beli utnuk mendapatkan harta. Semua itu
merupakan perbuatan baik atau mashlahahdalam
tingkat haji.[6]
Sebaliknya ada perbuatan yang secra tidak langsung akan
berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti:
menghina agama berdampak pada memilihara agama; mogok makan pada memelihara
jiwa; minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal; melihat aurat dalam
pada memelihara keturunan; dan menipu akan berdampak pada memelihara harta.
Semuanya adalah perbuatan buruk yang dilarang. Menjauhi larangan tersebut
adalah baik atau mashlahahdalam
tingkat haji.
c. Mashlahah tahsiniyah(المصلحة التحسينية) adalah mashlahahyang kebutuhan hidupa manusia kepadanya tidak sampai
tingkat dharuri, juga tidak sampai
tingkat haji; namun kebutuhan
tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi
hidup manusia. Mashlahahdalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dnegan
kebutuhan pokok manusia.
Tiga bentukmashlahahtersebut,
secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatanya. Yang kuat adalah
mashlahah dhururiyah, kemudian
dibawahnya adalah mashlahah hajiyah
dan berikutnya mashlahah tahsiniyah.
Dharuriyah yang lima itu juga berbeda tingkat kekuatannya, yang secara
berurutan adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat
kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antar sesamanya.
Dalam hal ini harus didahulukan dharuri atas
haji; dan didahulukan haji atas tahsini.
Begitu pula bila terjadi pembenturan antara sesama yang dharuri tersebut, maka tingkat yang
lebih tinggi harus didahulukan. Jihat di jalan Allah, disyariatkan untuk
menegakkan agama meskipun dengan mengurbankan jiwa dan harta sebagaimana
tersebut dalam firman Allah pada surat al-Maaidah
(5): 41:
وَجَاهِدُوْابِاَمْوَالِكُمْ
وَاَنْفُسِكُمْ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Ayat diatas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas
jiwa dan harta. Begitu pula syariat membolehkan meminum khamar bagi orang yang
tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya. Hal ini menunjukkan bahwa
memelihara jiwa itu harus didahulukan atas memelihara akal. (Hubungan mashlahahdengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, akan
diuraikan dalam bahasan Maqashid
al-Syari’ah).
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh
akal itu dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, mashlahahitu disebut juga dengan munasib atau keserasian mashlahahdengan tujuan hukum. Mashlahahdalam artian munasib itu dari segi pembuat hukum (Syari’) memerhatikannya atau tidak, mashlahahterbagi kepada tiga jenis,
yaitu:
a.
Mashlahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة), yaitu mashlahahyang
diperhitungkan oleh syari’, baik
langsung maupun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya mashlahahyang menjadi alasan dalam
menetapkan hukum.
Dari
langsung tidak langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahahtersebut, mashlahahterbagi
dua:
1)
Munasib mu’atstsir (المناسب المئثر),yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’)yang memerhatikan mashlahahtersebut.
Maksudnya, ada petunjuk syara’ dalam
bentuk nash atau ijma’ yang menetapkan bahwa mashlahah
itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh
dalil nash yang menunjuk langsung
kepada mashlahah, umpamanya tidak
baiknya mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah
penyakit. Hal ini disebut mashlahahkarena
menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang
dikaitkan dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2): 222:
يَسْأَلُوْنَكَ
عَنِالْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَفِيْ الْمَحِيْضِ[8]
”Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit; oleh
karenanya jauhilah perempuan yang sedang haid.”
Contoh
dalil yang menunjuk langsung kepada mashlahahdalam
bentuk ijma’ umpamanya menetapkan
adlanya kewalian ayah terhadap harta anak-anak dengan ‘illat “belum dewasa”. Adanya hubungan “belum dewasa” dengan hukum
perwakilan adalah mashlahahatau munasib. Dalam hal ini ijma’ sendiri yang mengatakan demikian.
2)
Munasib mulaim (المناسب الملائم) yaitu tidak ada petunjuk langsung
dari syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian syara’
terhadap mashlahahtersebut, namun
secara tidak langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara langsung tidak menetapkan suatu keadaan menjadi
alasan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang
ditetapkan syara’ sebagai alasan
untuk kaum yang sejenis. Umpamanya:
a)
Berlanjutnya perwakilan ayah terhadap anak gadisnya dengan alasan anak
gadisnya itu “belum dewasa”. “Belum dewasa” ini menjadi alasan bagi hukum yang
sejenis dengan itu, yaitu perwalian dalam harta milik anak kecil.
b)
Bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim
(penduduk setempat) karena hujan itu memang tidak oernah dijadikan alasan
untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui
ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis
dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” (safar)
menjadi alasan untuk bolehnya jama’ shalat.[9]
c)
Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan shalat berjemaah.
Tidak ada petunjuk dari syara’ yang menetapkan dingin itu sebagai alasan untuk
tidak ikut shalat berjemaah. Namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan yang sejenis dengan dingin itu, yaitu
“perjalanan” yang dijadikan syara’
sebagai alasan bagi hukum yang sejenis dengan meninggalkan shalat jamaah
tersebut, yaitu jama’ shalat. “Dingin” itu sejenis dengan “perjalanan” yaitu
sama dalam hal menyulitkan; sedangkan meninggalkan shalat berjemaah sejenis
dengan jama’ shalat, yaitu sama-sama rukhsah
(keringanan) hukumnya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pada bentuk mashlahahyang dalilnya tidak langsung
itu masih ada perhatian syara’ kepada
mashlahahtersebut, meskipun sangat
kecil.
b.
Mashlahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة), atau mashlahahyang ditolak, yaitu mashlahahyang
dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’
yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan
dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda
dengan apa yang dintuntut oleh mashlahahitu.
Umpamanya seorang raja atau orang kaya yang melakukan pelanggaran hukum, yaitu
mencampuri istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang
paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut turut, karena cara inilah
yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini
memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syari’ dalam menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam
melakukan pelanggaran. Namun, apa yang dianggap baik oleh akal ini, ternyata
tidak demikian mnurut syari’, bahkan
ia menetapkan hukum yang berbeda dengan tiu, yaitu harus memerdekakan hamba
sahaya, meskipun sanksi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk
dapat membuatnya jera.[10]
Contoh
lain umpamanya, dimasa kini msyarakat telah mengakui emansipasi wanita untuk
menyamakan derajatnya dnegan laki-laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik
atau mashlahahuntuk menyamakan hak
perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal inipun dianggap
sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak
waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku pada laki-laki. Namun hukum
Allah telah jelas dan ternyata berbeda dengan apa yang dikira baik oleh akal itu,
yaitu hak warits atas anak laki-laki adalah dua kali lipat hak anak perempuan
sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisaa’
(4): 11, dan penegasan Allah tentang hak warits saudara laki-laki sebesar dua
kali hak saudara perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nisaa’ (4): 176.
c. Mashlahahal-Mursalaat (المرسلةالمصلحة), atau yang juga biasa disebut istishlah (الاستصلاح), yaitu apa yang dipandang baik
oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’
yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah mu’tabarah, sebagaimana juga
mereka sepakat dalam menolak mashlahah
mulghah. Menggunakan metode mashlahah
murasalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan
dikalangan ulama.[11]
C.
Contoh Mashlahah Mursalah
Contoh mashlahah mursalah dalam
kehidupan sehari-hari adalah melakukan pencatatan perkawinan oleh petugas
Kantor Urusan Agama. Tujuan penulisan akta pernikaan ini adalah untuk keperluan
sahnya gugatan perkawinan, nafkah, pembagian warisan, pembagian harta gono-gini
dan lainnya. Tidak hanya itu pemerintah mengatur usia perkawinan juga merupakan
contoh mashlahah mursalah. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga mashlahat
yakni kesehatan pasangan dan keturunannya.
Contoh lainnya adalah membuang
barang yang ada diatas kapal laut tanpa izin yang punya barang, disebabkan ada
gelombang besar yang mengakibatkan kapal oleng. Hal tersebut dilakukan demi
kemashlahatan seluruh penumpang dan menolak bahaya.
Contoh mashlahah mursalah lainnya
adalah penetapan riba pada bunga bank serta dikeluarkannya fatwa oleh para
ulama tentang berbagai hal misalnya label halal dalam kemasan makanan,
sertifikat halal, menetapkan jatuhnya tataq tiga dengan sekali ucapan,
menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan lainnya.[12]
D.
Dasar BerlakunyaMashlahah
Mursalah
Pada dasarnya ulama berbeda
pendapat dalam memandang mashlahah,
sedangkan mereka memandangnya sebagai hujjah
syar’iyah dan termasuk salah satu dari dalil-dalil pembinaan hukum,
sedangkan ulama lain memandang sebaliknya. Abdul Wahab Khalaf dalam sebuah
kitabnya menulis bahwa Imam Malik dan Ahmad serta pengikut-pengikutnya
berpegang kepada istislah sebagai metode syar’iyah
untuk menetapkan hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak
ada baik nas maupun ijma’. As-Syafi’i dan
pengikut-pengikutnya dalam hal ini menolah istislah. Mereka berprisip bahwa
seorang yang berpegang dengan istislah identik dengan orang yang berpegang
dengan istihsan, dan istislah memang identik dengan istihsan. Adapun Ulama
Hanafiyah dan kitab-kitab yang memang dinyatakan sebagai ulama yang tidak mau
berpegang dengan istihsan dan tidak menganggapnya sebagai dalil syar’iyah. Al-Qarafi sebagaimana
disinyalir oleh Abu Zahrah justru mempunyai pandangan yang lebih ekstrim.
Beliau menyatakan bahwa mashlahahsecara
faktual dijadikan hujjah oleh semua
Imam Mahzab pada sebagian masalah furu’iyah.
Menurut pandangannya ulama-ulama mahzab itu mempraktikan qiyas dan mereka menentukan illat berdasarkan munasbab padahal disitu jelas tidak ada dalil yang mengakuinya.
Syekh Muhammad Abduh terkenal sebagai seorang mujtahid yang berpegang pada mashlahah, hal ini dpaat dibuktikan
kepada corak fatwa dan penafsiran beliau terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Dari
beberapa ulama yang berhujjah dengan mashlahahmaka
Imam Maliklah yang terkenal paling banyak mempergunakannya, walaupun oleh
kebanyakan pengikut-pengikut beliau pernyataan ini ditolaknya.[13]Dari
perbedaan persepsi dan argumentasi para ulama tentang kehujjahan mashlahahdapatlah selanjutnya
digarisbawahi bahwa pada prinsipnya para ulama itu berbeda pandangan dalam
melihat essensi mashlahahyang
sebenarnya. Sebagian berpendapat, mempraktikkan mashlahahberarti menetapkan hukum dengan dasar rasio dan
subyektivitas semata tanpa memperhatikan maksud-maksud syara’.[14]
Keberadaan hukum islam sebagai suatu hukum yang
mengandung kemashlahatan bagi seluruh
umat manusia baik secara implisit maupun eksplisit adalah merupakan realitas
hukum yang sulit dipungkiri, lebih-lebih secraa tekstual. Ini memberikan
pengertian bahwa setiap kemashlahatan yang benar-benar essensial dan hakiki
serta bersifat umum dan selamanya akan memperoleh justifikasi tersebut dan memang
pada hakikatnya menerima mashlahahsebagai
sumber hukum telah didukung oleh nas-nas Al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Atas dasar ini dapatlah diyakini keberadaan hukum Islam
sebagai suatu sistem akan mampu menjawab tantangan modernitas sepanjang jaman
dengan tetap menjamin karakteristik hukum itu sendiri berupa fleksibilitas dan
elastisitas dalam segala aturan.[15]
E.
Syarat-syarat Menjadikan Hujjah MashlahahMursalah
Para ulama yang menajdikan hujjah mashlahahmursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga
tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan
keinginan perorangan. Karena itu mereka mensyaratka dalam mashlahah mursalah yang di jadikan dasar pembentukan hukum itu tiga
syarat sebagai berikut:
1. Berupa mashlahah
yang sebenarnya, bukan mashlahah yang
bersifat dugaan. Yang di maksud dengan ini, yaitu agar dapat di realisir
pembentukan hukum suatu kejadian itu, dan dapat mendatangkan keuntungan atau
menolah madhorot. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan
keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara mashlahah yang dapat di datangkan oleh pembetukan hukum itu, maka
ini berarti adalah didasarkan atas mashlahah
yang bersifat dugaan, contoh mashlahah
ini ialah mashlahah yang di dengar
dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak
menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi) saja dalam keadaan.
2.
Berupa mashlahah yang umum, bukan
mashlahah yang bersifat perorangan.
Yang di maksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembetukan
hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan umat
manusia, atau dapat menolah madhorot dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan
kepada seseorang atau beberapa orang saja di antara mereka. Kalau begitu, maka
tidak dapat disyariatkan sebuah hukum, karena iya hanya dapat merealisir mashlahah secara khusus kepada Amir,
atau kepada kalangan eliat saja, tanpa memperhatikan mayoritas umat, dan kemashlahatannya. Jadi mashlahah harus menguntukan (manfaat) bagi mayoritas umam manusia.[16]
3. Pembetukan hukum bagi mashlahah
ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nas
atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui mashlahah
yang menututut adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam
hal pembagian harta pusaka, karena masalah ini adalah masalah yang di batalkan.
Oleh karena itu fatwa yahya ibnu yahya al-lait al-maliki, ulama fikih (spayol),
murid imam malik bin anas, adalah keliru, yaitu seorang raja andalus berbuka secara
sengaja pada siang bulan Ramadhan, kemudia imam yahya memberi fatwa bahwa tidak
ada denda, tebusan bagi perbuatan raja itu, kecuali berpuasa di dua bulan
berturut-turut. Dia mendasakan fatwanya, bahwa mashlahah menghedaki ini, karena yang di maksud dengan kafarat
ialah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada
perbuatan semisal dosanya, dan tidak bisa menahan kepada raja ini kecuwali ini,
adapun keadaan memerdekakan budak, maka hal ini budah sekali bagi raja, namun
tidak bisa menghajar kepadanya. Fatwa ini didasarkan kepada mashlahah, namun fatwa itu bertentangan
dengan nas, karena dalam nas telah jelas, bahwa kafarat orang yang berbuka pada
siang bulan Ramadhan secara sengaja adalah memerdekakan budak, maka siapa yang
tidak mendapatkan budak harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan yang
tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan
tanpa membedakan antara raja yang berbuka atau orang kafir yang berbuka. Jadi mashlahah yang diakui oleh Mufti karena
menetapkan raja dengan kafarat berpuasa dua bulan secara khusus, adalah
bukanlah mashlahah yang umum, bahkan mashlahah yang di batalkan.
Dari sini jelas bahwa mashlahah
atau dengan istilah lain, sifat yang sesuai (al-wushfu al-munasib)
ketika terdapat saksi syarak yang mengakuinya dengan salah satu macam - macam
pengakuan, maka sifat tersebut adalah berarti sesuai yang dia akui oleh syari.
Sifat yang sesuai tersebut ada kalanya sesuai dengan yang mempengaruhi dan ada
kalanya sesuai yang sepadan. Dan ketika terdapat saksi mata yang membatalkan
pengakuan itu, maka sifat itu adalah sesuai yang dibatalkan. Tetapi bila tidak
terdapat saksi syarak yang mengakui atau membatalkan, maka sifat tersebut
adalah sesua dengan yang umum (al-munasib al-mursal), dengan istilah lain marsahalahmuslahah.[17]
F.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul diantaranya:
a.
Mashlahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalilmenurut
ulama-ulama Syafi’iyyah, ulama-ulama Hanafiyyah, dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli
Zahir.
b. Mashlahah mursalah dapatmenjadi hujjah/dalilmenurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum asl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan
hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemashlahahan.
Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemashlahahan yang dibenarkan syara’.
Tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap mashlahah yang dibenarkan syara’
ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan syari’ (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya
hukum, yang merealisir kemashlahahannya. Hal
ini karena hampir tidak ada mashlahah
mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
c. Imam Al-Qarafi berkata tentang mashlahah mursalah:
اِنَّالْمَصْلَحَةُالْمُرْسَلَةَ
فِى جَمِيْعِ الْمَذَا هِبِ عِنْدَالتَّحْقِيْقِ لِاَنَّهُمْ يَقِيْسُوْنَ
وَيُفَرِّقُوْنَ بِالْمُنَا سَبَاتِ وَلاَ يَطْلُبُوْنَ شَا هِدًا
بِالْاِعْتِبَارِ
Artinya:
“Sesungguhnya behujjah dengan mashlahah
mursalah dilakukan oleh semua mahzab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka
membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum
yang mengikat.”
Di antara
ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus
utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemashlahahan manusia maka jelaslah bagi
kita bahwa mashlahah itu satu hal
yang dikehendaki oleh syara’/agama mengingat
hukum Allah diadakan untuk kepentingan umt manusia baik dunia maupun akhirat.[18]
G.
Kedudukan Mashlahah Mursalah
Sebagaimana dimaklumi bahwa tujuan syari’at Islam adalah untuk mencapai kemashlahatan umat manusia yakni membawa
umat manusia kepada yang bermanfaat dan menyingkirkan manusia dari yang merusak
atau yang menyebabkan hidup menjadi sempit. Sedang kemashlahatan umat manusia selalu berubah dengan berubah zaman dan
berbeda tempat tinggal. Mungkin pada satu saat dianggap kemashlahatan dan pada saat lain dianggap merusak, pada satu daerah
dianggap bermanfaat dan pada daerah lain tidak bermanfaat.
Kemashlahatan umat
manusia ada yang diantaranya ditunjuk oleh Allah maka kemashlahatan yang seperti ini dinamakan “mashalihul mu’tabarah minas syaari”. Contohnya agar jiwa manusia
terpelihara ditetapkan hukuman qisas bagi
pembunuh yang bersengaja, agar harta benda terpelihara ditetapkan hukuman
potong tangan bagi pencuri, agar kehormatan tetap terjaga ditetapkan hukuman
dera bagi yang menuduh orang yang berbuat zinah dan orang yang melakukan
zinnah. Semua macam hukuman yang ditetapkan diatas tujuannya untuk memelihara kemashlahatan umat manusia dan kemashlahatan itu sendiri ditunjuk oleh
Allah dan Allah yang telah menetapkan hukumannya bagi pelanggar. Mengenai kemashlahatann yang disebutkan diatas
tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dapat dijadikan sumber
fikih. Tetapi kemashlahatan yang
timbuldisebabkan kondisi setempat atau oleh kondisi tertentu yang tidak
disinggung oleh syara’ hukumnya maka
yang seperti ini dinamakan”mashlahatul
mursalah”. Contohnya pengadilan tidak akan memeriksa perkara dalam
perkawinan yang tidak tercatat dengan resmi, perjanjian untuk memindahkan hak
milik yang tidak tertulisdianggap tidak dapat memindahkan hak milik, semua
ketentuan-ketentuanini berdasarkan kemashlahatan
yang tidak disebutkan hukumnya oleh syara’.[19]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Penutup
Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia yang selaras dan sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hukum. Jenis-jenis mashlahah dilihat
dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, ada tiga macam,
yaitu: mashlahah dharuriyah, mashlahah
hajiyah, dan mashlahah tahsiniyah. Dan dilihat dari mashlahah dalam artian munasib
dari segi pembuat hukum (Syari’)
memerhatikannya atau tidak, mashlahah terbagi
kepada tiga jenis, yaitu: mashlahah
al-Mu’tabarah, mashlahah al-Mulghah, dan mashlahah al-Mursalaat. Para ulama
berbeda pendapat baik itu dari persepsi dan argumentasinya mengenai kehujjahan mashlahah.Namun,setiap kemashlahatan
yang benar-benar essensial dan hakiki serta bersifat umum dan selamanya akan
memperoleh justifikasi tersebut dan memang pada hakikatnya menerima mashlahah sebagai sumber hukum telah
didukung oleh nas-nas Al-Qur’an
maupun as-Sunnah.
Syarat-syarat
Mashlahah Mursalah yaitu mashlahah itu harus hakikat bukan
dugaan, mashlahah harus bersifat umum
dan menyeluruh, dan mashlahah itu
harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh nas atau ijma’.Dalam kehujjahan mashlahah
mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul.Di antara ulama
yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus
utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahahan.Kemashlahatan yang timbul disebabkan kondisi setempat
atau oleh kondisi tertentu yang tidak disinggung oleh syara’ hukumnya maka yang seperti ini dinamakan”mashlahatul mursalah”.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan
membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon
kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. UshulFiqh 2.Jakarta:
Kencana, 2014.
Zuhri,
Saifudin. UshulFiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah
Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh.Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada,
2000.
Umam, Khairul. UshulFiqih I.Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Syukur, Asywadie. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1990.
[2]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, hlm. 368-369.
[3]Ibid. 369.
[4]Ibid. 370.
[5]Ibid. 377-379.
[6]Ibid. 370-372.
[7]Ibid. 372-373.
[8]Ibid. 373-374.
[9]Ibid. 374-375.
[10]Ibid. 375-376.
[11]Ibid. 376-377.
[12]Jajat sudrajat, “Contoh Mashlahah Mursalah
dalam Kehidupan Sehari-hari”, Contoh Mashlahah Mursalah, diakses dari
ilmutentangagamaislam.blogspot.co.id/2016/10/contoh-mashlahah-mursalah-dalam.html?m=1,
pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 10.54.
[13]Saifudin Zuhri, Ushul
Fiqih Akal sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 85-88.
[15]Ibid. 101.
[16]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 127.
[17]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, hlm. 128-129.
[19]Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar