ISTIHSAN
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh
yang diampu oleh Bapak
Moch. Cholid Wardi, M.H.I.
Disusun
Oleh :
Kiswatul Jannah
Lina Cristina Andarwati
Moflihatin Hosnaniyah
Musdalifah
Musyahrotin
Nur
Imania Ramadhanti
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
wr.wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Istihsan” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam selalu kami
limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya, atas jasa beliau kita sebagai umat Islam bisa melihat dunia ini
dipenuhi akhlak yang mulia, rahmat dan kasih sayang yang selalu tumbuh diantara
umatnya.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Tidak ada
kesempurnaan dalam makalah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Dalam penyusunan makalah ini kami
menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami memohon maaf
apabila dalam makalah terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Dan kami
mengharap kritik serta saran dari para pembaca agar kami dapat menjadi lebih
baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb.
Pamekasan, 17 April 2018
Penulis,
DAFTAR ISI
|
|
HALAMAN JUDUL .................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ...................................................................
B. Rumusan
Masalah ..............................................................
C. Tujuan
Masalah ..................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Istihsan ....................................................................
B. Macam-Macam Istihsan .......................................................
C. Dasar Hukum Istihsan ..........................................................
D. Kehujjahan Istihsan ..............................................................
E.
Relevansi
Istihsan di Masa Kini dan
Mendatang
.................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................
B. Saran .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
|
i
ii
iii
1
1
1
2
5
16 17
18
21
22
23
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Istihsan menjadi bagian penting dalam hukum Islam, mengingat ada
hal-hal tertentu dalam agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk itu
dibutuhkan pendapat dari para ulama untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
bahaya secara khusus.
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara
praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti
bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik. Tetapi dalam pengertian
istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami dan mendefinisikan istihsan itu. Dalam makalah ini, penulis
akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah istihsan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2.
Apa saja macam-macam istihsan?
3.
Bagaimana dasar hukum istihsan?
4.
Bagaimana kehujjahan istihsan?
5.
Bagaimana relevansi
istihsan di masa kini dan mendatang?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk mengetahui yang dimaksud dengan istihsan.
2.
Untuk mengetahui macam-macam istihsan.
3.
Untuk mengetahui dasar hukum istihsan.
4.
Untuk mengetahui kehujjahan istihsan.
5.
Untuk mengetahui relevansi istihsan
di masa kini dan mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI ISTIHSAN
Istihsan dari segi bahasa
berasal dari kata kerja bahasa Arab اِسْتَحْسَنَ – يَسْتَحْسِنُ menjadi اِسْتِحْسَانًا
yang berarti mencari kebaikan.[1]
Istihsan berarti memperhitungkan sesuatu lebih baik atau adanya sesuatu
itu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti karena memang diperintahkan untuk itu.
Dari arti bahasa di atas,
tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun
ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan
untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik
untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan
secara istilah ada beberapa definisi yang dirumuskan ulama ushul fiqh. Di
antara definisi itu ada definisi yang berbeda akibat adanya perbedaan titik
pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun di antaranya ada
yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1.
Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
a.
Rumusan pertama
عُدُوْلٌ عَنْ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ
“Beralih
dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat daripadanya
(qiyas pertama).”
b.
Rumusan kedua
عُدُوْلٌ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمِصْلَحَةِ
“Beralih
dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.”
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan
karena yang terkuat di antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan
terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya.[2]
2.
Istilah istihsan di
kalangan ulama Malikiyah di antaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan
al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
وَهُوَفِى مَذهَبِ مِا لِكِ الْاَحْذُ بِمَصْلَحَةٍ
جُزْئِيَّةٍ فِى مُقَابَلَةِ دَ لِيْلٍ كُلِّيٍّ
“Istihsan dalam mazhab Maliki adalah
menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang
bersifat kulli.”
Menurut ulama Malikiyah istihsan mengandung arti
bahwa seorang mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada
dalil yang ada yang bersifat umum.[3]
3.
Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga definisi
sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah:
a.
Definisi pertama
الْعُدْلُ بِحُكُمِ الْمَسْئَلَةِ عَنْ نَظَا ئِرِهَا
لِدَليْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْسُنَّةٍ
“Beralihnya mujahid dalam menetapkan hukum
terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil
khusus dalam Al-Qur’an atau sunah.”
b.
Definisi kedua
اَنَّهُ مَايَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُبِعَقْلِ
“Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih
baik oleh seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.”
c.
Definisi ketiga
دَلِيْلٌ يَنْقَدِحُ فِى نَفْسِ الْمُجْتَهِدِلاَ يَقْدِرُعَلَى الْتَعْبِيْرِ
عَنْهُ
“Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia
tidak mampu menjelaskannya.”
Dari definisi istihsan pertama dapat disimpulkan bahwa
seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang di tetapkan pada kasus
yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari
Al-Qur’an dan sunah. Definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain
karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu
lebih baik menurut kenyataannya. Dan definisi ketiga juga mungkin timbul
sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil
yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat
diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, tetapi bila dalil
tersebut tidak benar maka cara istihsan seperti itu tertolak.[4]
4.
Dikalangan ulama Hanafiyah istihsan ada dua macam
rumusan seperti yang dikutip oleh al-Sarkhisi:
a.
Rumusan pertama
الْعَمَلُ بِالْاِ جْتِهَدِ وَغَالِبِ الرَّأْيِ فِى تَقْدِيْرِمَاجَعَلَهُ
الشَّرْعُ مَوْكُوْلاً اِلَى اَرَائِنَا
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam
menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita.”
b.
Rumusan kedua
الدَّلِيْلُ الَّذِى يَكُوْنُ مُعَارِضًا لِلْقِيَاسِ الظَّاهِرِالَّذِى
تَسْبِقُ اِلَيْهِ الْاَوْهَامُ قَبْلَ اِنْعَامِ التَّأَمُّلِ فِيْهِ
وَبَعْدَاِنْعَامِ التَّأَمُّلِ فِى حُكْمِ الْعَادَةِ وَاِشْبَاهُهَامِنَ
الْاُصُوْلِ يَظْهِرُأَنَّ الدَّلِيْلُ الَّذِى عَارَضَهُ فَوْقَهُ فِى الْقُوَّةِ
فَاِنَّ الْعَمَلِ بِهِ هُوَالْوَاجِبُ
“Dalil
yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan
pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam
terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan
itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya
wajib diamalkan.”
Dari dua definisi tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa
arti istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu apa pun,
karena pengertian yang terbaik dalam hal ini adalah di antara dua hal yang kita
dapat memilih, karena syara’ yang telah memberikan hak pilih kepada kita,
Contohnya: penetepan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya sebelum
dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya. Dengan definisi yang kedua
yaitu adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir yang semula ada
prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam,
namun setelah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat daripada qiyas.
Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu ketimbang menggunakan qiyas
yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk
mengamalkan dalil itu disebut istihsan menurut ulama Hanafiyah.[5]
Dapat
disimpulkan bahwa istihsan menurut ulama ushul ialah berpindahnya seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas
khafi (qiyas samar). Atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya. Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil
yang memenangkan segi pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi
pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut istihsan. Demikian juga apabila hukum itu kulli dan pada
diri mujtahid sudah terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyah (bagian) dari hukum
kulli ini, dan memberi ketetapan kepada juz’iyah dengan
hukum lain, maka menurut syara’ ini juga disebut istihsan.[6]
B. MACAM-MACAM ISTIHSAN
Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di
atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari istihsan, yaitu
seorang mujahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu
hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas,
dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai
gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam bentuk kaidah qiyas lain yang
dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang
berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena
dengan cara itulah si mujahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih
banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa istihsan itu
banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi, dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau
dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.[7]
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas,
istihsan ada tiga jenis:
a. Beralih dari apa yang dituntut dari qiyas-dhahir
(qiyas jali) kepada yang dihendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini,
si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya,
tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah
yang paling kuat (tepat). Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang
didalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan
tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si
mujtahid menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka dengan hanya
mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut,
sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Segi kesamaan antara wakaf dan
jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan atas tanah.
Pendekatan seperti ini disebut qiyas jali atau qiyas dhahir.
Namun si
mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan menempuh
pendekatan lain, yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa-menyewa sehingga
menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu termasuknya jalan dan sumber air
ke dalam tanah yang diwakafkan, ,meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan
seperti juga menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan ‘Illat-nya
dianggap agak lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang
samar). Meskipun demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena
pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan seperti ini disebut istihsan
atau lengkapnya disebut istihsan qiyas (استحسان القياس).
b. Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum
yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan
hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan
dalil khusus. Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut
ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash Al-Quran, sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana
firman Allah da;am surat al-Maaidah (5) : 38:
أيْدَيَهُمَا وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا
“Pencuri lakik-laki dan pencuri perempuan,
potonglah tangan-tangan keduanya.”
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan
pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka
berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik atau
kelaparan, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan
bagi si pencuri (dibebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini
berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus tersebut itu disebut istihsan.[8]
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang
dikehendaki hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang
berada dibawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi
(orang yang diampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli
ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan kebajikan dengan hartanya (tabarru).
Berdasarkan pendekatan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya
sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya,
namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan
hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah
melindungi harta orang yang dalam perwalian.[9]
2. Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan
untuk menempuh cara istihsan oleh mujahid, istihsan terbagi
kepada empat jenis, yaitu:
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujahid
meninggalkan qiyas yang petama karena ia menemukan bentuk qiyas
yang lain, meskipun qiyas itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun
dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh
si mujahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan hukum. Dengan demikian, menggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas
khafi. Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas (استحسان القياس).
Contoh lain (selain yang disebutkan di
atas), adalah dalam kasus penetapan hukum bersih tidaknya air yang bekas
dijilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nash syara’ tidak ada
menyebutkan hukumnya. Dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama adalah
melalui qiyas yaitu meng-qiyas-kan kepada air yang bekas dijilat
binatang buas yang hukumnya tidak bersih. ‘Illat yang digunakan dalam qiyas
ini adalah “dagingnya sama-sama haram untuk dimakan” sehingga hukum air yang bekas
dijilatnya juga sama-sama tidak bersih. Air liur yang tidak bersih yang
menyebakan tidak bersihnya air yang bekas dijilat binatang buas itu ada
hubungannya dengan dagingnya.
Berdasarkan pendekatan istihsan dengan menggunakan qiyas khafi
sebagai sandaran, maka air bekas dijilat burung buas itu bersih. Dalam hal ini,
burung buas itu tidak di-qiyas-kan kepada binatang buas (dalam bentuk qiyas
jali), tetapi di-qiyas-kan kepada air yang bekas diminum burung
biasa (yang tidak buas). Air yang bekas diminum burung biasa adalah bersih,
karena burung itu minum dengan paruhnya sehingga air itu tidak bersentuhan
dengan liur burung yang melekat dilidahnya. Keadaan seperti ini juga berlaku
pada burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan, namun daging burung buas
yang kotor itu hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan
air, karena burung buas (seperti halnya burung biasa) minum dengan paruhnya,
sedangkan paruhnya tidak kotor.
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini, si mujahid dalam
menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa atau ada nash
yang menuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau
inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang diperjualbelikan
itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas
menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual
beli berupa tersedianya barang yang diperjualbelikan pada saat berlangsung
transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karena sudah ada nash yang
mengaturnya, yaitu Hadis Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang
tidak ada ditempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan
untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian
itu. Istihsan dalam bentuk ini
disebut Istihsan Nash.[10]
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘Uruf (adat). Dalam hal ini, si mujahid
tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara
lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum
berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam bentuk ini, disebut istihsan
al-‘urf (استحسان العرف).
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang
menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda
masuk, tanpa diperhitungkan banyaknya air yang dipakainya dan lama waktu yang
digunakannya. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang umum yang berlaku dimana saja.
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk dapat diterima,
karena sudah ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalau dalam kasus ini
mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual
beli itu untuk kadar uang yang digunakan harus tertentu pula air yang
digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang demikian. Kalau
mengikuti ketentuan sewa menyewa, yaitu tertentunya pemakaian barang yang di
sewa, padahal pada pemandian umum tidak ada batas waktu. Dengan demikian
ketentuan umum jual beli dan sewa menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada
adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.
d. Istihsan yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si mujahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat
yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan
al-dharurah (استحسان الضرورة).
Umpamanya tidak
diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu
dilakukan unutk mempertahankan hidup atau darurat, sebagaimana telah disebutkan
di atas.
3. Menurut Syatibi, dikalangan mazhab Maliki
dikenal pula istihsan yang dalam praktiknya dinamai dengan istislah
(akan diuraikan tersendiri). Mereka membagi istislah itu kepada tiga
macam:[11]
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf
(kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila sesorang dalam
sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi kemudian ia memakan
ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa
al-Quran termasuk dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan)
yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal
dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Umpamanya
tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak ditangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas,
ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu
bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini
ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya
kemaslahatan, yaitu memelihara dan mejamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan
dan memberikan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar
sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut
ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar
takaran yang berlaku.[12]
Dan secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan
terdiri atas dua macam, yaitu : istihsan
qiyasi dan istihsan istitsna’i. Dibawah ini diuraikan lebih jauh gambaran
keduanya sebagai berikut:
1.
Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan
ketentuan hukum tersebut. Alasan
kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut istihsan qiyasi. Dua contoh dibawah ini
akan dapat lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi.
Apabila
seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka
berdasarkan istihsan, yang
diwakafkannya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah
itu dan bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Apabila
ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas
jali kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih
kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak
milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan,
maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara
meng-qiyas-kan wakaf itu kepada
transaksi sewa-menyewa.
Dalam
transaksi sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat
dari pemilik hak kepada penyewa. `Illah yang
sama ditemukan dalam hal wakaf, meskipun bentuk `Illah tersebut bersifat khafi
(tersembunyi). Yang penting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan
itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian baru dapat dimanfaatkan secara baik
jika di dalamnya terdapat pengairan yang baik. Hak manfaat yang menjadi tujuan
wakaf tidak tercapai, jika transaksi wakaf tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan pada jual beli, melalui qiyas jali. Sebab, pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak, bukan hak manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi sewa-menyewa,
di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat. Pengalihan hukum dari
yang berdasarkan qiyas jali kepada
hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi tersebut
karena ada alasan yang kuat, yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan
tanah pertanian.
Contoh
lainnya ialah berdasarkan istihsan
qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas
khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti
sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa
minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya.
Sebagaimana
diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk
ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut
binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas
terdiri atas daging yang haram dimakan, sedangkan paruh burung buas merupakan
tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika
burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan
air. Karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu.
Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman
binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan
qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada
hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci
dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.[13]
2.
Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’i ialah qiyas
dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk
yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut.
a. Istihsan bian-Nashsh.
Istihsan bian-Nashsh ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang
umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang
mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an maupun sunnah. Contoh istihsan istitsna’i berdasarkan nash
Al-Qur’an ialah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang wafat, padahal
menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap
hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan hukum tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an
antara lain surah an-Nisa’ (4) :
12:
مِنْۢبَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِيْنَ بِهَا أَوْدَيْنٍ
“Sesudah
dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya.”
Contoh istitsna’i yang
berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum
karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa.
Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadis.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَصَائِمٌ فَأَ
كَلَ أَوْشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah ra katanya, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang
lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah SWT sedang memberi makan dan
minum kepadanya.”
b. Istihsan bial-Ijma’.
Istihsan bial-Ijma’ ialah pengalihan hukum dari ketentuan umun
kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai
contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’
(seseorang bertransaksi dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan
harga tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan
transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah, bersabda:
لاَتَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ
“Jangan jual belikan sesuatu yang
belum ada padamu.”
Berdasarkan hadis di atas, seharusnya transaksi tersebut
batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna’
tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus
berlangsung, tanpa ada larangan dari seseorang ulama pun. Sikap ulama tersebut
dipandang sebagai ijma’, demi
memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika
transaksi tersebut dilarang.[14]
c. Istihsan bial-`Urf
Istihsan bial-`Urf ialah pengecualian hukum dari prinsip syariah
yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contoh istihsan bial-`urf ialah menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh
atau dekatnya jarak tempuh adalah terlarang. Sebab, transaksi upah mengupah
harus berdasarkan kejelasan
pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi
tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan
timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap
transaksi tersebut.
d. Istihsan biad-Dharurah
Istihsan biad-Dharurah ialah suatu keadaan darurat yang mendorong
mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas
yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi
keadaan darurat. Sebagai contoh,
menghukumkan sucinya air sumur atau kolamyang kejatuhan najis dengan cara
menguras airnya. Menurut
ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan
mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus mengeluarkan
air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian
pula dengan alat yang mengurasnya (timba atau mesin pompa air),
ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut sehingga air
akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat,
berdasarkan istihsan, air sumur atau
kolam di pandang suci setelah dikuras.
e. Istihsan bial-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan bial-Mashlahah al-Mursalahialah, mengecualikan ketentuan hukum yang
berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang
memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah pengampuan
(curatele, mahjur `alaih), baik karena ia kurang akal maupun karena
berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta (tasharruf)
dari orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan
kepentingannya terhadap hartanya, dimana tujuan pengampuan itu sendiri adalah
untuk memelihara hartanya. Akan
tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan
memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukan untuk kebaikan, maka hartanya
akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukumberlakunya wasiat adalah
setelah dia wafat, tentu hal itu
tidak mengganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu,
ketentuan umum yang berlaku dalam tasharruf orang yang dibawah pengampuan
dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.[15]
C.
DASAR HUKUM ISTIHSAN
Dasar-dasar istihsan
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. antara lain:
1.
Dasarnya dalam Al-Qur’an:
اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَاُولَئِكَ
هُمْ اُولُوااْلاَلْبَبِ ﴿ الزمر: ١٨﴾
Artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh
Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
[QS. Az-Zumar : 18]
وَجَهِدُوْا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
هُوَاجْتَبَكُمْ وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
﴿ الحج: ۷٨ ﴾
Artinya:
“Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam
agama) dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih engkau dan Dia
sama sekali tidak menjadikan kesempitan bagimu dalam agama.” [QS. Al-Hajj : 78]
2.
Dasarnya dalam Hadis:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُدِيْنِكُمْ أَيْسَرُهُ وَخَيْرُالْعِبَادَةِ
الْفِقْهُ ﴿ رواه ابن عبدالبر ﴾
Artinya:
“Anas ra berkata, “Rasulullah SAW. bersabda,
‘Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah
adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.’” {HR. Ibnu Abdul
Barr}[16]
D.
KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Dari definisi istihsan dan penjelasan macamnya, maka jadi jelas bahwa istihsan itu pada hakikatnya bukan sumber
pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua
macam tersebut dalilnya adalah qiyas khafi yang menang atas qiyas
jali lantaran faktor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tenteram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, diantara
macam dalilnya adalah al-mashlahah, yang
menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsan.
Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil
mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu hanya istidlal dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jali, atau ia itu ialah
kemenangan qiyas atas qiyas lain yang melawaninya dengan dalil yang menuntut
kemenangan ini, atau istidlal dengan mashlahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian hukum kulli.
Semua ini adalah istidlal yang shahih.[17]
1. Ulama Hanafiyah
Abu Zahra berpendapat bahwa Abu Hanafiyah banyak sekali menggunakan istihsan.
Begitu pula dengan keterangan yang di tulis dalam beberapa kitab ushul yang
menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam
beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
2. Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu di anggap dalil
yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Begitu pula menurut Abu Zahra, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan
menggunakan istihsan.
3. Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul di sebutkan bahwa golongan Hanabilh mengakui
adanya istihsan, sebagaimana pendapat Imam Al-Amudi dan Ibnu
Hazib.Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab syarh Al-Jam Al-Jawami' mengatakan
bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama' yang lain
mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
4. Ulama
Syafi'iyah
Golongan Al-Syafi'i secara mashur tidak mengakui adanya istihsan,
dan mereka betul-betul menjauhi untuk mengunakannya dalam istinbat hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi'i berkata "Barang
siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari'at." Beliau juga berkata, "Segala urusan
itu telah di atur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupai sehingga di
bolehkan menggunakan qiyas, namun tidak di perbolehkan menggunakan
istihsan."[18]
E. RELEVANSI ISTIHSAN
DI MASA KINI DAN MENDATANG
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh
sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara
konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum
menurut cara-cara biasa dilakukan.
Di antara contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dari
persoalan kehidupan akhir-akhir ini adalah:[19]
1. Masalah zakat. Dalil syara’ yang
dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh yang ada kebanyakan berbicara dalam
kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali yang berkenan dengan jasa
dan produksi. Kalau dalam menghadapi kehidupan ekonomi saat ini dan masa yang
akan mendatang khususnya yang menyangkut masalah zakat hanya mengandalkan
pendekatan lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai
lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama tentang
zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian semakin langka,
sedangkan pihak yang mengharapkan bantuan melalui penghimpunan dana sosial
melalui zakat semakin banyak. Karena itu diperlukan upaya untuk mencari
alternatif pendekatan lain untuk menyelesaikannya.
2. Pelaksanaan ibadah haji dari tahun ke tahun
semakin dirasakan semakin kompleks dan semakin sulit mengatasinya mengingat
jamaah haji semakin banyak seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan
teknologi di bidang transportasi yang memudahkan perjalanan ke tanah suci,
sedangkan lokasi pelaksanaan ibadah haji tidak pernah mengalami perkembangan.
Namun masalah ini harus dihadapi untuk memberikan solusi agar umat Islam dapat
melaksanakan ajaran agamanya dengan mudah, tenteram, dan aman. Kalau hanya
mengandalkan pada ketentuan hukum fiqh dengan pendekatan lama dalam menghadapi
masalah haji ini, tampaknya tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Oleh karena
itu, pendekatan alternatif seperti bentuk istihsan akan benyak gunanya.
3. Transplantasi
organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Semestinya hal ini tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh
seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia
untuk berobat rasanya lebih baik untuk di ikuti. Dalam hal ini pun pendekatan istihsan rasanya
lebih tepat untuk dilaksanakan.
4. Bunga deposito
bank. Para ulama tetap bersikukuh untuk mrngharamkan bunga deposito di bank
meskipun mereka juga mengetahui bahwa dana tersebut digunakan untuk
berinvestasi. Di antara
langkah untuk menghadapi masalah ini adalah upaya untuk meng-qiyas-kan
bunga deposito bank itu kepada mudharabah karena sama-sama menyerahkan
modal dan menerima bagian dari hasil yang diperoleh. Dalam hal ini pun
tampaknya perlu meninggalkan qiyas jali dan selanjutnya menggunakan qiyas
alternatif yang bernama istihsan.[20]
Dari uraian di atas, tampak
dengan jelas bahwa permasalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan
mengingat semakin pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Kita
tentu tidak bisa berpangku tangan atau bersikap semaunya dalam mencari solusi
hukumnya, karena sikap demikian menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan hukum,
meskipun agama tidak akan memberati manusia dalam beramal.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Istihsan
menurut ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid
dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi
(qiyas samar). Atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya. Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil
yang memenangkan segi pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi
pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut istihsan. Demikian juga apabila hukum itu kulli dan pada
diri mujtahid sudah terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyah (bagian) dari hukum
kulli ini, dan memberi ketetapan kepada juz’iyah dengan
hukum lain, maka menurut syara’ ini juga disebut istihsan.
Hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujahid dalam
melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi
menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas, dalam bentuk
hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya, ia
menggunakan dalil lain dalam bentuk kaidah qiyas lain yang dinilai lebih
kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku, atau
keadaan darurat, atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara
itulah si mujahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat. Terlihat
bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari segi dalil
yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran
atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
Secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan
terdiri atas dua macam, yaitu istihsan
qiyasi dan istihsan istitsna’i. Istihsan
qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jali kepada
ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum
tersebut. Dan istihsan istitsna’i ialah
qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum
tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk
yang kedua ini dibagi kepada beberapa macam.
Dasar-dasar istihsan
terdapat dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 18 dan surah Al-Hajj ayat 78.
Sedangkan dalam hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr. Istihsan pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hukum yang
tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya
adalah qiyas khafi yang menang atas qiyas jali lantaran
faktor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tenteram hati seorang
Mujtahid, yaitu jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, di
antara macam dalilnya adalah al-mashlahah,
yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang
diungkapkan sebagai jalan istihsan.
Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dan golongan Al-Syafi'i secara mashur tidak
mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk
mengunakannya dalam istinbat hukum
dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Istihsan itu digunakan oleh
sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara
konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum
menurut cara-cara biasa dilakukan. Karena permasalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan mengingat semakin
pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia.
B.
SARAN
Pada masa yang akan datang
permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan kompleks.
Permasalahan tersebut harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Jika hanya mengandalkan pendekatan
dengan metode lama, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan
dengan tepat. Sehingga mujtahid harus mampu menemukan pendekatan alternatif,
seperti kecenderungan untuk menggunakan istihsan harus semakin kuat
dengan adanya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam
kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah, 2010.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushulul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jiilid 2.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Uman, Chaerul, dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung:
CV Pustaka S
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar