Minggu, 27 Mei 2018

ISTIHSAN



ISTIHSAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I.


Disusun Oleh :

Kiswatul Jannah
Lina Cristina Andarwati
Moflihatin Hosnaniyah
Musdalifah
Musyahrotin
Nur Imania Ramadhanti


 



PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Istihsan” dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dengan tepat waktu.
              Shalawat serta salam selalu kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, atas jasa beliau kita sebagai umat Islam bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlak yang mulia, rahmat dan kasih sayang yang selalu tumbuh diantara umatnya.
              Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Tidak ada kesempurnaan dalam makalah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
              Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila dalam makalah terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Dan kami mengharap kritik serta saran dari para pembaca agar kami dapat menjadi lebih baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya.
              Akhir kata, semoga makalah ini bisa membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
 Wassalamualaikum wr.wb.

Pamekasan, 17 April 2018

Penulis,                                   




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL  .................................................................................
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI   .............................................................................................
BAB I  PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang    ...................................................................
B.    Rumusan Masalah    ..............................................................
C.    Tujuan Masalah    ..................................................................
BAB II  PEMBAHASAN
A.       Definisi Istihsan ....................................................................
B.       Macam-Macam Istihsan .......................................................
C.       Dasar Hukum Istihsan ..........................................................
D.       Kehujjahan Istihsan ..............................................................
E.        Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang .................
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan ...........................................................................
B.    Saran .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA  ...............................................................................

  i
 ii
iii

  1
  1
  1

  2
  5
16 17
18

21
22
23









BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Istihsan menjadi bagian penting dalam hukum Islam, mengingat ada hal-hal tertentu dalam agama yang tidak dijelaskan secara spesifik. Untuk itu dibutuhkan pendapat dari para ulama untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak bahaya secara khusus.
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik. Tetapi dalam pengertian istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan istihsan itu. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah istihsan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2.      Apa saja macam-macam istihsan?
3.      Bagaimana dasar hukum istihsan?
4.      Bagaimana kehujjahan istihsan?
5.      Bagaimana relevansi istihsan di masa kini dan mendatang?

C.    TUJUAN MASALAH
1.         Untuk mengetahui yang dimaksud dengan istihsan.
2.         Untuk mengetahui macam-macam istihsan.
3.         Untuk mengetahui dasar hukum istihsan.
4.         Untuk mengetahui kehujjahan istihsan.
5.         Untuk mengetahui relevansi istihsan di masa kini dan mendatang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI ISTIHSAN
Istihsan dari segi bahasa berasal dari kata kerja bahasa Arab اِسْتَحْسَنَ – يَسْتَحْسِنُ  menjadi اِسْتِحْسَانًا yang berarti mencari kebaikan.[1] Istihsan berarti memperhitungkan sesuatu lebih baik atau adanya sesuatu itu lebih baik atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti karena memang diperintahkan untuk itu.
Dari arti bahasa di atas, tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilah ada beberapa definisi yang dirumuskan ulama ushul fiqh. Di antara definisi itu ada definisi yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun di antaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1.      Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
a.    Rumusan pertama
عُدُوْلٌ عَنْ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ
 “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).”
b.    Rumusan kedua
عُدُوْلٌ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمِصْلَحَةِ
 “Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.”

Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan karena yang terkuat di antara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya.[2]

2.      Istilah istihsan di kalangan ulama Malikiyah di antaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
وَهُوَفِى مَذهَبِ مِا لِكِ الْاَحْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْئِيَّةٍ فِى مُقَابَلَةِ دَ لِيْلٍ كُلِّيٍّ
 “Istihsan dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.”

Menurut ulama Malikiyah istihsan mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum.[3]

3.      Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah:
a.    Definisi pertama
الْعُدْلُ بِحُكُمِ الْمَسْئَلَةِ عَنْ نَظَا ئِرِهَا لِدَليْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْسُنَّةٍ
“Beralihnya mujahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Al-Qur’an atau sunah.”
b.    Definisi kedua
اَنَّهُ مَايَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُبِعَقْلِ
“Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.”
c.    Definisi ketiga
دَلِيْلٌ يَنْقَدِحُ فِى نَفْسِ الْمُجْتَهِدِلاَ يَقْدِرُعَلَى الْتَعْبِيْرِ عَنْهُ
“Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.”

Dari definisi istihsan pertama dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang di tetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari Al-Qur’an dan sunah. Definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Dan definisi ketiga juga mungkin timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, tetapi bila dalil tersebut tidak benar maka cara istihsan seperti itu tertolak.[4]

4.      Dikalangan ulama Hanafiyah istihsan ada dua macam rumusan seperti yang dikutip oleh al-Sarkhisi:
a.    Rumusan pertama
الْعَمَلُ بِالْاِ جْتِهَدِ وَغَالِبِ الرَّأْيِ فِى تَقْدِيْرِمَاجَعَلَهُ الشَّرْعُ مَوْكُوْلاً اِلَى اَرَائِنَا
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada pendapat kita.”
b.    Rumusan kedua
الدَّلِيْلُ الَّذِى يَكُوْنُ مُعَارِضًا لِلْقِيَاسِ الظَّاهِرِالَّذِى تَسْبِقُ اِلَيْهِ الْاَوْهَامُ قَبْلَ اِنْعَامِ التَّأَمُّلِ فِيْهِ وَبَعْدَاِنْعَامِ التَّأَمُّلِ فِى حُكْمِ الْعَادَةِ وَاِشْبَاهُهَامِنَ الْاُصُوْلِ يَظْهِرُأَنَّ الدَّلِيْلُ الَّذِى عَارَضَهُ فَوْقَهُ فِى الْقُوَّةِ فَاِنَّ الْعَمَلِ بِهِ هُوَالْوَاجِبُ
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.”

Dari dua definisi tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu apa pun, karena pengertian yang terbaik dalam hal ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara’ yang telah memberikan hak pilih kepada kita, Contohnya: penetepan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya. Dengan definisi yang kedua yaitu adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir yang semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam, namun setelah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat daripada qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu ketimbang menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamalkan dalil itu disebut istihsan menurut ulama Hanafiyah.[5]

Dapat disimpulkan bahwa istihsan menurut ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya. Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut istihsan. Demikian juga apabila hukum itu kulli dan pada diri mujtahid sudah terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyah (bagian) dari hukum kulli ini, dan memberi ketetapan kepada juz’iyah dengan hukum lain, maka menurut syara’ ini juga disebut istihsan.[6]

B.     MACAM-MACAM ISTIHSAN
Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas, dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam bentuk kaidah qiyas lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi, dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.[7]
1.      Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga jenis:
a.    Beralih dari apa yang dituntut dari qiyas-dhahir (qiyas jali) kepada yang dihendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini, si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat). Umpamanya dalam hal kasus mewakafkan tanah yang didalamnya terdapat jalan dan sumber air minum. Apakah dengan semata mewakafkan tanah sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau tidak. Kalau si mujtahid menggunakan pendekatan qiyas yang biasa, maka dengan hanya mewakafkan tanah tidak otomatis termasuk jalan dan sumber air tersebut, sebagaimana berlaku dalam transaksi jual beli. Segi kesamaan antara wakaf dan jual beli dalam hal ini adalah sama-sama melepaskan pemilikan atas tanah. Pendekatan seperti ini disebut qiyas jali atau qiyas dhahir.
Namun si mujtahid dalam kasus tersebut beralih dari qiyas jali dengan menempuh pendekatan lain, yaitu menyamakannya dengan transaksi sewa-menyewa sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang lain, yaitu termasuknya jalan dan sumber air ke dalam tanah yang diwakafkan, ,meskipun tidak disebutkan dalam akad wakaf. Pendekatan seperti juga menggunakan qiyas, namun dari segi kekuatan ‘Illat-nya dianggap agak lemah, sehingga dinamakan qiyas khafi (qiyas yang samar). Meskipun demikian, si mujtahid lebih cenderung menempuh cara ini karena pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan lebih tinggi. Pendekatan seperti ini disebut istihsan atau lengkapnya disebut istihsan qiyas  (استحسان القياس).
b.    Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus. Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash Al-Quran, sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah da;am surat al-Maaidah (5) : 38:
أيْدَيَهُمَا وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا
Pencuri lakik-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan keduanya.”
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (dibebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus tersebut itu disebut istihsan.[8]
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi (orang yang diampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan kebajikan dengan hartanya (tabarru). Berdasarkan pendekatan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang dalam perwalian.[9]

2.      Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujahid, istihsan terbagi kepada empat jenis, yaitu:
a.    Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini si mujahid meninggalkan qiyas yang petama karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh si mujahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan hukum. Dengan demikian, menggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas (استحسان القياس).
Contoh lain (selain yang disebutkan di atas), adalah dalam kasus penetapan hukum bersih tidaknya air yang bekas dijilat burung buas (seperti elang dan gagak). Nash syara’ tidak ada menyebutkan hukumnya. Dalam kasus ini, cara yang biasa ditempuh ulama adalah melalui qiyas yaitu meng-qiyas-kan kepada air yang bekas dijilat binatang buas yang hukumnya tidak bersih. ‘Illat yang digunakan dalam qiyas ini adalah dagingnya sama-sama haram untuk dimakan” sehingga hukum air yang bekas dijilatnya juga sama-sama tidak bersih. Air liur yang tidak bersih yang menyebakan tidak bersihnya air yang bekas dijilat binatang buas itu ada hubungannya dengan dagingnya.
Berdasarkan pendekatan istihsan dengan menggunakan qiyas khafi sebagai sandaran, maka air bekas dijilat burung buas itu bersih. Dalam hal ini, burung buas itu tidak di-qiyas-kan kepada binatang buas (dalam bentuk qiyas jali), tetapi di-qiyas-kan kepada air yang bekas diminum burung biasa (yang tidak buas). Air yang bekas diminum burung biasa adalah bersih, karena burung itu minum dengan paruhnya sehingga air itu tidak bersentuhan dengan liur burung yang melekat dilidahnya. Keadaan seperti ini juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan, namun daging burung buas yang kotor itu hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena burung buas (seperti halnya burung biasa) minum dengan paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor.
b.    Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini, si mujahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa atau ada nash yang menuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat berlangsung transaksi jual beli, barang yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianya barang yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karena sudah ada nash yang mengaturnya, yaitu Hadis Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada ditempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Istihsan  dalam bentuk ini disebut Istihsan Nash.[10]
c.    Istihsan yang sandarannya adalah ‘Uruf (adat). Dalam hal ini, si mujahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam bentuk ini, disebut istihsan al-‘urf (استحسان العرف).
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk, tanpa diperhitungkan banyaknya air yang dipakainya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang umum yang berlaku dimana saja.
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk dapat diterima, karena sudah ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalau dalam kasus ini mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli itu untuk kadar uang yang digunakan harus tertentu pula air yang digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa menyewa, yaitu tertentunya pemakaian barang yang di sewa, padahal pada pemandian umum tidak ada batas waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli dan sewa menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak.
d.   Istihsan yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini si mujahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-dharurah (استحسان الضرورة).
Umpamanya tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan unutk mempertahankan hidup atau darurat, sebagaimana telah disebutkan di atas.

3.      Menurut Syatibi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam praktiknya dinamai dengan istislah (akan diuraikan tersendiri). Mereka membagi istislah itu kepada tiga macam:[11]
a.    Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf (kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila sesorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa al-Quran termasuk dalam daging. Alasannya karena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk) daging.
b.    Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak ditangannya. Berdasarkan pendekatan qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu memelihara dan mejamin harta orang lain.
c.    Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.[12]

Dan secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas dua macam, yaitu : istihsan qiyasi dan istihsan istitsna’i. Dibawah ini diuraikan lebih jauh gambaran keduanya sebagai berikut:
1.      Istihsan Qiyasi
Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut istihsan qiyasi. Dua contoh dibawah ini akan dapat lebih mendekatkan pemahaman kita kepada pengertian istihsan qiyasi.
Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkannya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Apabila ketentuan wakaf ditetapkan berdasarkan qiyas jali kepada transaksi jual beli, maka hak-hak tersebut tidak ikut beralih kepada penerima wakaf. Sebab dalam jual beli, yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Akan tetapi, karena alasan kemaslahatan, maka hak-hak tersebut ikut berpindah kepada penerima wakaf, yaitu dengan cara meng-qiyas-kan wakaf itu kepada transaksi sewa-menyewa.
Dalam transaksi sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik hak kepada penyewa. `Illah yang sama ditemukan dalam hal wakaf, meskipun bentuk `Illah tersebut bersifat khafi (tersembunyi). Yang penting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Tanah pertanian baru dapat dimanfaatkan secara baik jika di dalamnya terdapat pengairan yang baik. Hak manfaat yang menjadi tujuan wakaf tidak tercapai, jika transaksi wakaf tanah pertanian tersebut di-qiyas-kan pada jual beli, melalui qiyas jali. Sebab, pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak, bukan hak manfaat. Karena itulah transaksi wakaf di-qiyas-kan kepada transaksi sewa-menyewa, di mana tujuannya sama dengan wakaf, yaitu hak manfaat. Pengalihan hukum dari yang berdasarkan qiyas jali kepada hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi tersebut karena ada alasan yang kuat, yaitu tujuan kemaslahatan wakaf untuk memanfaatkan tanah pertanian.
Contoh lainnya ialah berdasarkan istihsan qiyasi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti sisa minuman burung gagak atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram diminum, karena sisa minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada dagingnya.
Sebagaimana diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan mulut binatang buas yang tidak langsung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang buas terdiri atas daging yang haram dimakan, sedangkan paruh burung buas merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau zat tanduk tidak najis. Ketika burung buas minum, daging dan air liurnya tidak secara langsung bertemu dengan air. Karena dipisahkan oleh paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk itu. Oleh karena itu, air sisa minuman burung buas tidak najis dan halal diminum.
Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk itu, yaitu kemaslahatan.[13]

2.      Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini disebut istihsan istitsna’i. Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut.
a.    Istihsan bian-Nashsh.
Istihsan bian-Nashsh ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an maupun sunnah. Contoh istihsan istitsna’i berdasarkan nash Al-Qur’an ialah berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang wafat, padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan hukum tersebut dikecualikan oleh Al-Quran antara lain surah an-Nisa’ (4) : 12:
مِنْۢبَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصِيْنَ بِهَا أَوْدَيْنٍ
Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya.
Contoh istitsna’i yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadis.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَصَائِمٌ فَأَ كَلَ أَوْشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah ra katanya, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah SWT sedang memberi makan dan minum kepadanya.”

b.   Istihsan bial-Ijma’.
Istihsan bial-Ijma’ ialah pengalihan hukum dari ketentuan umun kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’ (seseorang bertransaksi dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah, bersabda:
لاَتَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَ كَ
“Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.”
Berdasarkan hadis di atas, seharusnya transaksi tersebut batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna’ tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seseorang ulama pun. Sikap ulama tersebut dipandang sebagai ijma’, demi memelihara kebutuhan masyarakat, dan menghindarkan kesulitan yang akan timbul jika transaksi tersebut dilarang.[14]

c.    Istihsan bial-`Urf
Istihsan bial-`Urf ialah pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contoh istihsan bial-`urf ialah menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh adalah terlarang. Sebab, transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.

d.   Istihsan biad-Dharurah
Istihsan biad-Dharurah ialah suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau kolamyang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian pula dengan alat yang mengurasnya (timba atau mesin pompa air), ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam di pandang suci setelah dikuras.

e.    Istihsan bial-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan bial-Mashlahah al-Mursalahialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah pengampuan (curatele, mahjur `alaih), baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta (tasharruf) dari orang yang dibawah pengampuan tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya, dimana tujuan pengampuan itu sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukan untuk kebaikan, maka hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukumberlakunya wasiat adalah setelah dia wafat, tentu hal itu tidak mengganggu kepentingan orang yang berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam tasharruf orang yang dibawah pengampuan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.[15]

C.    DASAR HUKUM ISTIHSAN
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. antara lain:
1.    Dasarnya dalam Al-Qur’an:
اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَاُولَئِكَ هُمْ اُولُوااْلاَلْبَبِ  ﴿ الزمر: ١٨
Artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
[QS. Az-Zumar : 18]

وَجَهِدُوْا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَاجْتَبَكُمْ وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
﴿ الحج: ۷٨
Artinya:
“Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama) dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak menjadikan kesempitan bagimu dalam agama.” [QS. Al-Hajj : 78]


2.    Dasarnya dalam Hadis:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُدِيْنِكُمْ أَيْسَرُهُ وَخَيْرُالْعِبَادَةِ الْفِقْهُ  ﴿ رواه ابن عبدالبر
Artinya:
“Anas ra berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.’” {HR. Ibnu Abdul Barr}[16]

D.    KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Dari definisi istihsan dan penjelasan macamnya, maka jadi jelas bahwa istihsan itu pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah qiyas khafi yang menang atas qiyas jali lantaran faktor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tenteram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, diantara macam dalilnya adalah al-mashlahah, yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsan.
Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu hanya istidlal dengan qiyas khafi yang menang atas qiyas jali, atau ia itu ialah kemenangan qiyas atas qiyas lain yang melawaninya dengan dalil yang menuntut kemenangan ini, atau istidlal dengan mashlahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang shahih.[17]
1.    Ulama Hanafiyah
Abu Zahra berpendapat bahwa Abu Hanafiyah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dengan keterangan yang di tulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.

2.    Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu di anggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahra, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.

3.    Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul di sebutkan bahwa golongan Hanabilh mengakui adanya istihsan, sebagaimana pendapat Imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib.Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab syarh Al-Jam Al-Jawami' mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama' yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

4.    Ulama Syafi'iyah
Golongan Al-Syafi'i secara mashur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk mengunakannya dalam  istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi'i berkata "Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari'at."  Beliau juga berkata, "Segala urusan itu telah di atur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupai sehingga di bolehkan menggunakan qiyas, namun tidak di perbolehkan menggunakan istihsan."[18]

E.     RELEVANSI ISTIHSAN DI MASA KINI DAN MENDATANG
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan.
Di antara contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dari persoalan kehidupan akhir-akhir ini adalah:[19]
1.    Masalah zakat. Dalil syara’ yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh yang ada kebanyakan berbicara dalam kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali yang berkenan dengan jasa dan produksi. Kalau dalam menghadapi kehidupan ekonomi saat ini dan masa yang akan mendatang khususnya yang menyangkut masalah zakat hanya mengandalkan pendekatan lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama tentang zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian semakin langka, sedangkan pihak yang mengharapkan bantuan melalui penghimpunan dana sosial melalui zakat semakin banyak. Karena itu diperlukan upaya untuk mencari alternatif pendekatan lain untuk menyelesaikannya.
2.    Pelaksanaan ibadah haji dari tahun ke tahun semakin dirasakan semakin kompleks dan semakin sulit mengatasinya mengingat jamaah haji semakin banyak seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan teknologi di bidang transportasi yang memudahkan perjalanan ke tanah suci, sedangkan lokasi pelaksanaan ibadah haji tidak pernah mengalami perkembangan. Namun masalah ini harus dihadapi untuk memberikan solusi agar umat Islam dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan mudah, tenteram, dan aman. Kalau hanya mengandalkan pada ketentuan hukum fiqh dengan pendekatan lama dalam menghadapi masalah haji ini, tampaknya tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pendekatan alternatif seperti bentuk istihsan akan benyak gunanya.
3.    Transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk di ikuti. Dalam hal ini pun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.
4.    Bunga deposito bank. Para ulama tetap bersikukuh untuk mrngharamkan bunga deposito di bank meskipun mereka juga mengetahui bahwa dana tersebut digunakan untuk berinvestasi. Di antara langkah untuk menghadapi masalah ini adalah upaya untuk meng-qiyas-kan bunga deposito bank itu kepada mudharabah karena sama-sama menyerahkan modal dan menerima bagian dari hasil yang diperoleh. Dalam hal ini pun tampaknya perlu meninggalkan qiyas jali dan selanjutnya menggunakan qiyas alternatif yang bernama istihsan.[20]
                         
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa permasalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan mengingat semakin pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Kita tentu tidak bisa berpangku tangan atau bersikap semaunya dalam mencari solusi hukumnya, karena sikap demikian menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan hukum, meskipun agama tidak akan memberati manusia dalam beramal.[21]




BAB III
PENUTUP
                                      
A.    KESIMPULAN
Istihsan menurut ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas khafi (qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya. Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut istihsan. Demikian juga apabila hukum itu kulli dan pada diri mujtahid sudah terdapat dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyah (bagian) dari hukum kulli ini, dan memberi ketetapan kepada juz’iyah dengan hukum lain, maka menurut syara’ ini juga disebut istihsan.
Hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas, dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam bentuk kaidah qiyas lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat. Terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
Secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas dua macam, yaitu istihsan qiyasi dan istihsan istitsna’i. Istihsan qiyasi ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Dan istihsan istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini dibagi kepada beberapa macam.
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat 18 dan surah Al-Hajj ayat 78. Sedangkan dalam hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr. Istihsan pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua macam tersebut dalilnya adalah qiyas khafi yang menang atas qiyas jali lantaran faktor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tenteram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, di antara macam dalilnya adalah al-mashlahah, yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsan.
Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dan golongan Al-Syafi'i secara mashur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk mengunakannya dalam  istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Karena permasalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan mengingat semakin pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia.

B.     SARAN
Pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan kompleks. Permasalahan tersebut harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Jika hanya mengandalkan pendekatan dengan metode lama, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan dengan tepat. Sehingga mujtahid harus mampu menemukan pendekatan alternatif, seperti kecenderungan untuk menggunakan istihsan harus semakin kuat dengan adanya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jiilid 2. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Uman, Chaerul, dkk. Ushul Fiqih 1. Bandung: CV Pustaka S


[1] Chaerul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 117.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jiilid 2, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 347.
[3] Ibid. hlm. 348.
[4] Ibid. hlm. 348-349.
[5] Ibid. hlm. 349-350.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 117.
[7] Amir, Ushul Fiqh Jiilid 2, hlm. 351.
[8] Ibid. hlm. 351-352.
[9] Ibid. hlm. 352-353.
[10] Ibid. hlm. 353-354.
[11] Ibid. hlm. 354-355.
[12] Ibid. hlm. 356.
[13] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), 198-200.
[14] Ibid. hlm. 200-201.
[15] Ibid. hlm. 202-203.                                                                                                                                          
[16] Uman, Ushul Fiqih 1, hlm. 123-124.
[17] Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, hlm. 121.
[18] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 112.
[19] Amir, Ushul Fiqh Jiilid 2, hlm. 363.
[20] Ibid. hlm. 364-365.
[21] Ibid. hlm. 365-366.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar