AL-HADITS
SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
yang
di ampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Disusun
Oleh :
Alfi
nur lailatul homisah
Atikah
muksin
Atiqah
rahmaniyah
Dewi
zulvia afqoni
Ela
fantika yuniar
Fairus
syavia
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami
berhasil menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini di susun untuk
memenuhi tugas dari dosen kami, Bapak Moch. Cholid Wardi selaku pengampu materi
ushul fiqih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir
kata kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Pamekasan, 10 Maret 2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………...… i
KATA
PENGANTAR ………………………………………………............... ii
DAFTAR
ISI …………………………………………………………………...
iii
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………..... 1
1.1
Latar belakang
…………………………………………………….. 1
1.2
Rumusan masalah
………………………………………….............. 1
1.3
Tujuan penulsan
……………………………………………………. 2
BAB II
PEMBAHASAN ……………………………………………………… 3
A.
Pengertian Al-Sunnah atau
Al-Hadits………………………..….…. 3
B.
Perbedaan Sunnah dan
Hadits……………………………………… 4
C.
Perbuatan
Nabi……………………………………………………… 4
D.
Munkirus
Sunnah…………………………………………………… 5
E.
Fungsi dan
kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an…………………. 7
F.
Macam-macam
hadits
di lihat dari bentuk, perawi, dan shahih tidaknya 16
G.
Kehujjahan
sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad…… 19
BAB III
PENUTUP ……………………………………………………………. 22
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………. 22
3.2 Saran ………………………………………………………………... 23
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………………………….. 24
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Sunnah
atau hadits merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid
harus melihat urutan pioritas antara Al-qur’an dan Hadits. Oleh karenanya dalam
upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh
menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an.
Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu harus di ikuti dan
di berikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan
Al-qur’an.
Sunnah
atau hadits bermakna jalan yang ditempuh, dan juga digunakan untuk menyatakan teladan
yang baik. Pada zaman arab pra-islam orang arab menggunakan kata “Hadits” untuk
menyebut praktek kuno dan berlaku terus-menerus dari masyarakat yang diwariskan
oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, dulu suku arab pra-islam memiliki
sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari indentitas mereka.
1.2
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
al-Sunnah atau al-Hadits.
B.
Perbedaan
Sunnah dengan Hadits.
C.
Perbuatan
Nabi
D.
Munkirus
Sunnah
E.
Fungsi
dan kedudukan hadits terhadap
Al-Qur’an.
F.
Macam-macam hadits di lihat dari bentuk,
perawi, dan shahih tidaknya.
G.
Kehujjahan
sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad.
1
|
1.3
TUJUAN
PENULISAN
A. Untuk
mengetahui apa itu al-hadits atau sunnah
B. Mengetahui
perbedaan Sunnah dengan Hadits
C. Mengetahui
perbuatan Nabi
D. Untuk
mengetahui munkirus Sunnah
E. Agar
mengetahui fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an
F.
Mengetahui macam hadits dari bentuk,
perawi dan shahih tidaknya.
G.
Mengetahui Kehujjahan
sunnah dan pandangan ulama terhadap hadits ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Hadits atau Sunnah
Al-sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang
di jalani atau di biasakan, baik hidup itu baik ataupun buruk, terpuji ataupun
tercela.[1]
Pengertian ini sejalan dengan bunyi hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ
فِي اْلِاسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهُ وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ
بَعْدِهِ {بكحرمسلم}
Artinya: “Barang siapa membiasakan sesuatu yang baik
di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang lain yang
mengamalkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).[2]
Pengertian sunnah menurut istilah antara lain di
kemukakan oleh ahli hadits, ahli ushul fiqh dan para ahli fiqh.
a.
Sunnah menurut para ahli hadits ialah sesuatu yang di dapatkan dari Nabi
SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat budi pekerti,
biografi baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.
b.
Sunnah menurut para ahli pokok agama ialah sesuatu yang di ambil dari
Nabi SAW yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau. Ulama
Ushul al-Fiqh mengatakan sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi
SAW selain Al-Qur’an baik itu ucapan, perbuatan, maupun taqrir yang layak di
jadikan dalil bagi hukum syara’.
c.
Sunnah menurut para ahli fiqh ialah suatu hokum yang jelas berasal dari
Nabi SAW yang tidak termasuk fardhu ataupun wajib.[3]
|
B.
Perbedaan Sunnah dengan Hadits
Mayoritas ulama hadits memandang bahwa antara
Hadits dengan Sunnah tidak ada perbedaan, hanya saja berbeda pada pelafalannya
tetapi maknanya sama. Sehingga Hadits
dan Sunnah sering di gunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu
yang di sandarkan kepada Nabi SAW. pernyataan senada juga di lontarkan oleh
Ahmad ibn Hanbal yang mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat lima sunnah.
Subhi al-Shalih juga memiliki pandangan yang sama
dengan beberapa ulama yang telah di sebutkan di atas, bahwa sunnah pada
dasarnya sama dengan hadits. Menurutnya Sunnah adalah jalan keagamaan yang di
tempuh oleh Nabi saw, yang tercermin dalam perilakunya. Sehingga hadits lebih
umum sifatnya dari pada Sunnah, dimana hadits mencakup sabda dan perbuatan
Nabi, sedangkan sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.
Karena perbedaan ini, maka ulama hadits kadangkala mengatakan hadits ini
menyimpang dari qiyas, sunnah dan ijma’. [4]
C.
Perbuatan nabi (أفعال النبي)
Perbuatan
nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini dapat di lihat dari kedudukan nabi
sebagai manusia biasa dan sebagai utusan allah. Perbuatan nabi di bagi
menjadi 3 macam yaitu :
1.
Perbuatan nabi yang merupakan kebiasaan
yang lumrah di kerjakan oleh manusia pada umumnya seperti, cara makan dan minum,
berobat, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur kumis.
Kesemuanya merupakan tabiat nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama
bahwa kebiasaan kemanusiaan nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu
sebagai sunah untuk di ikuti.
2.
perbuatan nabi yang hanya wajib di lakukan
oleh nabi tetapi tidak wajib bagi
umatnya seperti nabi wajib shalat dhuha, tahajjud, dan berqurban. Bagi
umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib.
3.
perbuatan nabi yang merupakan penjelasan hukum
yang terkandung dalam al-quran seperti tentang tata cara sholat, puasa, haji,
jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan itu berdampak kepada
pebuatan hukum bukan hanya bagi nabi tetapi juga bagi umatnya.[5]
D.
Munkirus Sunnah
Pada zaman nabi
(632 M), umat islam sepakat bahwa Sunnah merupakah salah satu sumber ajaran
islam di samping al quran. Tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada
zaman nabi ada dari kalangan umat islam yang menolak Sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran islam. Bahkan pada masa al- khulafa’ al- rasyidin (632-661 M) dan
bani umayyah (661-750 M), belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat
islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Barulah pada
awal masa abbasiyah (750-1258 M), muncul
secara jelas kelompok kecil umat islam yang menolak sunnah sebagai salah
satu sumber ajaran islam. Mereka itu kemudian di kenal sebagai orang-orang
berpaham inkar al-sunnah.
Sesudah zaman As-Syafi’i sampai saat ini, baik secara terselubung maupun
secara terang-terangan, mereka yang berpaham inkar al-sunnah, baik yang mereka
ingkari itu seluruh Sunnah maupun sebagian saja, muncul di berbagai tempat,
misalnya di mesir, malaysia
(Kassim Ahmad, mantan Ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia) dan di
Indonesia (antara lain Muhammad Irham
Sutanto). Cukup banyak argumen yang telah di kemukakan oleh mereka yang
berpaham inkar al sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman as-syafi’i
maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari beberapa argument yang banyak
itu, ada yang berupa argument naqli dan ada yang berupa argument non-naqli.
1.
Argument Naqli
Cukup banyak argumen naqli yang mereka ajukan namun
yang terpenting ialah sebagai berikut:
a.
Al-quran surat An-Nahl : 89 berbunyi:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ اْلْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk
menjelaskan sesuatu“(QS. An-Nahl : 89).
b.
Al-quran surat Al-An’am: 38 berbunyi:
مَا
فَرَّطْنَا فِي اْلْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ
Artinya: “Tiadalah kami alpakan sessuatu pun di dalam al-kitab“
Menurut
para pengingkar Sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa al-quran telah
mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. pernyataan di
atas dapat di pahami bahwa para pengingkar Sunnah yang mengajukan argument itu
adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama
sekali untuk menjelaskan Al-quran kepada umatnya. Nabi Muhammad hanyalah
bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para
pengikutnya.
2.
Argumen Non-Naqli
Argumen
non-naqli yang di ajukan oleh para
pengingkar Sunnah, diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.
Al-quran di wahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad
(melalui malaikat jibril) dalam Bahasa arab. Orang-orang yang memiliki
pengetahuan Bahasa arab mampu memahami al-quran secara langsung, tanpa bantuan
penjelasan dari hadis nabi. Dengan demikian hadis nabi tidak di perlukan untuk
memahami petunjuk al-quran.
b.
Dalam sejarah, umat islam mengalami kemunduran. Umat
islam mundur karena umat islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena
umat islam berpegang kepada hadis nabi. Jadi menurut para pengingkar Sunnah,
hadis nabi merupakan sumbr kemunduran umat islam agar umat islam maju, maka
umat islam harus meninggalkan hadis nabi.
c.
Menurut doktor Taufiq shidqi, tiada satu pun hadis
nabi yang di catat pada zaman nabi.
Pencatatan hadis terjadi setelah nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis
itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang
telah terjadi.[6]
E.
Fungsi dan Kedudukan Al-Hadits Terhadap Al-Qur’an
1. Fungsi
al-Hadits
Dalam Al-Qur’an telah di jelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an
adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan dari sunnah. Demikian fungsi sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat an-Nahl
(16):64:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù ÇÏÍÈ
Artinya:
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu”.(Q.S
An-Nahl :64).[7]
Dengan
demikian,bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka
sunnah disebut sebagai bayani dalam hubungan dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.
Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’qid
dan takrir dalam hal ini sunnah hanya seperti mengulangi apa yang
disebut dalam Al-Qur’an. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) :110.
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4
…. ÇÊÊÉÈ
Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
2.
Memberi
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
a.
Menjelaskan
arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
Misal
menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an seperti kata “shalat” yang masih samar.
Kemudian Nabi melakukan serangkain perbuatan yang terdiri dai ucapan, dn
perbuatan secara jelas yang di mulai dari takbiratul ihram dan berakhir
dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda: “Inilah shalat itu, kerjakanlah
shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat”.
b.
Merinci
apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an secara garis besar.
Umpama
tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar di sebutkan dalam
surat An-Nisa’ (4):103.
¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An-Nisa’ 4:103).
c.
Membatasi
apa-apa yang ada dalam A-Qur’an yang disebutkan secara umum.
Umpamanya
hak kewarisananak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa’ (4):11.
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ÇÊÊÈ
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa’ 4:11).
d.
Memperluas
maksud dari sesuatu dalam Al-Qur’an
Umpama
firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang
bersaudara dalam surat An-Nisa’ (4):23.
br&ur…
(#qãèyJôfs?
ú÷üt/
Èû÷ütG÷zW{$#
ÇËÌÈ….
Artinya:“….Dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau” (QS. An-Nisa’ 4:23).
3. Menetapkan suatu hukum dalam sunah yang
secara jelas tidaknya terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa
sunah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi
sunah dalam bentuk ini disebut “itsbat”
atau “insya”.[8]
menerangkan atau menjelaskan dalil-dalil
Al-Qur’an. Hadits dalam fungsinya yang
kedua adalah sebagai bayan atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan
Al-Qur’an. Ulama ahli atsar menetapkan bahwa keterangan atau penjelasan sunnah
terhadap Al-Qur’an ada beberapa macam yaitu:[9]
a.
Bayan
Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tafshil di
sisni adalah bahwa Al-Sunnah itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan
Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat
berlaku sepanjang masa. Dalam Al-Qur’an ada perintah melaksanakan sholat,
mengeluarkan zakat dan lain sebagainya.
Namun teknik operasional dari kewajiban
tersebut tidak di jumpai di dalam Al-Qur’an, ,melainkan teknik tersebut di
jelaskan di dalam Al-Sunnah. Salah satu contoh adalah perintah shalat yaitu
“dirikanlah shalat (aqimu al-shalah)”. Ulama ahli ushul menetapkan bahwa
dengan perintah dalam ayat tersebut, shalat hukumnya wajib. Sedangkan mengenai bilangan rakaat dan cara mengerjakannya di
jelaskan dalam hadits :
صَلُّوْا كَمَا رَ أَ
يْتُمُوْ نِيْ اُصَلِّيْ .
“Shalatlah kamu sebagai mana kamu melihat aku mengerjakan shalat”.
b.
Bayan Takhsish
Perbedan bayan tafshil dengan bayan takhsish yaitu kalau bayan tafshil sunnah
berfungsi menjelaskan mentafshilkan menta’yinkan (menyatakan) Al-Qur’an, dan
kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bayan takhsih di
samping Al-Sunnah sebagai bayan, juga antara Al-Qur’an dan Sunnah secara
lahiriah nampak ada pertentangan.
Contoh Sunnah yang mentakhsis Al-Qur’an :
1.
Dalam Al-Qur’an di katakan bahwa setiap orang di halalkan menikahi
wanita bahkan juga boleh berpoligami. Tetapi dalam hadits mengatakan :
لاَ
يُجْمَعُ بَيْنَ اْ لمَرْ أَةِ وَعمَّتِهَا
وَلَابَيْنَ اْلمَرْ اَ ةِ وَخَا لَتِهَا {متفق عليه}
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita dengan khalah
(saudari ibu)nya”. (HR. Bukhari-Muslim)
c.
Bayan Ta’yin
Bahwa Al-Sunnah berfungsi menetukan mana yang di maksud di antara
dua atau tiga perkara yang mungkin di maksudkan oleh Al-Qur’an. Sebagai contoh di dalam Al-Qur’an bahwa
perempuan –perempuan yang di cerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’.
Lafal quru’ dalam ayat berbunyi :
وَاْ
لمُطَلَّفَتُ يَتَرَ بَّصْنَ بِاَ نْفُسِهِنَّ ثَلاَ ثَةَ قُرُوْءٍ.
Ini mempunyai arti haid dan suci. Oleh karenanya apakah yang di
maksud ayat tersebut iddah perempuan yang di talak tiga kali haid atau tiga
kali suci, tidak jelas. Hal itu dapat di jelaskan lewat hadits yang
kedudukannya sebagai ta’yin atau
penentu dari dua masalah.
Untuk mengetahui dan menguatkan pendapat tersebut dapat di jelaskan
sebagai berikut:
·
Iddah itu di ketahui dengan berpisahnya rahimdari kehamilan. Yang
demikian tidak dapat di ketahui kecuali dengan adanya haid.
·
Kebiasaan Al-Qur’an tidsk pernah mengatakan atu menyebutkan sesuatu
dengan kalimat yang di anggap tidak sopan walaupun yang di maksud ayat tersebut
adalah haid.
·
Hadits menyebutka tentang adanya iddah perepuan yang di talak itu
dengan tiga kali haid.
Dengan demikian
jelaslah bahwa walaupun lafal quru’ dalam Al-Qur’an adalah lafal yang
mempunyai arti lebih dari satu pegetian, tapi yang di maksud adalah haid bukan
lain dari itu.
Contoh lain
dari bayan ta’yin adalah mengenai taqyid pada ayat Al-Qur’an yang muthlaq. Misalnya
pada ayat yang berbunyi:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# ÇÌÈ
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan seterusnya. (QS. Al-Maidah 5:3).
d.
Bayan
nasakh
Al-Sunnah
juga berfungsi menjelaskan mana ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang di
mansukh (di hapus). Jumhur ulama berpendapat, nasakh kitab dengan kitab atau
ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, khabar mutawatir dengan khabar mutawatir yaitu
boleh. Alasannya khabara mutawatir memfaedahkan muthlaq sedangkan khabar
ahad memfaedahkan dzanni. Yang qath’i tidak dapat di gugurkan atau di hapus oleh yang dzanni.
Imam Syafi’i tidak
sependapat dengan jumhur dalam arti ia menolak paham bahwa nasakh kitab dengan
sunnah itu bole. Imam Syafi’I mengatakan sesungguhnya nasakh kitab itu hanya
dengan kitab, dan sunnah tidak dapat menasakh karena sunnah megikuti ketentuan
yang terdapat di dalam kitab. Karena itu tidak ada nasakh hadits terhadap
Al-Qur’an.[10]
2. Kedudukan
hadits terhadap Al-Qur’an
a.
Sunnah
sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum islam di sandarkan kepada
dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran jika banyak sunnah yang
menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat, puasa, larangan musyrik dan
lainnya.
b.
Sunnah
sebagai penjelas Al-Qur’an
Sunnah adalah penjelas (bayanu
tasyri’) sesuai dengan firman Allah SWT surat An-Nahl ayat 44:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR
öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S An-Nhl:44).
Di akui bahwa sebagian
umat islam tidak mau menerima Sunnah padahal dari mereka mengetahui bahwa
shalat dzuhur itu empa rakaat, magrib tiga rakaat dan sebagainya jika bukan
dari Sunnah.
Maka jelaslah bahwa
Sunnah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung
dalam Al-Qur’an sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami
Al-Qur’an.
c.
Sunnah
sebagai musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah
tidak di ragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam
Al-Qur’an, misalnya di wajibkannya zakat fitrah, di sunnahkan aqiqah dan
lainnya.[11]
Jumhur ulama menyatakan bahwa al-sunnah menempati urutan
yang kedua setelah al-Qur’an. Untuk hal ini suyuthi dan al-Qasimi mengemukakan
argumentasi rasional dan argumentasi tekstual. Di antara argumentasi itu adalah
sebagai berikut:
a.
Al-Qur’an bersifat qath’i al
wurud, sedangkan al-sunnah bersifat zhanni al-wurud. Karena itu yang
qath’i harus di dahulukan daripada yang dzanni.
b.
Al-Sunnah berfungsi sebagai
penjabaran al-Qur’an. Ini harus di artikan bahwa yang yang menjelaskan
berkedudukan setingkat di bawah yang di jelaskan.
c.
Beberapa hadits dan atshar yang
menjelaskan urutan dan kedudukan al-Sunnah setelah al-Qur’an. Di antaranya
dialog rasulullah dengan mu’az bin Jabal yang akan di utus ke negeri Yaman
sebagai qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara”? Mu’az
menjawab, “Dengan kitab Allah”. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunnah
Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuannya dalam sunnah maka dengan
berijtihad”.
d.
Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang
pencipta Allah SWT, sedang hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka
selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya dari
pada yang berasal dari hamba utusannya.[12]
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyatakan
bahwa kedudukan al-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran
islam:
Surat
al-Nisa’ ayat 59 menyatakan:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs?
Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,taatilh Allah dan
taatilah Rasul-(nya), dan Ulil amri di antara kamu.”(Q.S al-Nisa’:59)
Surat yang sama yaitu ayat 80 berbunyi:
`¨B ÆìÏÜã tAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# (
`tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka
kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S al-Nisa’: 80).
Dalam hadits Nabi di tegaskan:
تَرَكْتُ فيْكُمْ اَ مْرَ يْنِ مَا اِنْ
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضَلُّوْا اَ بَدً ا كِتاَ بَ اللهِ وَ
سُنَّةَ رَسُوْ لِهِ {رواه
ا بو داود}
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atu pusaka
selama kalian berpegang kapada keduanya, kalian tidak akan tersesat, Kitabullah
(Qur’an) dabn Sunnah Rasul-Nya”. (HR Abu Daud).[13]
F. Macam-macam Al-Sunnah
Dilihat dari Bentuk, Perawi dan Shahih Tidaknya
1.
Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuknya
Sunnah menurut pengertian
ahli ushul terbagi menjadin tiga macam:
Pertama, sunnah qauliyah (السنةالقولية) yaitu
ucapan nabi yang di dengar oleh sahabat beliau dan di sampaikan kepada orang
lain. Umpanya sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi bersabda, “Barang
siapa yang tidak sholat karena ia tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia
mengerjakan sholat itu ketika ia telah ingat.”
Kedua, sunnah
fi’liyah (السنةالفعلية) yaitu
perbuatan yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang di lihat atau di ketahui
oleh sahabat, kemudian di sampaikan kepada orang lain dengan ucapannya. Umpama
sahabat beerkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW melakukan sholat sunat dua
raka’at sesudah sholat dzuhur.”
Ketiga, sunnah
taqriyah (السنةالتقريرية) yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang di lakukan di hadapan
atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak di tanggapi atau di cegah oleh nabi.
Diamnya Nabi itu di sampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain
dengan ucapannya. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dhab di depan
Nabi. Nabi mengetahui apa yang di makan oleh sahabatnya itu, tetapi Nabi tidak
melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Kisah tersebut di
sampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapannya, “Saya melihat
seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi
tidak melarang perbuatan itu”.[14]
2.
Pembagian As-Sunnah dari perawinya
Di tinjau dari banyaknya perawi (orang yang meriwayatkan), As-Sunnah
yaitu:
1.
As-Sunnah atau Al-Hadits Mutawatir
Khobar mutawattir adalah khobar yang didsarkan kepada pancaindera yang
diberitakan oleh segolongan manusia yang berjumlah banyak yang mustahil menurut
adat, mereka bersatu lebih dahulu untuk mengkhobarkan berita itu dengan cara
berdusta.
Dengan demikian maka disebut hadits mutawatir yaitu hadits yang
diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak
terhitung banyaknya, tingkatan perawi tersebut tidak mungkin bersepakat untuk
berbuat bohong. Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, ada yang lafdziyah adapula
yang maknawiyah.
Di antara
hadits mutawatir yang lafdziyah adalah:
قا ل ر سو لا الله ص ا لله عليه و سلم : لا تكتبوا عني غير ا لقر اّ ن ومن
كتب عني
غير ا لقر اّ ن فليمخوه من كذ ب علينا متعمدا فليتبواْ مقعده من ا لنا ر
Rasulullah
SAW. bersabda:” janganlah kamu menulis dari padaku selain Al-Qur’an, siapa yang
menulis dari pada ku selain Al-Qur’an maka hapuskanlah, barang siapa berdusta
atas nama diriku, tunggulah tempatnya di neraka”.
2.
Hadits Masyhur
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan
lapisan kedua (tabiin) setelah itu tersebr oleh golongan banyak. Ada juga yang
mendefinisikan bahwa hadits masyur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih tetapi tidak sampai kederajat hadits mutawatir.
3.
Hadits Ahad
Hadits ini diriwayatkan oleh orang perorangan atau beberapa orang, mulai
lapisan pertama sampai lapisan terakhir, tetapi tidak cukup pada tanda-tanda
yang dapat menjadikannya hadits masyur apalagi hadits mutawattir.[15]
3.
Pembagian As-Sunah di lihat dari Sahih Tidaknya
a.
Hadits Sahih
Hadits
sahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dikutip oleh orang yang adil dan
cermat sampai berakhir pada Rosulullah SAW. atau sahabat atau tabiin, bukan
hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam
penerimaanya.
b.
Hadits Hasan
Hadits
hasan adalah hadits yang diriwayatkan
dengan bersambung-sambung sanadnya, namun pada perawinya yang kurang mempunyai
derajat kepercayaan yang sempurna.
Hadits hasan ada yang Lidzatihi ada pula yang Lighoirihi:
·
Hadits lidzatihi adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits
hasan.
·
Hadits lighoirihi adalah hadits dha’if yang bukan dikarenakan rawinya
pelupa, banyak salah dan fasik yang mempunyai mutabi’ dan syahid.[16]
c.
Hadits Dha’if
Hadits
dha’if adalah hadits yang tidak di dapati di dalamnya syarat-syarat sahih
maupun hadits hasan. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang
sedangkan di dalamya ada rawi yang pernah berdusta, jelek hafalannya dan
terputus sanadnya.
Menurut
Muhammad Nashruddin al-Baniy, bahwa hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada
rawi yang bernama Nabith bin Amar. Dia tidak dikenal oleh para ahli hadits
melainkan hanya riwayat ini.
Nabi
bersabda :
و لد الز نا لن يد خل ا لجنة {رواه ا لطبر ا ني}
“Anak orang yang berzina tidak akan masuk syurga”.
Hadits ini
dha’if sebab dalam sanadnya terdapat rawi Ibrahim bin Muhajir, ia di ketahui
sangat lemah hafalannya.[17]
G. Kehujjahan
Sunnah dan Pandangan Ulama Mazhab terhadap Hadits Ahad
Para ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan sumber hukum,
namun mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu hadits. Kebanyakan
ulama hadits menyepakati bahwa di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi
dalam mutawattir dan ahad, sedangkan hadits ahad itu terbagi lagi menjadi tiga
bagian, yaitu masyhur, aziz dan gharib. Namun menurut Hanafiyah, hadits itu
terbagi tiga bagian yaitu:mutawattir, masyhur dan ahad.
Semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawattir,
namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang
di riwayatkan dari Rasulullah SAW. Oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun
tidak mencapai derajat mutawattir.[18]
1.
Kehujjahan Hadits Ahad
Para ulama telah sepakat tentang kehujjahan
hadits ahad jika benar dan yakin dari Rasulullah SAW, dan telah di sepakati
oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya.
Pernyataan
di atas telah di sepakati oleh para ulama dari semua golongan mu’tazilah.
Mereka telah mengingkari berbagai ketetapan yang berkembang dan sesuai dengan
Al-Qur’an. Alasan golongan yang tidak menerima hadits ahad karena, menurut
mereka para sahabat juga tidak menerimanya. Namun pada kenyataannya para ulama
menggunakan hadits ahad dalam menetapkan berbagai hukum.[19]
2.
Persyaratan Hadits Ahad yang Di
Sepakati Para Imam Madzhab
·
Perawi hadits sunnah mencapai usia
balig dan berakal.
·
Perawi harus muslim, karena bila
tidak muslim, tidak bisa di percay hadits tersebut benar-benar dari Rasulullah.
·
Perawi harus adil, yakni orang yang
senantiasa bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela.
·
Dan harus betul-betul dhabit terhadap
yang di riwayatkannya dengan mendengar dari Rasulullah, memahami kandungannya,
dan benar-benar menghapalnya.[20]
Persyaratan di atas di sepakati oleh para imam madzhab namun
di antara para imam madzhab ada yang memberikan persyaratan tambahan lainnya
yaitu:
a.
Madzhab Imam Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hadits ahad
dapat di terima apabila memenuhi tiga syarat lain selain syarat yang di atas:
·
Perbuatan perawi tidak menyalahi
riwayatnya itu. Berdasarkan hal ini, ulama Hanafiyah tidak membasuh bejana yang
di jilat anjing sebanyak tujuh kali seperti yang di tunjukkan oleh hadits Abu
Hurairah :
طَهُوْرُاِنَاءِأَحَدِ
كُمْ أِذَا وَلَغَ فِيْهِ ا لْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلُ بِسَبْعِ مَرًّا تٍ أَوْلاَ
هُنَّ
بِالتُّرَابِ {ابو هريراه}
Artinya:
“Sucinya wadah salah satu di antara kamu jika di jilat anjing dengan mencucinya
tujuh kali dan salah satunya dengan tanah” (Abu.
Hurairah).
Mereka membasuhnya sebanyak tiga kali sebab Abu Hurairah
sendiri hanya membasuhnya tiga kali, sedangkan jumhur tetap membasuh sebanyak tujuh
kali.
b.
Madzhab Imam Maliki
Maliki menerima hadits ahad selama
tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah. Karena Imam Malik, amalan ulama
Madinah merupakan riwayat dari Rasulullah SAW. berdasarkan hal itu, mereka
tidak menerima khiyar majlis, karena bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
di madinah.
c.
Madzhab Imam Syafi’i
Madzhab As-Syafi’i dalam menerima
hadits ahad mensyaratkan empat syarat :
·
Periwayat tsiqat dn terkenal shidiq
·
Perawinya cerdik dan memahami isi
hadits yang di riwayatkannya.
·
Periwayatannya dengan riwayat bi
al-lafzi bukan riwayat bi al-makna.
·
Periwayatnya tidak menyalahi hadits ahl
al-Ilmi.
Persyaratan Asy-Syafi’i sebenarnya hanya merupakan
persyaratan kesahihan suatu hadits pada umumnya, yaitu sahih sanad muttasil.
Oleh sebab itu Asy-Syafi’i menerima hadits ahad, apabila sanadnya sahih dan bersambung
tanpa mensyaratkan syarat lain, seperti ulama di atas.[21]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Al-Sunnah
atau Al-Hadits merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an. Al-sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang di jalani atau di
biasakan, baik hidup itu baik ataupun buruk, terpuji ataupun tercela.
Pengertian sunnah menurut
istilah antara lain di kemukakan oleh ahli hadits, ahli ushul fiqh dan para
ahli fiqh.
a.
Sunnah menurut para ahli.
b.
Sunnah menurut para ahli pokok agama
Fungsi sunnah yang utama
adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. sunnah disebut
sebagai bayani dalam hubungan
dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
a.
Menguatkan
dan menegaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.
b.
Memberi
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
c.
Menetapkan
suatu hukum dalam sunah.
Perbedaan Sunnah dengan
Hadits
Mayoritas ulama hadits memandang bahwa antara Hadits dengan Sunnah tidak
ada perbedaan, hanya saja berbeda pada pelafalannya tetapi maknanya sama.
Sehingga Hadits dan Sunnah sering di
gunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi SAW. pernyataan senada juga di lontarkan oleh Ahmad ibn Hanbal yang
mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat lima sunnah.
Perbuatan
nabi ada 3 :
·
Perbuatan
jibliyah, seperti yang di lakukan manusia.
·
Perbuatan khusus.
·
Perbuatan nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung
dalam al-quran.
Munkirus
Sunnah ada dua argument :
·
argument naqli
·
argument non-naqli
Kedudukan
hadits terhadap Al-Qur’an
·
Sunnah
sebagai ta’kid (penguat) Al-Qur’an
·
Sunnah
sebagai penjelas Al-Qur’an
·
Sunnah sebagai musyar’i (pembuat syari’at)
Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuk, Perawi dan Shahih Tidaknya
·
Macam-macam Al-Sunnah Dilihat dari Bentuknya
(Sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah dan sunnah taqriyah)
·
Pembagian As-Sunnah dari perawinya
(Hadits Mutawattir, Hadits Ahad, Hadits Masyhur)
·
Pembagian As-Sunah di lihat dari Sahih Tidaknya
(Hadits Shahih, Hadits
Hasan, Hadits Dha’if )
Kehujjahan Sunnah dan Pandangan Ulama Madzhab
terhadap Hadits Ahad yaitu para ulama telah sepakat tentang kehujjahan hadits ahad jika
benar dan yakin dari Rasulullah SAW, dan telah di sepakati oleh para sahabat,
tabi’in dan para ulama setelahnya. Di antara para imam madzhab lainnya
yaitu:
a.
Madzhab Imam Hanafi
b.
Madzhab Imam Maliki
c.
Madzhab Imam Syafi’i
3.2
Saran
Dengan dibuatnya makalah ini maka di
harapkan agar kita sebagai umat islam wajib mengetahui serta memperdalam sumber
ajaran agama yang di bawa Rasulullah SAW, karena sumber ajaran agama islam merupakan panutan
bagi kita agar senantiasa dapat melaksanakan semua perintah Allah serta
menjauhi larangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
Pustaka Setia, 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jilid1.
Jakarta: Kencana Prenamedia, 2008.
Solahudin, Agus dan Suyadi Agus. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Amiruddin, zen. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Penerbit
Teras, 2009
Ichwan, Mohammad Nor. Studi Ilmu Hadits. Semarang:
Sagha Grafika, 2007.
Amiruddin dan Fathurrohman. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung:
PT Refika Aditama, 2016.
Sabri, Fahruddin
Ali. Ushul Fiqih. Surabaya : Salsabila Putera Pratama, 2013.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar