Kamis, 24 Mei 2018

QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODELOGI HUKUM ISLAM

QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODELOGI HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Yang diampu oleh Bapak MOCH CHOLID WARDI, M.HI

Disusun Oleh :
Moh Anis
Nuris Sholihin
Rudiyanto
Sufyan Dendi Zain








PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang masih sangat sederhana dengan judul “QIYAS SEBAGAI SUMBER DAN METODELOGI HUKUM ISLAM "
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad  SAW. yang mana beliau telah mengangkis kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menderang dengan pancaran nur keimanan dan ilmu pengetahuan.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini bisa menjikan para pembaca lebih mengenal dan memahami sumber hukum yang bersumber dari qiyas secara mendalam. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pamekasan, 08 April 2018

Penulis,




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ......................................................................
B.     Rumusan Masalah .................................................................
C.     Tujuan Masalah .....................................................................
BAB II      PEMBAHASAN
A.   Pengertian Qiyas ...................................................................
B.   Rukun Dan Syarat Qiyas .......................................................
C.   Pembagian Qiyas ...................................................................
D.   `Illat Qiyas .............................................................................
E.    Dalil/Kehujjahan Qiyas .........................................................
F.   Al-Qawadih Pada Qiyas .........................................................
BAB III     PENUTUP
A.    Kesimpulan .............................................................................
B.     Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

i
ii
iii

1
1
1

3
4
6
10
13
15

24
25
26




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Qiyas merupakan sumber hukum yang terletak di urutan nomor empat dalam hukum islam, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunah, Ijma’, dan yang terakhir qiyas. Qiyas adalah bentuk sumber hukum yang diqiyaskan/disamakan hukumnya dengan hukum yang ada di dalam nash.
Pelajaran qiyas ini penting di ajarkan serta dijelaskan agar kita selaku generasi penerus agama Allah lebih paham terhadap hukum-hukum agama islam. Dengan begitu kita lebih gampang mencari hukumnya bila kita sudah paham ilmunya. Diibaratkan kita menanam bibit setelah matang maka kita panen hasilnya. Menanam bibit artinya belajar ilmu-ilmu agama terutama hukum sedangkan panen artinya kita akan gampang bila ada pertanyaan atau kemusykilan yang kita hadapi.
Maka dari itu makalah ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, Al-Sunah, dan Ijma’. Yang mana pembahasan tersebut sudah selesai dibahas dipertemuan sebelumnya. Semoga makalah ini bisa membantu para pembaca untuk memahami hukun qiyas yang akan dibahas kali ini.
B.  Rumusan Masalah
G.  Apa Pengertian qiyas?
H.  Apa saja Rukun dan syarat qiyas?
I.     Apa saja Pembagian qiyas?
J.     Bagaimana `illat qiyas?
K.  Bagaimana dalil/kehujjahan qiyas?
L.   Bagaimana Al-Qawadih pada qiyas?
C.  Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui pengertian qiyas
2.    Untuk mengetahui rukun dan syarat qiyas
3.    Untuk mengetahui pembagian  qiyas
4.    Untuk mengetahui Bagaimana `illat qiyas
5.    Untuk mengetahui dalil/kehujjahan qiyas
6.    Untuk mengetahui al-Qawadih qiyas




   


  
  
 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti قدر yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.[1] Sedangkan menurut istilah (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah :
1.      Menurut Ibnu as-Subki, qiyas adalah;
حَمْلُ مَعْلُوْمٍ عَلَی مَعْلُوْمٍ لِمُسَاوَتِهِ فِیْ عِلَّةِ حُكْمِهِ عِنْدَ الْحَامِلِ
Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.

2.      Menurut al-Amidi, qiyas adalah;
اِشْتِبَاهُ الْفَرْعِ وَالاَصْلِ فِيْ عِلَّةِ حُكْمِ الأَصْلِ فِي نَظْرِ الْمُجْتَهِدِ عَلَی وَجْهٍ يَسْتَلْزَمُ تَحْصِيْلُ الْحُكْمِ فِيْ الْفَرْعِ
Keserupaan antara cabang dan asal pada illah hukum asal menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.

3.       Menurut Wahbah az-Zuhaili, qiyas adalah;
اِلْحَاقُ اَمْرٍ غَيْرُ مَنْصُوْصٍ عَلَی حُكْمِهِ الشَّرْعِی بِاَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَی حُكْمِهِ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِی عِلَّةِ الحُكْمِ
Menghubungkan Suatu masalah yang tidak terdapat nashsh syara' tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nashsh hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi illah hukum.[2]

B.     Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun qiyas itu ada 4 yaitu ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma', far'u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukum Al-Ashl (hukum yang ditentukan oleh nash atau ijma').
1.    Ashl (الأصل), adalah titik tolak dimana suatu masalah dapat disamakan.[3] Menurut para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat-ayat Al-Quran, hadis Rasulullah SAW. atau ijma'. Misalnya, pengaharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamr yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut para ahli ushul fiqih, khususnya dari kalangan mutakallimin, yang dikatakan Al-Ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash inilah yang dijadikan petokan penentuan hukum furu’. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan pada khamr, maka yang menjadi ashl menurut mereka adalah ayat 90-91 surat Al-Maidah.[4]
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.       Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya. Kalau tidak ada, hukum tersebut harus dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan hukum.
b.      Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara' bukan hukum akal atau bahasa.
c.       Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya menjadi rusak sebab sesuatu tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya.[5] Namun, puasanya tetap ada sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu.
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاَنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَاقَاهُ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya :
Barang siapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa kemudian makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya sesungguhnya Allah yang memberi makan dan minum.” (HR. Bukhari-Muslim)

2.    Far'u (الفرع), adalah objek yang ditentukan hukumnya, yang tidak nash atau ijma' yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus diatas.[6] Syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.       Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya, mengqiyaskan wudhu dengan tayammum dan wajib punya niat karena keduanya sama sama taharah (suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar karena wudhu (dalam contoh diatas sebagai cabang) diadakan sebelum hijrah, sedang tayamum (dalam contoh diatas sebagai pokok) diadakan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan hukum sebelum ada illat-nya.
b.      Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c.       Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
d.      Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.[7]

3.    Illat (علة), adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma' yang tepat dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus diatas.[8] Illat mempunyai beberapa syarat sebagai berikut :
a.       'Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak ada hukum Bila Tidak ada illat.
b.      'Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus tewujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain sebab adanya Illat tersebut adalah Demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai alat wajibnya qishas, juga seperti memabukkan sebagai illat adanya haram minum minuman keras.
c.       'Illat tidak berlawanan dengan nash, Dan apabila berlawanan makan nash yang didahulukan. sebagaimana pendapat golongan ulama bahwa perempuan dapat memiliki dirinya, sebab diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya, kerana itu perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin walinya qiyas seperti ini berlawanan dengan Nash.
d.      'Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya berpengaruhnya illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syarat'. Berpergian misalnya dijadikan 'Illat-nya mengqashar shalat kerana qashar tersebut mengandung hikmah yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran. demikian pula zina dijadikan sebagai Illat hukum had karena ada hikmah yaitu menjaga keturunan dari pencampuran darah.[9]

4.    Hukum Al-Ashl adalah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nashsh tertentu, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah.[10]
contoh:[11]
Ashl/Pokok
Furu’/Cabang
Illat
Hukum
Khamr
Gandum
Lain – Lain
Wisky
Padi
Memabukkan
Mengenyangkan
Haram
Wajib

C.  Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
1.      Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi menjadi tiga, yaitu:[12]
a.       Qiyas awlawis (قياس اولوي): yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu'. Umpamanya meng-qiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan "uf" (berkata kasar) terhadap orang tua dengan 'illat "menyakiti. Hal itu ditegaskan Allah dalam surat al-Isra' (17): 23:     
وَلَا تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan "uf", dan jangnlah kamu membentak mereka. (QS. al-Isra' (17):23).

Keharaman pada perbuatan "memukul" lebih kuat dari pada keharaman pada ucapan "uf", karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "uf".
b.      Qiyas musawwi (قياس مساوي), yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' sama dengan keadaan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illat-nya sama. umpamanya meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haramnya. Hal ini difirmankan Allah dalam surat an-Nisa' (4): 2:
وَآتُوْا الْيَتَامَی اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوْا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلَاتَاْكُلُوْا اَمْوَالَهُمْ....
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka.... (QS. an-Nisa' (4): 2)

Baik membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim. Oleh karena itu, hukum yang berlaku pada membakar harta anak yatim persis sama dengan hukum haram pada memakannya secara tidak patut.
c.       Qiyas adwan (قياس الادون), yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan. Umpamanya meng-qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illat-nya bahwa ia adalah makanan. Memerlukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat-nya lebih kuat.


2.      Pembagian qiyas dari segi kejelasan illat-nya
Qiyas dari segi kejelasan illat terbagi menjadi dua:
a.       Qiyas jali (قياس جلي), yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh bentuk pertama: qiyas memukul orang tua kepada ucapan "uf" dengan illat menahan menyakiti orang tua yang dalam ayat Al-Quran disuruh berbuat baik kepada orang tua. Bentuk kedua umpamanya meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan qashar shalat di perjalanan; karena meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin, namun perbedaan itu dapat dikesampingkan. Al-Mahali dalam syariah matan Jam'ul Jawami' mengatakan bahwa qiyas jali itu mencakup qiyas awlawi dan qiyas musawi. Sedangkan dalam syariah al-Mukatamar, ia mengatakan bahwa qiyas jali itu hanya berlaku terhadap qiyas awlawi.[13]
b.      Qiyas khafi (قياس خفي), yaitu qiyas yang illat-nya tidak disebut-sebut dalam nash. maksudnya, di istinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illat-nya bersifat zhanni. umpamanya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam penetapan hukum qishash dengan illat pembunuhan yang disengaja dalam bentuk permusuhan. Illat ini kedudukannya dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’. Qiyas adwan termasuk dalam Qiyas khafi kerana kedudukannya yang lebih rendah disebabkan oleh lemahnya illar pada furu’.[14]
3.      Pembagian qiyas dari segi keserasian illat-nya dengan hukum:
Dari segi keserasian illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kepada dua yaitu:
a.       Qiyas muatssir (قياس مؤثر), yang diibaratkan dengan definisi:
Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma'. Kedua, qiyas yang ain (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dan furu’ itu berpengaruh terhadap 'ain hukum. Contoh pertama, umpamanya meng-qiyas-kan kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan 'illat "belum dewasa" -nya. 'Illat ini ditetapkan berdasarkan ijmâ. Contoh kedua, umpamanya meng-giyas-kan minuman keras selain yang dibuat dari anggur kepada khamar dengan 'illat "memabukkan". 'Illat memabukkan itu termasuk pada 'illat yang hubungannya dengan hukum haram adalah berbentuk muatssir.[15]
b.      Qiyas mualaim (قياس ملائم), yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim. umpamanya qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang illat-nya pada ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.[16]
4.      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu terbagi tiga:
a.       Qiyas ma'na (قياس المعني) atau qiyas dalam makna ashal; yaitu qiyas yang meskipun illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya hukum membakar harta anak yatim yang di-qiyas-kan kepada memakannya secara tidak patut dengan illat Merusak harta anak yatim itu. Oleh karena adanya kesamaan itu makna furu’ tersebut seolah ashal itu sendiri.[17]
b.      Qiyas Illat (قياس علة), yaitu qiyas yang illat-nya dijelaskan dan iIlat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.[18]
c.       Qiyas dilalah (قياس الدلالة), yaitu qiyas yang illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri; namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya Illat. umpamanya meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan "bau yang menyengat". Bau itu merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam dalam sifat memabukkan.[19]
5.      Pembagian qiyas dari segi metode (Malasik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’. Ini terbagi kepada 4 macam, yaitu:[20]
a.       Qiyas Ikhalah (قياس الاخالة), yaitu Qiyas yang Illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
b.      Qiyas syabah (قياس الشبه), yaitu Qiyas yang Illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode syabah.
c.       Qiyas sabru (قياس السبر), yaitu qiyas yang Illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d.      Qiyas thard (قياس الطرد), yaitu qiyas yang illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode thard.
  
D.  `Illat Qiyas
1.      Definisi Illat
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya Illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.[21]
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan hakikat suatu Illat ketika melihat hubungannya dengan hukum.
1.    Ahlul Haq dari kelompok ulama syi'ah mengatakan bahwa Illat adalah  المعرف  (pemberi tahu) bagi hukum. Bila dikatakan bahawa sifat memabukkan menjadi Illat haramnya khamar, bererti sifat tersebut memberitahu atau merupakan pertanda bagi haramnya minuman yang memabukkan. Berdasarkan pendapat ini, maka hukum ashal itu berlaku dengan sifat itu, bukan dengan adanya nash. Maksudnya, bila kita menemukan Illat itu pada suatu ashal, maka dapat kita ketahui hukumnya, meskipun belum ada nash yang mengatakannya.[22]
2.    Ulama Hanafi berpendapat bahwa Illat itu memang memberitahu akan adanya hukum, namun yang mana tekan hukum adanya nash tu sendiri, bukan Illat yang menjadi pemberitahu itu, kerana nash itulah yang menimbulkan hukum.[23]
3.    Ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa Illat itu adalah sesuatu yang dengan sendirinya mempengaruhi (المؤثر بذاته) terhadap hukum yang didasarkan kepada pandangan bahawa hukum itu mengikuti maslahat dan mafsadat. Bila ada sesuatu yang mengandung maslahat, Muncullah keharusan berbuat; dan bila sesuatu itu mengandung unsur mafsadat (perusak), mencelah keharusan untuk menjauhinya, meskipun nash dalam bentuk Wahyu Belum datang.[24]
4.    Imam al-Ghazali hampir sama pendapatnya dengan Mu'tazilah dalam melihat Illat Itu sebagai faktor yang mempengaruhi keberadaan hukum, namun pengaruh Illat terhadap hukum itu tidak berlaku dengan sendirinya, tetapi kerana ada izin Allah. Maksudnya, Allahlah yang menjadikan Illat itu berpengaruh terhadap hukum.[25]
5.    Al-Amidi berpendapat bahwa Illat itu adalah الباعث  (pendorong) terhadap hukum. Maksudnya, Illat itu mengandung hikmah yang pantas menjadi tujuan bagi pembuat hukum dalam menetapkan hukum.[26]

2.      Bentuk-bentuk Illat
1.      Sifat Hakiki, yaitu sifat yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung pada urf (kebiasaan) atau lainnya. Contoh : sifat memabukkan pada minuman keras.[27]
2.      Sifat Hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indra. Contohnya : pembunuh yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan.[28]
3.      Sifat Urf, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya : buruk dan baik.[29]
4.      Sifat Lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian bahasa. Contoh : diharamkannya nabiz karena bernama khamar.[30]
5.      Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya : menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.[31]
6.      Sifat Murakkab, yaitu bergantungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya : sifat pembunuh, sengaja, dan permusuhan semuanya dijadikan alasan berlakunya qishash.[32]

3.      Fungsi Illat
Pada dasarnya setiap Illat menimbulkan hukum. antara Illat dan hukum mempunyai kaitan yang erat. Dalam kaitan Itulah terlihat fungsi tertentu dari Illat, yaitu sebagai berikut :[33]
1.      Penyebab/penetap (مثبتة), yaitu Illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu'arif (معرف), mu'assir (مؤثر) atau ba'its (باعث).
2.      Penolak (دافعة), yaitu Illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak membuat hukum itu seandainya Illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Umpamanya dalam masalah idah. Adanya idah menolak dan menghalangi terjadinya perkahwinan dengan laki-laki yang lain; tetapi idah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila idah itu terjadi dalam perkawinan. Idah dalam hal ini adalah iddah syubhat.
3.      Pencabut (رافعة), yaitu Illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila Illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi Illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Umpamanya sifat talak dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya talak itu mencabut hak bergaul antara suami istri. Namun talak itu tidak mencabut terjadinya hak bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya talak itu.
4.      Penolak dan pencegah (دافعة ورفعة), yaitu Illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Umpamanya sifat radha' (hubungan sepersusuan) berkaitan dengan hubungan perkahwinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susuan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan

4.      Persesuaian Hukum dengan Illat
Ulama Ushul membagi persesuaian antara hukum dan illat qiyas kepada empat bagian.
1.      Al-Munasib al-Muatsir, yaitu suatu sifat yang berhubungan dengan hukum syara’ dan di tetapkan dengan nash maupun ijma’. Sedangkan illat hukumnya diperhatikan dari segi ‘ain atau zatnya.[34] Seperti firman Allah SWT. Dalam surat al-Baqarah (2) : 222 :
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۙ قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيْضِۙ...
Mereka akan bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu adalah penyakit. Maka hendaklah kalian menghindari perempuan pada masa haid itu ... (QS. Al-Baqarah 2:222).

Hukum menjauhi perempuan pada waktu haid itu sudah ditetapkan dengan nash. Sighat nash jelas menunjukkan illat hukumnya adalah al-aza. Maka al-aza yang mewajibkan menjauhi perempuan pada waktu haid.
2.      Al-Munasib al-Mulaim, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan bahwasanya yang dipandang sebagai illat adalah dari segi dzat atau ‘ainnya, tetapi ada dalil, baik nash maunpun ijma’ yang menunjukkan illat tersebut dari segi jenis hukum. Seperti anak-anak ditetapkan berdasarkan nash yang memberi isyarat bahwa hartanya berada dibawah kekuasaan walinya.[35]
3.       Al-Munasib al-Mursal, yaitu sesuatu yang tidak ada petunjuknya dari nash syara’ tentang illat, baik yang menolak maupun yang memandangnya sebagai illat.[36]
4.      Al-Munasib al-Mulgha, yaitu sesuatu yang sudah jelas ditetapkan hukum atas kemaslahatannya, tetapi ada dalil yang menunjukkan atas tertolaknya (lagha) atau tidak dipandang illat. Misalnya, menyamakan anak laki-laki dan perempuan dalan soal al-qarabah  karena kebersamaan keduanya dalam hal waris.[37]

5.      Masalikul Illat
Cara-cara untuk mengetahui illat yaitu sebagai berikut:
1.      Dengan Nash Itu Sendiri
mengqiyaskan hukuman sesuatu dengan hukum sesuatu yang illat hukumnya telah disebutkan oleh Nash itu sendiri pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu kepada Nash. Ini dapat dibaagi kepada beberapa bahagian. Pertama, dalalah Nash (penunjukan Nash) bahawa sifat yang disebutkan Nash itu adalah illat hukumnya adakalanya shararah (dengan jelas) dan adakalanya ma'a atau syara (dengan isyarat). kedua, dalalah shararah ialah suatu dalalah (penunjukkan) Nash kepada illat hukum dengan penunjukkan yang jelas sekali. Artinya, dalam Nash itu sendiri terdapat kata kata yang menunjukkan illat hukumnya secara jelas. Misalnya, apabila di dalam Nash itu sendiri disebutkan dengan jelas bahwa "illatnya adalah demikian (li'illatin kadza)" atau disebutkan "sebabnya adalah karena demikian (lisababin kadza)."[38] dalam shararah ada 2 macam.


1.    Shararah qath'iyah
Suatu dalalah shararah disebut shararah qath'iyah apabila penunjukan lafaz kepada illat hukum itu tidak mungkin dapat dibawa kepada illat hukum yang lain.[39] Misalnya, firman Allah dalam surah An-Nisa' (4):165:

رُسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira Dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.(QS. An-Nisa' (4):165)

2.    Shararah Zhanniyah
Suatu dalalah shararah disebut shararah zhanniyah apabila penunjuk Nash kepada illat hukum itu masih ada kemungkinan dapat di bawah kepada illat hukum yang lain.[40] Misalnya, firman Allah SWT. dalam surah Al-Isra' (17):78:

أَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat setelah tergelincir matahari. (QS. Al-Isra' (17):78)

2.      Ijma'
Ijma' sebagai salah satu masalik berarti ijma' itu menjelaskan Illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu Nash.[41] Umpamanya hadis sahihaini:

لَايَحْكُم اَحَدٌبَيْنَ اثْيَيْنِ وَهُوَغَضْبَانُ
Janganlah seseorang menghakimi antara dua orang dalam keadaan marah.

ijma' menetapkan bahwa illat tidak sahnya hakim menghadapi perkara dalam waktu marah adalah "marah", karena dapat mengganggu pikiran.

3.      Al-Ima' wa al-Tanbih[42]
Al-Ima' wa al-Tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum. Seandainya penyertaan itu bukan untuk menunjukkan ke-illat-an suatu sifat bagi hukum, tentu penyertaan itu menjadi tidak berarti. Sifat yang menyertai hukum itu adalah sifat yang disebut dalam lafaz.
Ada pendapat yang mengatakan bahawa sifat itu dapat berubah sifat yang di-istinbath-kan. Sedangkan hukum yang menyertai sifat itu dapat berupa hukum yang ditetapkan oleh Nash atau yang ditetapkan melalui ijtihad.
Ada ahli ushul yang menyebut al-ima' wa al-tanbih ini dengan hanya al-Tanbih dan Ada pula yang menyebutnya dengan Al-ima' saja tanpa menjelaskan perbedaan di antara keduanya.

4.      Sabru wa Taqsim
Sabru wa Taqsim (السبر والثقسيم) secara harfiah berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Yang dimaksud disini adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak pantas menjadi illat; maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi illat untuk hukum ashal tersebut.[43] Umpamanya hukum riba fadhal yang terdapat dalam hadis nabi:


اَلْبُرُّ بِالْبِرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ....
Gandum dengan gandum, jelai dengan jelai...

Dalam hadis ini tidak disebutkan illat-nya secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mencari sifatnya ditampilkan segala kemungkinan sifat yang terdapat di dalamnya yaitu bahwa dia adalah makanan makanan, barang yang ditimbang, dan barang yang ditukar. Selanjutnya sifat-sifat ini di teliti satu persatu dan disaring mana yang pantas menjadi illat dan mana yang tidak.[44]



5.    Takhrijul manath
Takhrijul manath (تخريج المناط) adalah usaha menyatakan illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriman serta terhindar dari sesuatu yang mencatatkan. Cara penemuan illat dalam bentuk ini berbeda dengan ima' dan tanbih karena disini dipersyaratkan adanya keserasian (munasabah), sedangkan pada ima' dan tanbih tidak ada persyaratan keserasian itu. Contohnya pencarian illat. dalam hadis yang diriwayatkan Muslim: كل مسكر حرم  (setiap yang memabukkan adalah haram) yaitu sifat memabukkan.[45]

6.    Tanqihul Manath (تنقيح المناط)
Yaitu, menetapkan satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat didalam ashal untuk menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi illat dengan yang lebih umum.[46]

7.    Thard
Thard (الطرد) ialah penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang berarti. Memang dalam penyebutan hukum itu disebutkan pula sifatnya; namun antara hukum dengan sifat itu tidak ada kaitannya sama sekali. Umpamanya ucapan, "Hukumlah penjahat yang buruk rupa itu."
Dalam contoh tersebut memang dijelaskan hukumnya, yaitu keharusan menghukum penjahat disertai penjelasan sifatnya, namun antara sifat dengan hukum tidak ada keserasian. Artinya, tidak ada sangkut paut antara penetapan hukuman dengan buruk rupa dalam ucapan tersebut.[47]

8.    Syabah
Syabah (الشبه), yaitu sifat yang memiliki kesamaan. Syabah ini terdiri dari dua bentuk, yaitu:[48]
a.    Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan, yaitu menghubungkan furu' yang mempunyai kesamaan dengan dua ashal, namun persamaan dengan salah satu diantaranya lebih dominan dibandingkan dengan yang satu lagi.
b.    Qiyas shuri, yaitu meng-qiyas-kan hanya karena kesamaan bentuknya; seperti meng-qiyas-akan kuda kepada keledai dalam hal tidak dikenai kewajiban zakat.

9.    Dawran (الدوران)
Al-Dawran atau yang sirkuler. Yaitu adanya hukum Sewaktu bertemu sifat dan tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat. Hal ini memberi petunjuk bahawa sifat yang selalu mengikuti hukum itu adalah illat-nya.[49]

10.  Ilghau al-Fariq (الغاء الفارق)
Ilghau al-Fariq yaitu adanya titik perbezaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya. Umpamanya mengenai firman Allah dalam surah An-Nisa' (4): 101:
Allah SWT berfirman:
إِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلٰوةِ
Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu.

Maksud ayat tersebut dapat dipahami bahawa laki-laki yang melakukan perjalanan boleh meng-qashar shalat karena lahir ayat itu di tujukkan kepada jenis laki laki.[50]

E.  Dalil/kehujjahan Qiyas
1.      Dalil Al-Quran
Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan kias dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat yasin (36), ayat 78-79:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُۗ قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ {٧٨} قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْ اَنْشَاَهَا اَوَّلَ مَرَّةٍۗ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ {٧٩{

ia berkata, “Siapakah yang akan menghidupkan tulang belulang sesudah ia berserakan?” Katakanlah, “Yang akan menghidupkannya adalah yang mengadakannya pertama kali”. (QS. Yasin (36) :78-79)

Ayat ini menjelaskan bahawa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.[51]

2.      Dalil Sunnah
Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut.[52] Dalam hadis Ibnu Abbas menurut riwayat al-Nasai, Nabi berkata, "Bagaimana pendapat mu bila bapakmu berhutang  Apakah engkau akan membayarnya?" Dijawab oleh sipenanya (al-Khatasamiyah), "Ya, memang." Berkata nabi, " Hutang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar".
Hadis di atas adalah tanggapan atas persoalan sebenarnya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakan kepada Nabi dengan ucapannya, "Bagaimana Kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?" Keluarlah jawaban nabi seperti tersebut di atas.[53]
Dalam Hadis itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Bahkan nabi menambahkan bahawa hutang kepada Allah, yaitu Haji, lebih patut untuk dibayar. Dalil ini, menurut jumhur, cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.

3.      Astsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabi dalam penggunaan qiyas, adalah:[54]
Surat Umar ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy'ari sewaktu diutus menjadi qhodi di Yaman. Umar berkata,
اِقْضِ بِكِتَابِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فَجْتَهِدْ رَأْيَكَ
Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menentukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh didalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra'yu.

Pesan Umar ini dilanjutkan dengan:
اَعْرِفِ الْاَمْثَالَ وُالْاَشْبَاهَ وَقِسِ الْاُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ
ketahuilah kesamaan dan keserupaan qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.


Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra'yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Al-Quran maupun sunnah; sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh mencari titik perbandingan dan kesamaan diantara dua hal dan menggunakan qyas bila menemukan kesamaan. Atsar shahabi tentang pesan Umar ibn Khattab kepada Abu Musa itu dibantah oleh ulama Zhahiriyah, baik dari segi sanad maupun dari segi maksud matannya.[55]

F.  Al-Qawadih
Al-Qawadih merupakan bentu jamak dari Qadih yang berarti cacat. Artinya dalil-dalil diajukan mujtahid akan diterima oleh pihak lain jika dalil-dalil itu sudah terlepas atau terbebas dari titik lemah. Bila cacat dalil itu ditemukan dalam arena perdebatan ada yang menamakan mu’aradhat. Bila cacat itu karena adanya penolakan dari pihak lain maka dinamakan i’tiradhat.[56]
Ada beberapa yang membuat dalil mujtahid ditolak pihak lain dengan tuduhan cacat, diantaranya sebagai berikut :
1.      Tertinggalnya kukum dari illat. Artinya dalam suatu kasus ditemukan illat, namun tidak ditemukan padanya hukum. Contoh, makanan pada Riba Fadhal. Illat ini dianggap cacat karena illat makanan itu ada di delima, namun delima itu tidak termasuk objek ribawi.[57]
2.      Al-Kasru yaitu menggugurkan salah satu sifat dari illat hukum dengan cara menyatakan bahwa sifat tersebut tidak terpakai lagi dengan alasan ada hukum dalam keadaan tidak ditemukan sifat itu. Contoh : illat hukum pada Shalat khauf.[58]
3.      Adam al-Ta’tsir artinya “tidak berpengaruh” yaitu sifat yang dikemukakan untuk menjadi illat hukum tidak ada keserasian dengan hukum itu. [59]
4.      Al-‘aks artinya tiada hukum karena tiadanya sifat sebagaimana adanya hukum karena adanya sifat itu.[60]
5.      Al-Taqsim yaitu lafad yang digunakan mengandung keraguan antara dua hal yang sama, satu diantaranya tidak boleh digunakan dan yang satunya boleh digunakan.[61]




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Secara etimologi, kata “qiyas” berarti قدر yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut istilah (istilah hukum) adalah Menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya.
Rukun qiyas itu ada 4 yaitu ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma', far'u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, dan hukum Al-Ashl (hukum yang ditentukan oleh nash atau ijma').
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut: Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal, Pembagian qiyas dari segi kejelasan illat-nya, Pembagian qiyas dari segi keserasian illat-nya dengan hukum, Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas, dan Pembagian qiyas dari segi metode (Malasik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’.
Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur yang terpenting, karena adanya Illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat diterangkan kepada yang lain.
Cara mengetahui illat yaitu dengan nash itu sendiri, ijma’, Al-Ima' wa al-Tanbih, Sabru wa Taqsim, Takhrijul manath, Tanqihul Manath, Thard, Syabah, Dawran, dan Ilghau al-Fariq. Sedangkan Kehujjahan qiyas bersumber dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Astsar Shahabi
Al-Qawadih merupakan bentu jamak dari Qadih yang berarti cacat. Artinya dalil-dalil diajukan mujtahid akan diterima oleh pihak lain jika dalil-dalil itu sudah terlepas atau terbebas dari titik lemah. Bila cacat dalil itu ditemukan dalam arena perdebatan ada yang menamakan mu’aradhat. Bila cacat itu karena adanya penolakan dari pihak lain maka dinamakan i’tiradhat

B.       Saran
Dengan adanya makalah ini kami sarankan pada para pembaca memahami Hukum qiyas secara mendalam agar tidak salah faham dan tidak mengkafir-kafirkan orang bila hukum tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’ Ulama.





DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2014.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jilid 1. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Uman,  Chaerul. Ushul fiqih 1. Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1998.



[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1 (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 317.
[2] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 161-162.
[3] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2014), hlm. 50.
[4] Chaerul Uman, Ushul fiqih 1, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 95-96.
[5] Ibid. hlm. 97.
[6] Ibid. hlm. 96
[7] Ibid. hlm. 97-98.
[8] Ibid. hlm. 96.
[9]Ibid. hlm. 98.
[10] Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 164.
[11] Uman, Ushul fiqih 1, hlm. 96.
[12] Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 389-391.
[13] Ibid. hlm. 391.
[14] Ibid. hlm. 391-392.
[15] Ibid. hlm. 392.
[16] Ibid.
[17] Ibid. hlm. 392-393.
[18] Ibid. hlm. 393.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid. hlm. 350.
[22] Ibid. hlm. 351.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid,
[26] Ibid. hlm. 351-352.
[27] Ibid. hlm. 352
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid. hlm. 353.
[34] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 86.
[35] Ibid. hlm. 87.
[36] Ibid.
[37] Ibid. hlm. 88.
[38] Koto, Ushul Fiqh, hlm. 88.
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 375.
[42] Ibid. hlm. 376.
[43] Ibid. hlm. 379.
[44] Ibid.
[45] Ibid. hlm. 380-381.
[46] Ibid. hlm. 381.
[47] Ibid. hlm. 382.
[48] Ibid. hlm. 383.
[49] Ibid. hlm. 384.
[50] Ibid.
[51] Ibid. hlm. 324-325.
[52] Ibid. hlm. 329-330.
[53] Ibid. hlm. 331.
[54] Ibid.
[55] Ibid. hlm. 332.
[56] Ibid. hlm. 387.
[57] Ibid. hlm. 385-386.
[58] Ibid. hlm. 386.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid. hlm. 389.

3 komentar: