
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Yang
diampu oleh Bapak MOCH CHOLID
WARDI, M.HI
Disusun
Oleh :
Moh Anis
Nuris Sholihin
Rudiyanto
Sufyan Dendi
Zain
PROGAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini yang masih sangat sederhana dengan judul “QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODELOGI HUKUM ISLAM "
Sholawat beserta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. yang mana beliau telah mengangkis kita
dari alam kegelapan menuju alam yang terang menderang dengan pancaran nur
keimanan dan ilmu pengetahuan.
Kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah
ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha
kita.
Kami
berharap semoga dengan adanya makalah ini bisa menjikan para pembaca lebih
mengenal dan memahami sumber hukum yang bersumber dari qiyas secara mendalam. Wallahul
Muwafiq Ila Aqwamith Thariq.
Wassalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Pamekasan,
08 April 2018
Penulis,
DAFTAR
ISI
|
|
HALAMAN
JUDUL ......................................................................................
KATA
PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR
ISI ...................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ......................................................................
B.
Rumusan Masalah .................................................................
C.
Tujuan Masalah .....................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
...................................................................
B. Rukun Dan Syarat Qiyas
.......................................................
C. Pembagian Qiyas
...................................................................
D. `Illat Qiyas
.............................................................................
E. Dalil/Kehujjahan Qiyas
.........................................................
F. Al-Qawadih Pada Qiyas
.........................................................
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan .............................................................................
B.
Saran .......................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .....................................................................................
|
i
ii
iii
1
1
1
3
4
6
10
13
15
24
25
26
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Qiyas merupakan sumber hukum yang terletak
di urutan nomor empat dalam hukum islam, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunah, Ijma’,
dan yang terakhir qiyas. Qiyas adalah bentuk sumber hukum yang
diqiyaskan/disamakan hukumnya dengan hukum yang ada di dalam nash.
Pelajaran qiyas ini penting di ajarkan serta
dijelaskan agar kita selaku generasi penerus agama Allah lebih paham terhadap
hukum-hukum agama islam. Dengan begitu kita lebih gampang mencari hukumnya bila
kita sudah paham ilmunya. Diibaratkan kita menanam bibit setelah matang maka
kita panen hasilnya. Menanam bibit artinya belajar ilmu-ilmu agama terutama
hukum sedangkan panen artinya kita akan gampang bila ada pertanyaan atau
kemusykilan yang kita hadapi.
Maka dari itu makalah ini akan lebih memfokuskan pada
pembahasan qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an,
Al-Sunah, dan Ijma’. Yang mana pembahasan tersebut sudah selesai dibahas
dipertemuan sebelumnya. Semoga makalah ini bisa membantu para pembaca untuk
memahami hukun qiyas yang akan dibahas kali ini.
B.
Rumusan
Masalah
G. Apa
Pengertian qiyas?
H. Apa
saja Rukun dan syarat qiyas?
I.
Apa saja Pembagian qiyas?
J.
Bagaimana `illat qiyas?
K. Bagaimana
dalil/kehujjahan qiyas?
L.
Bagaimana Al-Qawadih
pada qiyas?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian qiyas
2.
Untuk mengetahui rukun dan syarat qiyas
3.
Untuk mengetahui pembagian qiyas
4.
Untuk mengetahui Bagaimana `illat qiyas
5.
Untuk mengetahui dalil/kehujjahan qiyas
6.
Untuk mengetahui al-Qawadih
qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti قدر
yang artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan yang semisalnya.[1]
Sedangkan menurut istilah (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda
yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah :
1.
Menurut Ibnu as-Subki, qiyas
adalah;
حَمْلُ
مَعْلُوْمٍ عَلَی مَعْلُوْمٍ لِمُسَاوَتِهِ فِیْ عِلَّةِ حُكْمِهِ عِنْدَ الْحَامِلِ
Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu
yang lain karena adanya kesamaan illah hukum menurut mujtahid
yang menyamakan hukumnya.
2.
Menurut al-Amidi, qiyas
adalah;
اِشْتِبَاهُ
الْفَرْعِ وَالاَصْلِ فِيْ عِلَّةِ حُكْمِ الأَصْلِ فِي نَظْرِ الْمُجْتَهِدِ عَلَی
وَجْهٍ يَسْتَلْزَمُ تَحْصِيْلُ الْحُكْمِ فِيْ الْفَرْعِ
Keserupaan antara cabang dan asal pada illah
hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum
(asal) tersebut pada cabang.
3.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas
adalah;
اِلْحَاقُ
اَمْرٍ غَيْرُ مَنْصُوْصٍ عَلَی حُكْمِهِ الشَّرْعِی بِاَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَی
حُكْمِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِی عِلَّةِ
الحُكْمِ
Menghubungkan Suatu masalah yang tidak
terdapat nashsh syara' tentang
hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi
illah hukum.[2]
B. Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun qiyas itu ada 4 yaitu
ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma', far'u
(kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum) yang
terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukum Al-Ashl
(hukum yang ditentukan oleh nash atau ijma').
1. Ashl (الأصل), adalah titik tolak dimana
suatu masalah dapat disamakan.[3] Menurut para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh
ayat-ayat Al-Quran, hadis Rasulullah SAW. atau ijma'. Misalnya, pengaharaman wisky dengan mengqiyaskannya
kepada khamr yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut para
ahli ushul fiqih, khususnya dari kalangan mutakallimin, yang dikatakan
Al-Ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash inilah
yang dijadikan petokan penentuan hukum furu’. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan
pada khamr, maka yang menjadi ashl menurut mereka adalah ayat 90-91 surat
Al-Maidah.[4]
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :
a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya. Kalau
tidak ada, hukum tersebut harus dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan
hukum.
b. Hukum yang ada dalam pokok harus
hukum syara' bukan hukum akal atau bahasa.
c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang
lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak sebab sesuatu
tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya.[5]
Namun, puasanya tetap ada sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu.
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ
اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاَنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَاقَاهُ (رواه
البخارى ومسلم)
Artinya :
“Barang siapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa kemudian makan dan
minum, hendaklah menyempurnakan puasanya sesungguhnya Allah yang memberi makan
dan minum.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Far'u (الفرع), adalah
objek yang ditentukan hukumnya, yang tidak nash atau ijma' yang tegas
dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus diatas.[6]
Syarat-syaratnya sebagai berikut :
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya, mengqiyaskan
wudhu dengan tayammum dan wajib punya niat karena keduanya sama sama taharah
(suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar karena wudhu (dalam contoh
diatas sebagai cabang) diadakan sebelum hijrah, sedang tayamum (dalam contoh
diatas sebagai pokok) diadakan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut
dibenarkan, berarti menetapkan hukum sebelum ada illat-nya.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul
berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c. Illat yang terdapat
pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.[7]
3. Illat (علة), adalah
sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukumnya, yang tidak ada nash
atau ijma' yang tepat dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus
diatas.[8]
Illat mempunyai beberapa syarat sebagai berikut :
a.
'Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak
ada hukum Bila Tidak ada illat.
b.
'Illat
berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus tewujud ketika terdapatnya illat
tanpa mengganggu sesuatu yang lain sebab adanya Illat tersebut adalah
Demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai alat wajibnya qishas,
juga seperti memabukkan sebagai illat adanya haram minum minuman keras.
c.
'Illat
tidak berlawanan dengan nash, Dan apabila berlawanan makan nash
yang didahulukan. sebagaimana pendapat golongan ulama bahwa perempuan dapat
memiliki dirinya, sebab diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya,
kerana itu perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin walinya qiyas
seperti ini berlawanan dengan Nash.
d.
'Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya berpengaruhnya illat
tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syarat'. Berpergian misalnya
dijadikan 'Illat-nya mengqashar shalat kerana qashar tersebut mengandung
hikmah yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran. demikian pula zina dijadikan
sebagai Illat hukum had karena ada hikmah yaitu menjaga keturunan dari
pencampuran darah.[9]
4. Hukum Al-Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang
ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu, baik dari
Al-Qur’an maupun sunnah.[10]
contoh:[11]
Ashl/Pokok
|
Furu’/Cabang
|
Illat
|
Hukum
|
Khamr
Gandum
Lain
– Lain
|
Wisky
Padi
|
Memabukkan
Mengenyangkan
|
Haram
Wajib
|
C. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa
segi sebagai berikut:
1.
Pembagian qiyas
dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan
pada illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas
terbagi menjadi tiga, yaitu:[12]
a.
Qiyas awlawis (قياس
اولوي): yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu'
lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada
furu'. Umpamanya meng-qiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan
"uf" (berkata kasar) terhadap orang tua dengan 'illat
"menyakiti. Hal itu ditegaskan Allah dalam surat al-Isra' (17): 23:
وَلَا تَقُلْ
لَهُمَا اُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang
tua) perkataan "uf", dan jangnlah kamu membentak mereka. (QS. al-Isra' (17):23).
Keharaman pada perbuatan "memukul" lebih kuat
dari pada keharaman pada ucapan "uf", karena sifat menyakiti yang
terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "uf".
b.
Qiyas musawwi (قياس
مساوي), yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' sama
dengan keadaan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illat-nya sama.
umpamanya meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara
tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal ini difirmankan Allah dalam surat an-Nisa' (4): 2:
وَآتُوْا الْيَتَامَی
اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوْا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلَاتَاْكُلُوْا اَمْوَالَهُمْ....
Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka.... (QS.
an-Nisa' (4): 2)
Baik membakar harta anak yatim atau
memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh
karena itu, hukum yang berlaku pada membakar harta anak yatim persis sama
dengan hukum haram pada memakannya secara tidak patut.
c.
Qiyas adwan (قياس
الادون), yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' lebih
lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut
memenuhi persyaratan. Umpamanya
meng-qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhal bila
dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illat-nya bahwa ia adalah makanan.
Memerlukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba
pada gandum karena illat-nya lebih kuat.
2.
Pembagian qiyas
dari segi kejelasan illat-nya
Qiyas dari segi kejelasan illat terbagi menjadi dua:
a.
Qiyas jali (قياس جلي), yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan
dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak
ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal
dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh bentuk pertama:
qiyas memukul orang tua kepada ucapan "uf" dengan illat
menahan menyakiti orang tua yang dalam ayat Al-Quran disuruh berbuat baik
kepada orang tua. Bentuk kedua umpamanya meng-qiyas-kan perempuan kepada
laki-laki dalam kebolehan qashar shalat di perjalanan; karena meskipun terdapat
perbedaan jenis kelamin, namun perbedaan itu dapat dikesampingkan. Al-Mahali
dalam syariah matan Jam'ul Jawami' mengatakan bahwa qiyas jali itu
mencakup qiyas awlawi dan qiyas musawi. Sedangkan dalam syariah
al-Mukatamar, ia mengatakan bahwa qiyas jali itu hanya berlaku terhadap qiyas
awlawi.[13]
b.
Qiyas khafi (قياس خفي), yaitu qiyas yang illat-nya tidak
disebut-sebut dalam nash. maksudnya, di istinbatkan dari hukum ashal
yang memungkinkan kedudukan illat-nya bersifat zhanni. umpamanya meng-qiyas-kan
pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam
penetapan hukum qishash dengan illat pembunuhan yang disengaja dalam
bentuk permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashal lebih jelas
dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’. Qiyas adwan
termasuk dalam Qiyas khafi kerana kedudukannya yang lebih rendah
disebabkan oleh lemahnya illar pada furu’.[14]
3.
Pembagian qiyas
dari segi keserasian illat-nya dengan hukum:
Dari segi keserasian illat-nya
dengan hukum qiyas terbagi kepada dua yaitu:
a.
Qiyas muatssir (قياس مؤثر), yang diibaratkan dengan definisi:
Pertama, qiyas
yang illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan
dengan nash yang sharih atau ijma'. Kedua, qiyas yang ain (sifat
itu sendiri) yang menghubungkan ashal dan furu’ itu berpengaruh
terhadap 'ain hukum. Contoh pertama, umpamanya meng-qiyas-kan kewalian
nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan 'illat
"belum dewasa" -nya. 'Illat ini ditetapkan berdasarkan ijmâ.
Contoh kedua, umpamanya meng-giyas-kan minuman keras selain yang dibuat dari
anggur kepada khamar dengan 'illat "memabukkan". 'Illat
memabukkan itu termasuk pada 'illat yang hubungannya dengan hukum haram
adalah berbentuk muatssir.[15]
b.
Qiyas mualaim (قياس ملائم), yaitu qiyas yang illat hukum ashal
dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
umpamanya qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan
benda tajam yang illat-nya pada ashal dalam hubungannya dengan
hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.[16]
4.
Pembagian qiyas
dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu terbagi
tiga:
a.
Qiyas ma'na (قياس المعني) atau qiyas dalam makna ashal; yaitu qiyas
yang meskipun illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara
ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’
itu seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya hukum membakar harta anak
yatim yang di-qiyas-kan kepada memakannya secara tidak patut dengan illat
Merusak harta anak yatim itu. Oleh karena adanya kesamaan itu makna furu’
tersebut seolah ashal itu sendiri.[17]
b.
Qiyas Illat (قياس علة), yaitu qiyas yang illat-nya dijelaskan
dan iIlat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
Umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan illat
rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.[18]
c.
Qiyas dilalah (قياس الدلالة), yaitu qiyas yang illat-nya bukan
pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya Illat.
umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan
"bau yang menyengat". Bau itu merupakan akibat yang lazim dari
rangsangan kuat dalam dalam sifat memabukkan.[19]
5.
Pembagian qiyas
dari segi metode (Malasik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’.
Ini terbagi kepada 4 macam, yaitu:[20]
a.
Qiyas Ikhalah (قياس الاخالة), yaitu Qiyas yang Illat hukumnya
ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b.
Qiyas syabah (قياس الشبه), yaitu Qiyas yang Illat hukum ashal-nya
ditetapkan melalui metode syabah.
c.
Qiyas sabru (قياس السبر), yaitu qiyas yang Illat hukum ashal-nya
ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.
Qiyas thard (قياس الطرد), yaitu qiyas yang illat hukum ashal-nya
ditetapkan melalui metode thard.
D. `Illat Qiyas
1.
Definisi Illat
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang
terpenting, karena adanya Illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau
yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.[21]
Para ulama
berbeda pendapat dalam merumuskan hakikat suatu Illat ketika melihat
hubungannya dengan hukum.
1.
Ahlul Haq dari
kelompok ulama syi'ah mengatakan bahwa Illat adalah المعرف (pemberi tahu) bagi hukum. Bila dikatakan bahawa sifat memabukkan menjadi Illat
haramnya khamar, bererti sifat tersebut memberitahu atau merupakan pertanda
bagi haramnya minuman yang memabukkan. Berdasarkan pendapat ini, maka hukum
ashal itu berlaku dengan sifat itu, bukan dengan adanya nash. Maksudnya, bila
kita menemukan Illat itu pada suatu ashal, maka dapat kita ketahui
hukumnya, meskipun belum ada nash yang mengatakannya.[22]
2.
Ulama Hanafi
berpendapat bahwa Illat itu memang memberitahu akan adanya hukum, namun
yang mana tekan hukum adanya nash tu sendiri, bukan Illat yang menjadi
pemberitahu itu, kerana nash itulah yang menimbulkan hukum.[23]
3.
Ulama
Mu'tazilah berpendapat bahwa Illat itu adalah sesuatu yang dengan
sendirinya mempengaruhi (المؤثر بذاته) terhadap hukum yang didasarkan kepada pandangan
bahawa hukum itu mengikuti maslahat dan mafsadat. Bila ada sesuatu yang
mengandung maslahat, Muncullah keharusan berbuat; dan bila sesuatu itu
mengandung unsur mafsadat (perusak), mencelah keharusan untuk menjauhinya,
meskipun nash dalam bentuk Wahyu Belum datang.[24]
4.
Imam al-Ghazali
hampir sama pendapatnya dengan Mu'tazilah dalam melihat Illat Itu
sebagai faktor yang mempengaruhi keberadaan hukum, namun pengaruh Illat
terhadap hukum itu tidak berlaku dengan sendirinya, tetapi kerana ada izin
Allah. Maksudnya, Allahlah yang menjadikan Illat itu berpengaruh
terhadap hukum.[25]
5.
Al-Amidi
berpendapat bahwa Illat itu adalah الباعث (pendorong) terhadap hukum. Maksudnya, Illat itu mengandung hikmah
yang pantas menjadi tujuan bagi pembuat hukum dalam menetapkan hukum.[26]
2.
Bentuk-bentuk Illat
1.
Sifat Hakiki,
yaitu sifat yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung
pada urf (kebiasaan) atau lainnya. Contoh : sifat memabukkan pada
minuman keras.[27]
2.
Sifat Hissi, yaitu
sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indra. Contohnya : pembunuh
yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan.[28]
3.
Sifat Urf, yaitu
sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya : buruk
dan baik.[29]
4.
Sifat Lughawi, yaitu
sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa. Contoh :
diharamkannya nabiz karena bernama khamar.[30]
5.
Sifat syar’i, yaitu
sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan
sesuatu hukum. Contohnya : menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik
bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.[31]
6.
Sifat Murakkab, yaitu
bergantungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya
: sifat pembunuh, sengaja, dan permusuhan semuanya dijadikan alasan berlakunya qishash.[32]
Pada dasarnya setiap Illat menimbulkan hukum. antara Illat
dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam
kaitan Itulah terlihat fungsi tertentu dari Illat, yaitu sebagai berikut :[33]
1.
Penyebab/penetap
(مثبتة), yaitu Illat yang dalam hubungannya dengan
hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik
dengan nama mu'arif (معرف), mu'assir (مؤثر) atau
ba'its (باعث).
2.
Penolak (دافعة), yaitu Illat
yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak membuat
hukum itu seandainya Illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah
berlaku. Umpamanya dalam masalah idah. Adanya idah menolak dan menghalangi
terjadinya perkahwinan dengan laki-laki yang lain; tetapi idah itu tidak
mencabut kelangsungan perkawinan bila idah itu terjadi dalam perkawinan. Idah
dalam hal ini adalah iddah syubhat.
3.
Pencabut (رافعة), yaitu Illat
yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila Illat itu terjadi dalam masa
tersebut, tetapi Illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Umpamanya sifat talak dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya
talak itu mencabut hak bergaul antara suami istri. Namun talak itu tidak
mencabut terjadinya hak bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau
rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya talak itu.
4.
Penolak dan
pencegah (دافعة ورفعة), yaitu Illat yang dalam hubungannya dengan
hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya
bila hukum itu telah berlangsung. Umpamanya sifat radha' (hubungan sepersusuan)
berkaitan dengan hubungan perkahwinan. Adanya hubungan susuan mencegah
terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus
mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila
hubungan susuan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan
4.
Persesuaian Hukum dengan Illat
Ulama
Ushul membagi persesuaian antara hukum dan illat qiyas kepada
empat bagian.
1.
Al-Munasib al-Muatsir, yaitu suatu sifat yang berhubungan dengan hukum syara’ dan di
tetapkan dengan nash maupun ijma’. Sedangkan illat hukumnya
diperhatikan dari segi ‘ain atau zatnya.[34]
Seperti firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah (2) : 222 :
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِۙ
قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيْضِۙ...
Mereka akan bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid
itu adalah penyakit. Maka hendaklah kalian menghindari perempuan pada masa haid
itu ... (QS. Al-Baqarah
2:222).
Hukum menjauhi perempuan pada waktu haid itu sudah ditetapkan
dengan nash. Sighat nash jelas menunjukkan illat hukumnya adalah al-aza.
Maka al-aza yang mewajibkan menjauhi perempuan pada waktu haid.
2.
Al-Munasib al-Mulaim, yaitu
sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan bahwasanya yang dipandang
sebagai illat adalah dari segi dzat atau ‘ainnya, tetapi ada
dalil, baik nash maunpun ijma’ yang menunjukkan illat tersebut
dari segi jenis hukum. Seperti anak-anak ditetapkan berdasarkan nash yang
memberi isyarat bahwa hartanya berada dibawah kekuasaan walinya.[35]
3.
Al-Munasib al-Mursal, yaitu
sesuatu yang tidak ada petunjuknya dari nash syara’ tentang illat, baik
yang menolak maupun yang memandangnya sebagai illat.[36]
4.
Al-Munasib al-Mulgha, yaitu
sesuatu yang sudah jelas ditetapkan hukum atas kemaslahatannya, tetapi ada
dalil yang menunjukkan atas tertolaknya (lagha) atau tidak dipandang illat.
Misalnya, menyamakan anak laki-laki dan perempuan dalan soal al-qarabah karena kebersamaan keduanya dalam hal waris.[37]
5.
Masalikul Illat
Cara-cara untuk mengetahui illat
yaitu sebagai berikut:
1.
Dengan Nash
Itu Sendiri
mengqiyaskan
hukuman sesuatu dengan hukum sesuatu yang illat hukumnya telah
disebutkan oleh Nash itu sendiri pada hakikatnya adalah menetapkan hukum
sesuatu kepada Nash. Ini dapat dibaagi kepada beberapa bahagian. Pertama,
dalalah Nash (penunjukan Nash) bahawa sifat yang
disebutkan Nash itu adalah illat hukumnya adakalanya shararah
(dengan jelas) dan adakalanya ma'a atau syara (dengan isyarat). kedua, dalalah
shararah ialah suatu dalalah (penunjukkan) Nash kepada illat
hukum dengan penunjukkan yang jelas sekali. Artinya, dalam Nash itu
sendiri terdapat kata kata yang menunjukkan illat hukumnya secara jelas.
Misalnya, apabila di dalam Nash itu sendiri disebutkan dengan jelas
bahwa "illatnya adalah demikian (li'illatin kadza)"
atau disebutkan "sebabnya adalah karena demikian (lisababin kadza)."[38]
dalam shararah ada 2 macam.
1.
Shararah
qath'iyah
Suatu dalalah
shararah disebut shararah qath'iyah apabila penunjukan lafaz kepada illat
hukum itu tidak mungkin dapat dibawa kepada illat hukum yang lain.[39]
Misalnya, firman Allah dalam surah An-Nisa' (4):165:
رُسُلًا
مُّبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
Dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah
Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.(QS. An-Nisa'
(4):165)
2.
Shararah
Zhanniyah
Suatu dalalah
shararah disebut shararah zhanniyah apabila penunjuk Nash
kepada illat hukum itu masih ada kemungkinan dapat di bawah kepada illat
hukum yang lain.[40]
Misalnya, firman Allah SWT. dalam surah Al-Isra' (17):78:
أَقِمِ
الصَّلٰوةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat setelah tergelincir matahari. (QS. Al-Isra' (17):78)
2.
Ijma'
Ijma' sebagai salah satu masalik berarti ijma' itu menjelaskan Illat
dalam hukum yang disebutkan pada suatu Nash.[41]
Umpamanya hadis sahihaini:
لَايَحْكُم
اَحَدٌبَيْنَ اثْيَيْنِ وَهُوَغَضْبَانُ
Janganlah seseorang menghakimi antara dua orang dalam
keadaan marah.
ijma' menetapkan bahwa illat
tidak sahnya hakim menghadapi perkara dalam waktu marah adalah
"marah", karena dapat mengganggu pikiran.
3.
Al-Ima' wa
al-Tanbih[42]
Al-Ima' wa
al-Tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum. Seandainya
penyertaan itu bukan untuk menunjukkan ke-illat-an suatu sifat bagi
hukum, tentu penyertaan itu menjadi tidak berarti. Sifat yang menyertai hukum
itu adalah sifat yang disebut dalam lafaz.
Ada pendapat yang mengatakan bahawa
sifat itu dapat berubah sifat yang di-istinbath-kan. Sedangkan hukum yang
menyertai sifat itu dapat berupa hukum yang ditetapkan oleh Nash atau
yang ditetapkan melalui ijtihad.
Ada ahli ushul yang menyebut al-ima'
wa al-tanbih ini dengan hanya al-Tanbih dan Ada pula yang menyebutnya dengan Al-ima'
saja tanpa menjelaskan perbedaan di antara keduanya.
4.
Sabru wa Taqsim
Sabru wa Taqsim (السبر والثقسيم) secara harfiah berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Yang
dimaksud disini adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal,
kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi illat;
maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi illat untuk hukum ashal
tersebut.[43] Umpamanya
hukum riba fadhal yang terdapat dalam hadis nabi:
اَلْبُرُّ بِالْبِرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ....
Gandum
dengan gandum, jelai dengan jelai...
Dalam hadis ini tidak disebutkan illat-nya
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mencari sifatnya ditampilkan
segala kemungkinan sifat yang terdapat di dalamnya yaitu bahwa dia adalah
makanan makanan, barang yang ditimbang, dan barang yang ditukar. Selanjutnya
sifat-sifat ini di teliti satu persatu dan disaring mana yang pantas menjadi illat
dan mana yang tidak.[44]
5.
Takhrijul
manath
Takhrijul
manath (تخريج المناط) adalah usaha menyatakan illat dengan cara
mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriman serta terhindar
dari sesuatu yang mencatatkan. Cara penemuan illat dalam bentuk ini
berbeda dengan ima' dan tanbih karena disini dipersyaratkan adanya keserasian
(munasabah), sedangkan pada ima' dan tanbih tidak ada persyaratan keserasian
itu. Contohnya pencarian illat. dalam hadis yang diriwayatkan Muslim: كل مسكر حرم (setiap yang
memabukkan adalah haram) yaitu sifat memabukkan.[45]
6.
Tanqihul Manath (تنقيح المناط)
Yaitu,
menetapkan satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat didalam ashal untuk
menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan
yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi illat
dengan yang lebih umum.[46]
7.
Thard
Thard (الطرد) ialah penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya
titik keserasian yang berarti. Memang dalam penyebutan hukum itu disebutkan
pula sifatnya; namun antara hukum dengan sifat itu tidak ada kaitannya sama
sekali. Umpamanya ucapan, "Hukumlah penjahat yang buruk rupa itu."
Dalam contoh
tersebut memang dijelaskan hukumnya, yaitu keharusan menghukum penjahat
disertai penjelasan sifatnya, namun antara sifat dengan hukum tidak ada
keserasian. Artinya, tidak ada sangkut paut antara penetapan hukuman dengan
buruk rupa dalam ucapan tersebut.[47]
8.
Syabah
a.
Qiyas yang
kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan, yaitu menghubungkan furu' yang
mempunyai kesamaan dengan dua ashal, namun persamaan dengan salah satu
diantaranya lebih dominan dibandingkan dengan yang satu lagi.
b.
Qiyas shuri,
yaitu meng-qiyas-kan hanya karena kesamaan bentuknya; seperti meng-qiyas-akan
kuda kepada keledai dalam hal tidak dikenai kewajiban zakat.
9.
Dawran (الدوران)
Al-Dawran atau yang sirkuler. Yaitu adanya hukum Sewaktu bertemu sifat dan tidak
terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat. Hal ini memberi petunjuk bahawa
sifat yang selalu mengikuti hukum itu adalah illat-nya.[49]
10. Ilghau al-Fariq (الغاء الفارق)
Ilghau al-Fariq yaitu adanya titik perbezaan yang
dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya. Umpamanya mengenai firman
Allah dalam surah An-Nisa' (4): 101:
Allah SWT berfirman:
إِذَا
ضَرَبْتُمْ فِى الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلٰوةِ
Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu meng-qashar shalatmu.
Maksud ayat tersebut dapat dipahami
bahawa laki-laki yang melakukan perjalanan boleh meng-qashar shalat karena
lahir ayat itu di tujukkan kepada jenis laki laki.[50]
E. Dalil/kehujjahan Qiyas
1.
Dalil Al-Quran
Allah SWT
memberi petunjuk bagi penggunaan kias dengan cara menyamakan dua hal
sebagaimana terdapat dalam surat yasin (36), ayat 78-79:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُۗ
قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ {٧٨} قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْ
اَنْشَاَهَا اَوَّلَ مَرَّةٍۗ وَهُوَ بِكُلِّ
خَلْقٍ عَلِيْمٌ {٧٩{
ia berkata, “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang
sesudah ia berserakan?” Katakanlah, “Yang akan menghidupkannya adalah yang
mengadakannya pertama kali”. (QS. Yasin
(36) :78-79)
Ayat ini
menjelaskan bahawa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang
yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan
menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.[51]
2.
Dalil Sunnah
Nabi memberi
petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan
antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.[52] Dalam
hadis Ibnu Abbas menurut riwayat al-Nasai, Nabi berkata, "Bagaimana
pendapat mu bila bapakmu berhutang
Apakah engkau akan membayarnya?" Dijawab oleh sipenanya
(al-Khatasamiyah), "Ya, memang." Berkata nabi, " Hutang terhadap
Allah lebih patut untuk dibayar".
Hadis di atas
adalah tanggapan atas persoalan sebenarnya yang bapaknya bernazar untuk haji
tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakan kepada Nabi
dengan ucapannya, "Bagaimana Kalau saya yang menghajikan bapak saya
itu?" Keluarlah jawaban nabi seperti tersebut di atas.[53]
Dalam Hadis
itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan
hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Bahkan nabi menambahkan
bahawa hutang kepada Allah, yaitu Haji, lebih patut untuk dibayar. Dalil ini,
menurut jumhur, cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.
3.
Astsar Shahabi
Adapun
argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabi dalam penggunaan qiyas,
adalah:[54]
Surat Umar ibn
Khattab kepada Abu Musa al-Asy'ari sewaktu diutus menjadi qhodi di Yaman.
Umar berkata,
اِقْضِ بِكِتَابِ اللهِ فَاِنْ لَمْ
تَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فَجْتَهِدْ رَأْيَكَ
Putuskanlah
hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menentukannya, maka putuskan
berdasarkan sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh didalam sunnah,
berijtihadlah dengan menggunakan ra'yu.
Pesan Umar ini
dilanjutkan dengan:
اَعْرِفِ الْاَمْثَالَ وُالْاَشْبَاهَ
وَقِسِ الْاُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ
ketahuilah
kesamaan dan keserupaan qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.
Bagian pertama
atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra'yu pada waktu tidak menemukan
jawaban dalam Al-Quran maupun sunnah; sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu
secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan diantara dua hal
dan menggunakan qyas bila menemukan kesamaan. Atsar shahabi tentang
pesan Umar ibn Khattab kepada Abu Musa itu dibantah oleh ulama Zhahiriyah, baik
dari segi sanad maupun dari segi maksud matannya.[55]
F. Al-Qawadih
Al-Qawadih merupakan bentu jamak
dari Qadih yang berarti cacat. Artinya dalil-dalil diajukan mujtahid
akan diterima oleh pihak lain jika dalil-dalil itu sudah terlepas atau terbebas
dari titik lemah. Bila cacat dalil itu ditemukan dalam arena perdebatan ada
yang menamakan mu’aradhat. Bila cacat itu karena adanya penolakan dari
pihak lain maka dinamakan i’tiradhat.[56]
Ada beberapa yang
membuat dalil mujtahid ditolak pihak lain dengan tuduhan cacat, diantaranya
sebagai berikut :
1.
Tertinggalnya kukum
dari illat. Artinya dalam suatu kasus ditemukan illat, namun
tidak ditemukan padanya hukum. Contoh, makanan pada Riba Fadhal. Illat
ini dianggap cacat karena illat makanan itu ada di delima, namun delima
itu tidak termasuk objek ribawi.[57]
2.
Al-Kasru yaitu menggugurkan
salah satu sifat dari illat hukum dengan cara menyatakan bahwa sifat
tersebut tidak terpakai lagi dengan alasan ada hukum dalam keadaan tidak
ditemukan sifat itu. Contoh : illat hukum pada Shalat khauf.[58]
3.
‘Adam al-Ta’tsir artinya
“tidak berpengaruh” yaitu sifat yang dikemukakan untuk menjadi illat hukum
tidak ada keserasian dengan hukum itu. [59]
4.
Al-‘aks artinya tiada hukum
karena tiadanya sifat sebagaimana adanya hukum karena adanya sifat itu.[60]
5.
Al-Taqsim yaitu lafad yang
digunakan mengandung keraguan antara dua hal yang sama, satu diantaranya tidak
boleh digunakan dan yang satunya boleh digunakan.[61]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti قدر
yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan
menurut istilah (istilah hukum) adalah Menyamakan
hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan
illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.
Rukun qiyas itu ada 4
yaitu ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma', far'u
(kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl,
dan hukum Al-Ashl (hukum yang ditentukan oleh nash atau ijma').
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa
segi sebagai berikut: Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat
yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada illat yang terdapat
pada ashal, Pembagian qiyas dari segi kejelasan illat-nya,
Pembagian qiyas dari segi keserasian illat-nya dengan hukum, Pembagian
qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas, dan
Pembagian qiyas dari segi metode (Malasik) yang digunakan dalam ashal
dan dalam furu’.
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang
terpenting, karena adanya Illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau
yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.
Cara
mengetahui illat yaitu dengan nash itu sendiri, ijma’, Al-Ima' wa al-Tanbih, Sabru wa Taqsim, Takhrijul manath, Tanqihul Manath, Thard, Syabah, Dawran, dan Ilghau al-Fariq. Sedangkan
Kehujjahan qiyas bersumber dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Astsar Shahabi
Al-Qawadih merupakan bentu jamak
dari Qadih yang berarti cacat. Artinya dalil-dalil diajukan mujtahid
akan diterima oleh pihak lain jika dalil-dalil itu sudah terlepas atau terbebas
dari titik lemah. Bila cacat dalil itu ditemukan dalam arena perdebatan ada
yang menamakan mu’aradhat. Bila cacat itu karena adanya penolakan dari
pihak lain maka dinamakan i’tiradhat
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini kami sarankan pada para pembaca memahami Hukum qiyas secara mendalam agar tidak salah
faham dan tidak mengkafir-kafirkan orang bila hukum tidak terdapat dalam nash
Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’ Ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry,
Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2014.
Dahlan,
Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
Koto,
Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2010.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh. Jilid 1. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Uman, Chaerul. Ushul fiqih 1. Jakarta: CV.
Pustaka Setia, 1998.
[2] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm.
161-162.
[4] Chaerul Uman, Ushul fiqih 1, (Jakarta: CV. Pustaka Setia,
1998), hlm. 95-96.
[5] Ibid. hlm. 97.
[6] Ibid. hlm. 96
[7] Ibid. hlm. 97-98.
[8] Ibid. hlm. 96.
[9]Ibid. hlm. 98.
[10] Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 164.
[11] Uman, Ushul fiqih 1, hlm. 96.
[16] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid. hlm. 350.
[22] Ibid. hlm. 351.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid,
[26] Ibid. hlm. 351-352.
[27] Ibid. hlm. 352
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid. hlm. 353.
[34] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 86.
[35] Ibid. hlm. 87.
[36] Ibid.
[37] Ibid. hlm. 88.
[38] Koto, Ushul Fiqh, hlm. 88.
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[42] Ibid. hlm. 376.
[43] Ibid. hlm. 379.
[44] Ibid.
[45] Ibid. hlm. 380-381.
[46] Ibid. hlm. 381.
[47] Ibid. hlm. 382.
[48] Ibid. hlm. 383.
[49] Ibid. hlm. 384.
[50] Ibid.
[51] Ibid. hlm. 324-325.
[52] Ibid. hlm. 329-330.
[53] Ibid. hlm. 331.
[54] Ibid.
[55] Ibid. hlm. 332.
[56] Ibid. hlm. 387.
[57] Ibid. hlm. 385-386.
[58] Ibid. hlm. 386.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid. hlm. 389.
Casino City, LA - Mapyro
BalasHapusFree Casino 공주 출장마사지 City: 광명 출장마사지 A short walk 포천 출장샵 from LA 대구광역 출장샵 Airport to Las Vegas Convention Center, this 경주 출장안마 casino hotel is 5 minutes walk from Casino City Convention Center and 8 minutes
site here horse dildo,sex toys,vibrators,wholesale sex toys,dog dildo,horse dildo,horse dildo,vibrators,sex chair my site
BalasHapusjoya shoes 706u3dbguf813 joya sko,joya sko,joya skor,Cipő joya,zapatos joya,joya schoenen verkooppunten,Scarpe joya,chaussures joya,joya schuhe wien,joya schuhe joya shoes 886t9ckmrm733
BalasHapus