Minggu, 27 Mei 2018

AL-HADITS SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM



AL-HADITS SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
yang di ampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Disusun Oleh :
Alfi nur lailatul homisah
Atikah muksin
Atiqah rahmaniyah
Dewi zulvia afqoni
Ela fantika yuniar
Fairus syavia

 

 
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas dari dosen kami, Bapak Moch. Cholid Wardi selaku pengampu materi ushul fiqih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.           








Pamekasan, 10 Maret 2018
                                                               



                                                                                               

 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………...…       i
KATA PENGANTAR ………………………………………………...............         ii       
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...       iii       
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….....       1
1.1              Latar belakang ……………………………………………………..       1
1.2              Rumusan masalah …………………………………………..............      1
1.3              Tujuan penulsan …………………………………………………….      2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………     3
A.                Pengertian Al-Sunnah atau Al-Hadits………………………..….….      3
B.                 Perbedaan Sunnah dan Hadits………………………………………      4
C.                 Perbuatan Nabi………………………………………………………     4
D.                Munkirus Sunnah……………………………………………………      5
E.                 Fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an………………….     7
F.                  Macam-macam hadits di lihat dari bentuk, perawi, dan shahih tidaknya 16
G.                Kehujjahan sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad……     19

BAB III PENUTUP …………………………………………………………….     22
3.1       Kesimpulan ………………………………………………………….     22
3.2       Saran ………………………………………………………………...     23

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..     24






                                                                   


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Sunnah atau hadits merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan pioritas antara Al-qur’an dan Hadits. Oleh karenanya dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu harus di ikuti dan di berikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan Al-qur’an.
Sunnah atau hadits bermakna jalan yang ditempuh, dan juga digunakan untuk menyatakan teladan yang baik. Pada zaman arab pra-islam orang arab menggunakan kata “Hadits” untuk menyebut praktek kuno dan berlaku terus-menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, dulu suku arab pra-islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari indentitas mereka.

1.2              RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian al-Sunnah atau al-Hadits.
B.     Perbedaan Sunnah dengan Hadits.
C.     Perbuatan Nabi
D.    Munkirus  Sunnah
E.     Fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an.
F.      Macam-macam hadits di lihat dari bentuk, perawi, dan shahih tidaknya.
G.    Kehujjahan sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad.

1
 
1.3              TUJUAN PENULISAN
A.    Untuk mengetahui apa itu al-hadits atau sunnah
B.     Mengetahui perbedaan Sunnah dengan Hadits
C.     Mengetahui perbuatan Nabi
D.    Untuk mengetahui munkirus Sunnah
E.     Agar mengetahui fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an
F.      Mengetahui macam hadits dari bentuk, perawi dan shahih tidaknya.
G.    Mengetahui Kehujjahan sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Hadits atau Sunnah
Al-sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang di jalani atau di biasakan, baik hidup itu baik ataupun buruk, terpuji ataupun tercela.[1] Pengertian ini sejalan dengan bunyi hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي اْلِاسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ {بكحرمسلم}
Artinya: “Barang siapa membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang lain yang mengamalkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Pengertian sunnah menurut istilah antara lain di kemukakan oleh ahli hadits, ahli ushul fiqh dan para ahli fiqh.
a.       Sunnah menurut para ahli hadits ialah sesuatu yang di dapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat budi pekerti, biografi baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.
b.      Sunnah menurut para ahli pokok agama ialah sesuatu yang di ambil dari Nabi SAW yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau. Ulama Ushul al-Fiqh mengatakan sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW selain Al-Qur’an baik itu ucapan, perbuatan, maupun taqrir yang layak di jadikan dalil bagi hukum syara’.
c.       Sunnah menurut para ahli fiqh ialah suatu hokum yang jelas berasal dari Nabi SAW yang tidak termasuk fardhu ataupun wajib.[3]


 
B.     Perbedaan Sunnah dengan Hadits
Mayoritas ulama hadits memandang bahwa antara Hadits dengan Sunnah tidak ada perbedaan, hanya saja berbeda pada pelafalannya tetapi maknanya sama. Sehingga  Hadits dan Sunnah sering di gunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW. pernyataan senada juga di lontarkan oleh Ahmad ibn Hanbal yang mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat lima sunnah.
Subhi al-Shalih juga memiliki pandangan yang sama dengan beberapa ulama yang telah di sebutkan di atas, bahwa sunnah pada dasarnya sama dengan hadits. Menurutnya Sunnah adalah jalan keagamaan yang di tempuh oleh Nabi saw, yang tercermin dalam perilakunya. Sehingga hadits lebih umum sifatnya dari pada Sunnah, dimana hadits mencakup sabda dan perbuatan Nabi, sedangkan sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau. Karena perbedaan ini, maka ulama hadits kadangkala mengatakan hadits ini menyimpang dari qiyas, sunnah dan ijma’. [4]

C.    Perbuatan nabi (أفعال النبي)
Perbuatan nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini dapat di lihat dari kedudukan nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan allah. Perbuatan nabi di bagi menjadi  3 macam yaitu :
1.            Perbuatan nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah di kerjakan oleh manusia pada umumnya seperti, cara makan dan minum, berobat, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk di ikuti.
2.            perbuatan nabi yang hanya wajib di lakukan oleh nabi tetapi tidak wajib bagi  umatnya seperti nabi wajib shalat dhuha, tahajjud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib.
3.            perbuatan nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-quran seperti tentang tata cara sholat, puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan itu berdampak kepada pebuatan hukum bukan hanya bagi nabi tetapi juga bagi umatnya.[5]
D.    Munkirus Sunnah
Pada zaman nabi (632 M), umat islam sepakat bahwa Sunnah merupakah salah satu sumber ajaran islam di samping al quran. Tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman nabi ada dari kalangan umat islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Bahkan pada masa al- khulafa’ al- rasyidin (632-661 M) dan bani umayyah (661-750 M), belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa abbasiyah (750-1258 M), muncul  secara jelas kelompok kecil umat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka itu kemudian di kenal sebagai orang-orang berpaham inkar al-sunnah.
Sesudah zaman As-Syafi’i sampai saat ini, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, mereka yang berpaham inkar al-sunnah, baik yang mereka ingkari itu seluruh Sunnah maupun sebagian saja, muncul di berbagai tempat, misalnya di mesir, malaysia (Kassim Ahmad, mantan Ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia) dan di Indonesia  (antara lain Muhammad Irham Sutanto). Cukup banyak argumen yang telah di kemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman as-syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari beberapa argument yang banyak itu, ada yang berupa argument naqli dan ada yang berupa argument non-naqli.
1.    Argument Naqli
Cukup banyak argumen naqli yang mereka ajukan namun yang terpenting ialah sebagai berikut:
a.       Al-quran surat An-Nahl : 89 berbunyi:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اْلْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan sesuatu“(QS. An-Nahl : 89).
b.      Al-quran surat Al-An’am: 38 berbunyi:
مَا فَرَّطْنَا فِي اْلْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ
Artinya: “Tiadalah kami alpakan sessuatu pun di dalam al-kitab
                             Menurut para pengingkar Sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa al-quran telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. pernyataan di atas dapat di pahami bahwa para pengingkar Sunnah yang mengajukan argument itu adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-quran kepada umatnya. Nabi Muhammad hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya.
2.      Argumen Non-Naqli
Argumen non-naqli  yang di ajukan oleh para pengingkar Sunnah, diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.         Al-quran di wahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad (melalui malaikat jibril) dalam Bahasa arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan Bahasa arab mampu memahami al-quran secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis nabi. Dengan demikian hadis nabi tidak di perlukan untuk memahami petunjuk al-quran.
b.         Dalam sejarah, umat islam mengalami kemunduran. Umat islam mundur karena umat islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat islam berpegang kepada hadis nabi. Jadi menurut para pengingkar Sunnah, hadis nabi merupakan sumbr kemunduran umat islam agar umat islam maju, maka umat islam harus meninggalkan hadis nabi.
c.         Menurut doktor Taufiq shidqi, tiada satu pun hadis nabi  yang di catat pada zaman nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.[6]
E.     Fungsi dan Kedudukan Al-Hadits Terhadap Al-Qur’an
1.      Fungsi al-Hadits
Dalam Al-Qur’an telah di jelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunnah. Demikian fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat an-Nahl (16):64:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   ÇÏÍÈ  
Artinya: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu”.(Q.S An-Nahl :64).[7]
Dengan demikian,bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani  dalam hubungan dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.      Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’qid dan takrir dalam hal ini sunnah hanya seperti mengulangi apa yang disebut dalam Al-Qur’an. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) :110.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 …. ÇÊÊÉÈ  
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
2.      Memberi penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
a.     Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
Misal menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an seperti kata “shalat” yang masih samar. Kemudian Nabi melakukan serangkain perbuatan yang terdiri dai ucapan, dn perbuatan secara jelas yang di mulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda: “Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat”.
b.      Merinci apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an secara garis besar.
Umpama tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar di sebutkan dalam surat An-Nisa’ (4):103.
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ  
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa’ 4:103).
c.       Membatasi apa-apa yang ada dalam A-Qur’an yang disebutkan secara umum.
Umpamanya hak kewarisananak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa’ (4):11.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#  ÇÊÊÈ  
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa’ 4:11).

d.      Memperluas maksud dari sesuatu dalam Al-Qur’an
Umpama firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa’ (4):23.
br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# ÇËÌÈ….  
Artinya:“….Dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau” (QS. An-Nisa’ 4:23).
3.            Menetapkan suatu hukum dalam sunah yang secara jelas tidaknya terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi sunah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.[8]
menerangkan atau menjelaskan dalil-dalil Al-Qur’an.  Hadits dalam fungsinya yang kedua adalah sebagai bayan atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan Al-Qur’an. Ulama ahli atsar menetapkan bahwa keterangan atau penjelasan sunnah terhadap Al-Qur’an ada beberapa macam yaitu:[9]
a.      Bayan Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tafshil di sisni adalah bahwa Al-Sunnah itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa. Dalam Al-Qur’an ada perintah melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat dan lain sebagainya.
Namun teknik operasional dari kewajiban tersebut tidak di jumpai di dalam Al-Qur’an, ,melainkan teknik tersebut di jelaskan di dalam Al-Sunnah. Salah satu contoh adalah perintah shalat yaitu “dirikanlah shalat (aqimu al-shalah)”. Ulama ahli ushul menetapkan bahwa dengan perintah dalam ayat tersebut, shalat hukumnya wajib. Sedangkan mengenai bilangan rakaat dan cara mengerjakannya di jelaskan dalam hadits :
صَلُّوْا كَمَا رَ أَ يْتُمُوْ نِيْ اُصَلِّيْ .
Shalatlah kamu sebagai mana kamu melihat aku mengerjakan shalat”.
b.      Bayan Takhsish
Perbedan bayan tafshil dengan  bayan takhsish  yaitu kalau bayan tafshil sunnah berfungsi menjelaskan mentafshilkan menta’yinkan (menyatakan) Al-Qur’an, dan kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bayan takhsih di samping Al-Sunnah sebagai  bayan,  juga antara Al-Qur’an dan Sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan.
Contoh Sunnah yang mentakhsis Al-Qur’an :
1.      Dalam Al-Qur’an di katakan bahwa setiap orang di halalkan menikahi wanita bahkan juga boleh berpoligami. Tetapi dalam hadits mengatakan :
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ اْ  لمَرْ أَةِ وَعمَّتِهَا وَلَابَيْنَ اْلمَرْ اَ ةِ وَخَا لَتِهَا {متفق عليه}
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya”. (HR. Bukhari-Muslim)
c.       Bayan Ta’yin
Bahwa Al-Sunnah berfungsi menetukan mana yang di maksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin di maksudkan oleh Al-Qur’an.  Sebagai contoh di dalam Al-Qur’an bahwa perempuan –perempuan yang di cerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ dalam ayat berbunyi :
وَاْ لمُطَلَّفَتُ يَتَرَ بَّصْنَ بِاَ نْفُسِهِنَّ ثَلاَ ثَةَ قُرُوْءٍ.
Ini mempunyai arti haid dan suci. Oleh karenanya apakah yang di maksud ayat tersebut iddah perempuan yang di talak tiga kali haid atau tiga kali suci, tidak jelas. Hal itu dapat di jelaskan lewat hadits yang kedudukannya sebagai ta’yin  atau penentu dari dua masalah.
Untuk mengetahui dan menguatkan pendapat tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
·         Iddah itu di ketahui dengan berpisahnya rahimdari kehamilan. Yang demikian tidak dapat di ketahui kecuali dengan adanya haid.
·         Kebiasaan Al-Qur’an tidsk pernah mengatakan atu menyebutkan sesuatu dengan kalimat yang di anggap tidak sopan walaupun yang di maksud ayat tersebut adalah haid.
·         Hadits menyebutka tentang adanya iddah perepuan yang di talak itu dengan tiga kali haid.
Dengan demikian jelaslah bahwa walaupun lafal quru’ dalam Al-Qur’an adalah lafal yang mempunyai arti lebih dari satu pegetian, tapi yang di maksud adalah haid bukan lain dari itu.
Contoh lain dari bayan ta’yin adalah mengenai taqyid  pada ayat Al-Qur’an yang muthlaq. Misalnya pada ayat yang berbunyi:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#  ÇÌÈ  
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan seterusnya. (QS. Al-Maidah 5:3).
d.      Bayan nasakh
Al-Sunnah juga berfungsi menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang di mansukh (di hapus). Jumhur ulama berpendapat, nasakh kitab dengan kitab atau ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, khabar mutawatir dengan khabar mutawatir yaitu boleh. Alasannya khabara mutawatir memfaedahkan muthlaq sedangkan khabar ahad memfaedahkan dzanni. Yang qath’i  tidak dapat di gugurkan atau di hapus oleh yang dzanni.
Imam Syafi’i tidak sependapat dengan jumhur dalam arti ia menolak paham bahwa nasakh kitab dengan sunnah itu bole. Imam Syafi’I mengatakan sesungguhnya nasakh kitab itu hanya dengan kitab, dan sunnah tidak dapat menasakh karena sunnah megikuti ketentuan yang terdapat di dalam kitab. Karena itu tidak ada nasakh hadits terhadap Al-Qur’an.[10]
2.    Kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an
a.             Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum islam di sandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran jika banyak sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik dan lainnya.
b.             Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah SWT surat An-Nahl ayat 44:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR 
öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S An-Nhl:44).
Di akui bahwa sebagian umat islam tidak mau menerima Sunnah padahal dari mereka mengetahui bahwa shalat dzuhur itu empa rakaat, magrib tiga rakaat dan sebagainya jika bukan dari Sunnah.
Maka jelaslah bahwa Sunnah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an.
c.              Sunnah sebagai musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah tidak di ragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam Al-Qur’an, misalnya di wajibkannya zakat fitrah, di sunnahkan aqiqah dan lainnya.[11]
Jumhur ulama menyatakan bahwa al-sunnah menempati urutan yang kedua setelah al-Qur’an. Untuk hal ini suyuthi dan al-Qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Di antara argumentasi itu adalah sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an bersifat qath’i al wurud, sedangkan al-sunnah bersifat zhanni al-wurud. Karena itu yang qath’i harus di dahulukan daripada yang dzanni.
b.      Al-Sunnah berfungsi sebagai penjabaran al-Qur’an. Ini harus di artikan bahwa yang yang menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang di jelaskan.
c.       Beberapa hadits dan atshar yang menjelaskan urutan dan kedudukan al-Sunnah setelah al-Qur’an. Di antaranya dialog rasulullah dengan mu’az bin Jabal yang akan di utus ke negeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara”? Mu’az menjawab, “Dengan kitab Allah”. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuannya dalam sunnah maka dengan berijtihad”.
d.      Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta Allah SWT, sedang hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusannya.[12]
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyatakan bahwa kedudukan al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran islam:    
Surat al-Nisa’ ayat 59 menyatakan:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs?
Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4
 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,taatilh Allah dan taatilah Rasul-(nya), dan Ulil amri di antara kamu.”(Q.S al-Nisa’:59)
Surat yang sama yaitu ayat 80 berbunyi:
`¨B ÆìÏÜムtAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ 
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S al-Nisa’: 80).
Dalam hadits Nabi di tegaskan:
تَرَكْتُ فيْكُمْ اَ مْرَ يْنِ مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضَلُّوْا اَ بَدً ا كِتاَ بَ اللهِ وَ
 سُنَّةَ رَسُوْ لِهِ {رواه ا بو داود}
Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atu pusaka selama kalian berpegang kapada keduanya, kalian tidak akan tersesat, Kitabullah (Qur’an) dabn Sunnah Rasul-Nya”. (HR Abu Daud).[13]


F.     Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuk, Perawi dan Shahih Tidaknya
1.         Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuknya
Sunnah menurut pengertian ahli ushul terbagi menjadin tiga macam:
Pertama, sunnah qauliyah (السنةالقولية) yaitu ucapan nabi yang di dengar oleh sahabat beliau dan di sampaikan kepada orang lain. Umpanya sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi bersabda, “Barang siapa yang tidak sholat karena ia tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan sholat itu ketika ia telah ingat.”
Kedua, sunnah fi’liyah (السنةالفعلية) yaitu perbuatan yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang di lihat atau di ketahui oleh sahabat, kemudian di sampaikan kepada orang lain dengan ucapannya. Umpama sahabat beerkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW melakukan sholat sunat dua raka’at sesudah sholat dzuhur.”
Ketiga, sunnah taqriyah  (السنةالتقريرية) yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang di lakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak di tanggapi atau di cegah oleh nabi. Diamnya Nabi itu di sampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dhab di depan Nabi. Nabi mengetahui apa yang di makan oleh sahabatnya itu, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Kisah tersebut di sampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapannya, “Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu”.[14]
2.         Pembagian As-Sunnah dari perawinya
Di tinjau dari banyaknya perawi (orang yang meriwayatkan), As-Sunnah yaitu:
1.      As-Sunnah atau Al-Hadits Mutawatir
Khobar mutawattir adalah khobar yang didsarkan kepada pancaindera yang diberitakan oleh segolongan manusia yang berjumlah banyak yang mustahil menurut adat, mereka bersatu lebih dahulu untuk mengkhobarkan berita itu dengan cara berdusta.
Dengan demikian maka disebut hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung banyaknya, tingkatan perawi tersebut tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong. Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, ada yang lafdziyah adapula yang maknawiyah.

                                    Di antara hadits mutawatir yang lafdziyah adalah:
قا ل ر سو لا الله ص ا لله عليه و سلم : لا تكتبوا عني غير ا لقر اّ ن ومن كتب عني
غير ا لقر اّ ن فليمخوه من كذ ب علينا متعمدا فليتبواْ مقعده من ا لنا ر
Rasulullah SAW. bersabda:” janganlah kamu menulis dari padaku selain Al-Qur’an, siapa yang menulis dari pada ku selain Al-Qur’an maka hapuskanlah, barang siapa berdusta atas nama diriku, tunggulah tempatnya di neraka”.
2.      Hadits Masyhur
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan lapisan kedua (tabiin) setelah itu tersebr oleh golongan banyak. Ada juga yang mendefinisikan bahwa hadits masyur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak sampai kederajat hadits mutawatir.
3.      Hadits Ahad
Hadits ini diriwayatkan oleh orang perorangan atau beberapa orang, mulai lapisan pertama sampai lapisan terakhir, tetapi tidak cukup pada tanda-tanda yang dapat menjadikannya hadits masyur apalagi hadits mutawattir.[15]

3.         Pembagian As-Sunah di lihat dari Sahih Tidaknya
a.       Hadits Sahih
Hadits sahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dikutip oleh orang yang adil dan cermat sampai berakhir pada Rosulullah SAW. atau sahabat atau tabiin, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaanya.
b.    Hadits Hasan
Hadits hasan adalah  hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun pada perawinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna.
Hadits hasan ada yang Lidzatihi ada pula yang Lighoirihi:
·         Hadits lidzatihi adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan.
·         Hadits lighoirihi adalah hadits dha’if yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan fasik yang mempunyai mutabi’ dan syahid.[16]
c.       Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak di dapati di dalamnya syarat-syarat sahih maupun hadits hasan. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang sedangkan di dalamya ada rawi yang pernah berdusta, jelek hafalannya dan terputus sanadnya.
Menurut Muhammad Nashruddin al-Baniy, bahwa hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Nabith bin Amar. Dia tidak dikenal oleh para ahli hadits melainkan hanya riwayat ini.
Nabi bersabda :
و لد الز نا لن يد خل ا لجنة {رواه ا لطبر ا ني}
            Anak orang yang berzina tidak akan masuk syurga”.
Hadits ini dha’if sebab dalam sanadnya terdapat rawi Ibrahim bin Muhajir, ia di ketahui sangat lemah hafalannya.[17]
G.    Kehujjahan Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab terhadap Hadits Ahad
Para ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu hadits. Kebanyakan ulama hadits menyepakati bahwa di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawattir dan ahad, sedangkan hadits ahad itu terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu masyhur, aziz dan gharib. Namun menurut Hanafiyah, hadits itu terbagi tiga bagian yaitu:mutawattir, masyhur dan ahad.
Semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawattir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rasulullah SAW. Oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawattir.[18]
1.      Kehujjahan Hadits Ahad
Para ulama telah sepakat tentang kehujjahan hadits ahad jika benar dan yakin dari Rasulullah SAW, dan telah di sepakati oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya.
            Pernyataan di atas telah di sepakati oleh para ulama dari semua golongan mu’tazilah. Mereka telah mengingkari berbagai ketetapan yang berkembang dan sesuai dengan Al-Qur’an. Alasan golongan yang tidak menerima hadits ahad karena, menurut mereka para sahabat juga tidak menerimanya. Namun pada kenyataannya para ulama menggunakan hadits ahad dalam menetapkan berbagai hukum.[19]
2.      Persyaratan Hadits Ahad yang Di Sepakati Para Imam Madzhab
·         Perawi hadits sunnah mencapai usia balig dan berakal.
·         Perawi harus muslim, karena bila tidak muslim, tidak bisa di percay hadits tersebut benar-benar dari Rasulullah.
·         Perawi harus adil, yakni orang yang senantiasa bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela.
·         Dan harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya dengan mendengar dari Rasulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghapalnya.[20]
Persyaratan di atas di sepakati oleh para imam madzhab namun di antara para imam madzhab ada yang memberikan persyaratan tambahan lainnya yaitu:
a.       Madzhab Imam Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hadits ahad dapat di terima apabila memenuhi tiga syarat lain selain syarat yang di atas:
·           Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu. Berdasarkan hal ini, ulama Hanafiyah tidak membasuh bejana yang di jilat anjing sebanyak tujuh kali seperti yang di tunjukkan oleh hadits Abu Hurairah :
طَهُوْرُاِنَاءِأَحَدِ كُمْ أِذَا وَلَغَ فِيْهِ ا لْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلُ بِسَبْعِ مَرًّا تٍ أَوْلاَ هُنَّ
 بِالتُّرَابِ {ابو هريراه}
Artinya: “Sucinya wadah salah satu di antara kamu jika di jilat anjing dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah” (Abu. Hurairah).
Mereka membasuhnya sebanyak tiga kali sebab Abu Hurairah sendiri hanya membasuhnya tiga kali, sedangkan jumhur tetap membasuh sebanyak tujuh kali.
b.      Madzhab Imam Maliki
Maliki menerima hadits ahad selama tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah. Karena Imam Malik, amalan ulama Madinah merupakan riwayat dari Rasulullah SAW. berdasarkan hal itu, mereka tidak menerima khiyar majlis, karena bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di madinah.
c.       Madzhab Imam Syafi’i
Madzhab As-Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan empat syarat :
·         Periwayat tsiqat dn terkenal shidiq
·         Perawinya cerdik dan memahami isi hadits yang di riwayatkannya.
·         Periwayatannya dengan riwayat bi al-lafzi bukan riwayat bi al-makna.
·         Periwayatnya tidak menyalahi hadits ahl al-Ilmi.
Persyaratan Asy-Syafi’i sebenarnya hanya merupakan persyaratan kesahihan suatu hadits pada umumnya, yaitu sahih sanad muttasil. Oleh sebab itu Asy-Syafi’i menerima hadits ahad, apabila sanadnya sahih dan bersambung tanpa mensyaratkan syarat lain, seperti ulama di atas.[21]




BAB III
PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Al-Sunnah atau Al-Hadits merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an. Al-sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang di jalani atau di biasakan, baik hidup itu baik ataupun buruk, terpuji ataupun tercela.
Pengertian sunnah menurut istilah antara lain di kemukakan oleh ahli hadits, ahli ushul fiqh dan para ahli fiqh.
a.         Sunnah menurut para ahli.
b.         Sunnah menurut para ahli pokok agama
Fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. sunnah disebut sebagai bayani  dalam hubungan dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
a.         Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.
b.         Memberi penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
c.         Menetapkan suatu hukum dalam sunah.
Perbedaan Sunnah dengan Hadits
Mayoritas ulama hadits memandang bahwa antara Hadits dengan Sunnah tidak ada perbedaan, hanya saja berbeda pada pelafalannya tetapi maknanya sama. Sehingga  Hadits dan Sunnah sering di gunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW. pernyataan senada juga di lontarkan oleh Ahmad ibn Hanbal yang mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat lima sunnah.
Perbuatan nabi ada 3 :
·         Perbuatan jibliyah, seperti yang di lakukan manusia.
·         Perbuatan khusus.
·         Perbuatan nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-quran.
Munkirus Sunnah ada dua argument :
·         argument naqli
·         argument non-naqli
Kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an
·         Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
·         Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
·         Sunnah sebagai musyar’i (pembuat syari’at)
Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuk, Perawi dan Shahih Tidaknya
·         Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuknya
(Sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah dan sunnah taqriyah)
·         Pembagian As-Sunnah dari perawinya
(Hadits Mutawattir, Hadits Ahad, Hadits Masyhur)
·         Pembagian As-Sunah di lihat dari Sahih Tidaknya
(Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dha’if )
Kehujjahan Sunnah dan Pandangan Ulama Madzhab terhadap Hadits Ahad yaitu para ulama telah sepakat tentang kehujjahan hadits ahad jika benar dan yakin dari Rasulullah SAW, dan telah di sepakati oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya. Di antara para imam madzhab lainnya yaitu:
a.         Madzhab Imam Hanafi
b.         Madzhab Imam Maliki
c.         Madzhab Imam Syafi’i

3.2                 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini maka di harapkan agar kita sebagai umat islam wajib mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang di bawa Rasulullah SAW, karena  sumber ajaran agama islam merupakan panutan bagi kita agar senantiasa dapat melaksanakan semua perintah Allah serta menjauhi larangannya.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jilid1. Jakarta: Kencana Prenamedia, 2008.
Solahudin, Agus dan Suyadi Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Amiruddin, zen. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009
Ichwan, Mohammad Nor. Studi Ilmu Hadits. Semarang: Sagha Grafika, 2007.
Amiruddin dan Fathurrohman. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung: PT Refika Aditama, 2016.
Sabri, Fahruddin Ali. Ushul Fiqih. Surabaya : Salsabila Putera Pratama, 2013.

 


[1]Rahmat, Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 59.
[2] Ibid. hlm. 59-60.
[3] Abuddin, Nata. Al-Qur’an dan Hadits. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 188.
[4] Mohammad Nor, Ichwan. Studi Ilmu Hadits. (Semarang : Sagha Grafika, 2007), hlm 11.

[5] Amiruddin dan Fathurrohman. Pengantar Ilmu Fiqh. (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), hlm 24.
[6] Fahruddin Ali, Sabri. Ushul Fiqih. (Surabaya : Salsabila Putera Pratama, 2013, hlm 79-78.
[7] Amir, Syarifuddin. Ushul Fiqh, jilid1. (Jakarta: Kencana Prenamedia, 2008), 242.

[8] Ibid. hlm. 242-245.
[9] Nata, Al-Qur’an dan Hadits , hlm. 209.
[10] Ibid. hlm. 210-215.
[11] Rahmat, Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 65-67.

[12] Nata, Al-Qur’an dan Hadits, hlm. 203-204.
[13] Ibid. hlm. 204-205.
[14] Syarifuddin. Ushul Fiqh, jilid 1, hlm. 229-230.
[15] Zen, Amiruddin. Ushul Fiqih.( Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 79- 81.
[16] Agus, Solahudin dan Agus, Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 141-147
[17] Amiruddin. Ushul Fiqih, hlm. 82- 83.
[18] Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 60
[19] Ibid. hlm. 61.
[20] Ibid, hlm. 62.
[21] Ibid, hlm. 62-64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar