IJTIHAD
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Yang
diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi,
M.H.I
Disusun
Oleh :
Robiatul
Adawiyah
Safira
Paramadina Ismail
Santi
Wulandari
Shofia
Noer Qomary
ST.
Latifah
Tuty
Alawiyah
Wildania
Sucuati A
PROGRAM STUDI
PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
masih sangat sederhana dengan judul “IJTIHAD"
Sholawat beserta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. Yang mana beliau telah mengangkis kita minadz
dzulumati ilan nur dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
Kami berharap semoga
makalah ini bisa membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, dan semoga makalah ini bisa menjadi pedoman untuk lebih memahami ijtihad dan tingkatan
tingkatannya. Serta
lebih memahami tentang hukum dan syarat-syarat menjadi mujtahid Amin.
Kami akui makalah ini
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat minim.
Oleh karena itu, kami harapakan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kedepannya.
Kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari
awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Pamekasan, 13 April 2018
Penulis,
DAFTAR ISI
|
|
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ..............................................................................
B. Rumusan
Masalah
.........................................................................
C. Tujuan
Masalah .............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad ...........................................................................
B. Perkembangan ijtihad......................................................................
C. Syarat-syarat
mujtahid.............
.......................................................
D. Tingkatan
mujtahid.........................................................................
E. Lapangan ijtihad.............................................................................
F. Metode
ijtihad ................................................................................
G. Hukum
berijtihad ...........................................................................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
....................................................................................
B. Saran
..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
|
i
ii
iii
1
1
2
3
4
6
9
11
12
16
18
18
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
merupakan sumber ajaran Islam yang utama, juga sebagai pedoman dalam semua
aspek kehidupan umat manusia. Penjelasan isi dalam Al-Qur’an banyak diterangkan
oleh sunnah yang memerlukan pengkajian yang sungguh-sungguh. Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh
kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil Nash
(Al-Qur’an
dan Al-Hadist).
Sedangkan Mujitahid adalah ahli fikih
yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh kesanggupannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengintinbathkan hukum dari al-Qur’an
dan as-sunah.
Al-Qur’an
harus bisa memberi solusi terhadap semua masalah kemanusiaan. Namun ternyata
pada masa Rasulullah SAW pun tidak semua masalah yang dihadapi dapat
terselesaikan dengan al-Qur’an yang terkadang tidak turun
memberi solusi. Hal itu telah memaksa Rasulullah SAW untuk melakukan Ijtihad dengan cara menafsirkan dan memperluas aturan-aturan umum Al-Qur’an,
bahkan tidak jarang melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, karena
ternyata diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang bertalian langsung dengan hukum
hanya memuat prinsip-prinsip dasar secara global, sedangkan perinciannya
diserahkan kepada Rasulullah SAW.
Kemudian setelah wafatnya Rasulullah SAW Islam semakin luas dan para
sahabat menyebar keberbagai penjuru, sehingga mereka dihadapkan pada berbagai
persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan al-hadis. Hal itu,
mengharuskan mereka menyelesaikannya dengan cara ijtihad.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian
ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan ijtihad?
3. Apa saja syarat-syarat mujtahid?
4. Bagaimana tingkatan mujtahid?
5. Bagimana tentang lapangan mujtahid?
6. Apa saja metode ijtihad?
7. Bagaimana hukum ijtihad?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui Pengertian ijtihad.
2.
Untuk mengetahui perkembangan ijtihad.
3.
Untuk mengetahui syarat-syarat
mujtahid.
4.
Untuk mengetahui tingkatan mujtahid.
5.
Untuk mengetahui lapangan mujtahid.
6.
Untuk mengetahui metode mujtahid.
7. Untuk
mengetahui hukum berijtihad.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad di ambil
dari akar kata dalam bahasa arab ”hahada”
(جھد). Bentuk masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya :
a.
Jahdun (جھد)dengan arti
kesungguhan atas sepenuh hati atau serius. dengan Contohnya dapat kita temukan
dalam surat al-an’am (6); 109
واقسموا با لله جھد
أيمانھم ( الانعا م ١٠٩)
Artinya :
mereka bersumpah dengan Allah sungguh-sungguh sumpah.
b.
Juhdun (جھد) dengan arti
kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan
susah. Contohnya dalam firman Allah dalam surat at-Taubah (9); 79
والذين لا يجدونا الا
جھدھم فيسخرون منھم ( التوبة٧٩)
Artinya
: dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka
orang munafik itu menghina mereka.
Perubahan kata dari ja ha da (جھد) atau ha ji da (جھد) menjadi ij ti ha
da (اجتھد) dengan menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di bawah dan “ta” antara huruf “jim” dan “ha” mengandung enam maksud, satu diantaranya maksudnya
yang tepat adalah “mubalaghah”(مبالغة), yaitu dalam
pengertian “sangat”. Jika kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk masdarnya
tersebut, penggantinya berarti “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang
sangat”. Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah tentang ijtihad, akan terlihat keserasian
artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan
kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan serta sepenuh
hati.[1]
Sedangkan
menurut istilah
الإ جتھاد ھوااستفراغ
الوسع في نيل حكم شرعي بطريق الإستنبا ط من الكتاب والسنة
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh
menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan
dalil-dalil Nash (Al-qur’an dan Al-hadist)
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid
ھوالفقيه المستفرغ لوسعه
لتحصيل ظن بحكم شرعي بطريق الاء ستنبا ط منھما
mujitahid
adalah ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh
kesanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan
mengintinbathkanhukum dari Al-qur’an dan as-sunah.[2]
B. Perkembangan Ijtihad
Pada masa
Rasulullah SAW, sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Namun demikian,
ijtihâd pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni
pada zaman Nabi Muhammad SAW dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat
dan tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan yang
akan datang.
Banyak riwayat
yang menjelaskan betapa Rasulullah SAW memberikan wewenang kepada para sahabat
beliau untuk melakukan ijtihâd. Salah satu yang paling sering
diungkapkan dalam kitab-kitab ushul fiqh ialah kisah pengutusan Mu’az bin Jabal
ke Yaman. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW memuji Mu’az
ketika ia menjelaskan metode ijtihâd, dimana sumber hukum secara
berturut-turut ialah Al-Qur’an, sunnah, dan ar-ra’yu (penalaran hukum).
Wewenang untuk
berijtihad yang diberikan Rasulullah SAW kepada sahabat itu, ternyata belakangan
sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul setelah wafatnya
beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah SAW, ijtihad yang dilakukan para
sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapat
pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah SAW, jika hasil ijtihadnya
mereka keliru.
Setelah
Rasulullah SAW wafat, sejalan dengan perluasan wilayah Islam dan banyak pemeluk
Islam yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang beragam, para sahabat
banyak menemukan kasus-kasus hukum yang sama sekali tidak disebutkan ketentuan
hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Kenyataan ini disikapi para sahabat
untuk menerapkan pengalaman ijtihad yang mereka praktikan pada masa Rasulullah
SAW yaitu dengan menggunakan ra’yu. Metode yang ditempuh dalam
penggunaan ra’yu ini ialah, meneliti persamaan ‘illah kasus-kasus
yang mereka hadapi dengan kasus-kasus yang terdapat ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Berdasarkan persamaan ‘illah itu kemudian
menerapkan hukum yang sama. Metode ini belakangan dikenal dengan istilah al-qiyâs.
Apabila metode ini dapat diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan
kasus yang mereka hadapi dengan yang terdapat dalam nashsh Al-Qur’an dan
sunnah, maka mereka menggunakan metode mashlahah dalam menetapkan hukum.
Penggunaan ar-ra’yu
kemudian semakin berkembang, terutama setelah lewat masa sahabat dan dimulainya
masa tabi’in dan sesudahnya, sehingga banyak ditemukan mujtahid yang
menggunakan ar-ra’yu di berbagai daerah Islam seperti Madinah, Mekah,
Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan Baghdad. Nama-nama para
mujtahid yang terkenal, antara lain: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, yang belakangan dikenal sebagai
pendiri mazhab masing-masing. Akan tetapi, metode ijtihad untuk menemukan hukum
tidak lagi hanya terbatas pada qiyâs, dan mashlalah, tetapi
beragam seperti: ihtisân, ‘urf, ijma’ ahl al-madinah, istishhab, syar’u man
qablanâ dan lain-lain.[3]
Disamping ijtihad
dan Al-ra’yu terdapat pula dalam
istilah qiyas. Qiyas mengandung arti mengukur sesuatu dengan ukuran
tertentu dan sebagai diketahui dalam istilah fiqih kata itu berarti menyamakan
hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya atas dasar persamaan illat atau sebab. Untuk menentukan
adanya persamaan itu diperlukan pemikiran. Sebagai umpama selalu disebut
haramnya khamer; yaitu minuman keras
lain yang dibuat dari anggur, atas illat memabukkan.minuman illat
lain yang dibuat umpamanya dari kurma atau dari gandum, karena juga memabukkan,
dari dasar qiyas atau analogi, hukumnya dalam fiqih adalah haram
pula. Haramnya minuman keras dari kurma dan gandum yang tidak ada nash
hukumnya, disamakan dengan haramnya khamar yang ada nash hukumnya dalam
Al-Qur’an.
Selanjutnya
terdapat pula istilah al-istihsan yang
mengandung arti memandang lebih baik dalam istilah fiqih “meninggalkan qiyas
jelas untuk mengambil qiyas tak jelas” atau “meninggalkan hukum umum untuk
mengambil hukum kecuali” karena dipadang lebih baik.
Semua kata-kata
tersebut diatas mengandung arti berfikir atau memakai akal oleh karena itu
tidak mengherankan kalau Mustafa Abd Al-Raziq memandang bahwa keempat istilah ijtihad, ra’yu, qiyas dan isatihsan adalah
kata-kata sinonim.
Jadi sungguhpun
sumber utama dari fiqih atau hukum islam adalah Al-Qur’an dan sumber kedua adalah
sunnah, dalam menentukan hukum islam, banyak dipakai akal. Bahkan sebagai telah
dilihat sumber ketiga adalah ijtihad. Tidak mengherankan kalau ada ulama
fiqih di zaman modern ini memasukkan pembahasan usul fiqih dalam bidang
filsafat. Syeikh Mustafa Abd Ar-Razik dari Al-Ahzar memasukkan dalam bukunya :
yang telah dikutip atas argumennya ialah karena dalam ilmu ushul fiqih banyak
dipakai ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan ilmu mantiq atau logika. Dalam
pendapatnya ushul fiqih banyak dipengaruhi oleh filsafat.[4]
C.
Syarat-Syarat Mujtahid
Para ahli
menetapkan syarat atau kriteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu
seorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan ijtihad,
maka hasilnya diragukan kebenarannya.
1.
Syarat
yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian menyangkut dua hal:
a.
Syarat
umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah balig dan
berakal.
Seseorang mujtahid itu harus
telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya
kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak-anak tidak akan mungkin melakukan
ijtihad. Kemudian, seseorang mujtahid itu harus berakal atau sempurna akalnya,
karena pada orang yang berakal ditemukan adanya kemapuan ilmu dan ijtihad itu
sendiri adalah suatu karya ilmiah. Orang yang tidak sempurna akalnya seperti
orang gila tidak akan mungkin melakukan ijtihad.
b.
Syarat
kepribadian khusus. Ijtihad itu merupakan karya ilmiah secara umum.
Namun yang dilakukan dan dihasilkan dalamnya adalah hukum yang dinisbatkan
kepada Allah. Oleh karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan
kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus beriman kepada Allah secara
sempurna, baik yang berkenaan dengan zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Ia percaya
akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan percaya akan adanya hukum Allah
yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia percaya kepadaa kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Dan percaya pula akan fungsi beliau sebagai sebagai penyampai dan
penjelas hukum Allah kepada umat manusia.[5]
2.
Syarat
yang berhubungan dengan kemampuan.
Seseorang harus memiliki kemampuan
akademis untuk meneliti dan menggali huku syara’
dari dalil-dalinya serta memuaskannya dalam formulasi hukum. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
“ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok hukum syara’, yaitu Al-Qur’an dan Sunah
berbahasa Arab. Pengetahuan akan bahasa Arab ini meliputi seluruh seginya
seperti ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, dan badi’.
b.
Pengetahuan
tentang Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber asasi hukum
syara’. Karena itu seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang
baik tentang Al-Qur’an. Persyaratan ini disepakati oleh semua ulama, karena
tidak mungkin seseorang dapat memahami syariah, apalagi menggali dan
merumuskannya tanpa memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an.
c.
Memahami
hadis Nabi
Seorang mujtahid harus mempunyai
pengetahuan tentang hadis atau sunnah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam. Di
antara fungsi hadis adalah sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an. Pemahaman
akan hadis tersebut meliputi keseluruhannya, baik yang qauliyah, fi’liyah, maupun
taqririyah.
d.
Pengetahuan
tentang Ijma’ Ulama
Setiap
mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama. Dengan demikian, ia akan mengetahui kasus atau
peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya talah di-ijma’-kan ulama, setidaknya dalam hal-hal yang
menyangkut pokok-pokok kewajiban agama dan hal yang harus diketahui setiap
muslim secara dharuri, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji
serta kewajiban pokok lainnya.
e.
Pengetahuan
tentang qiyas
Qiyas disepakati oleh ulama jumhur sebagai salah satu
cara untuk menentukan hukum Allah. Oleh karena itu, setiap yang akan menggali
dan menemukan hukum Allah (berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyas.
f.
Pengetahuan
tentang maksud Syari’ dalam
menetapkan hukum
Setiap mujtahid harus dapat
mengetahui maksud Syari’ dalam menerapkan suatu hukum, sehingga
dengan demikian saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad, ia dapat
berpedoman kapada tujuan Syari’ tersebut.
g.
Pengetahuan
tentang ushul fiqh
Seorang mujtahid harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa
yang diperlukan untuk berijtihad. Dengan ilmu ini ia akan mampu menegembalikan furu’
kepada ashal dengan cara yang mudah. Sebaliknya, bila ia kurang
menguasai ilmu ushul fiqh, maka akan menemui kesulitan untuk mengembalikan
masalah tersebut dan mungkin keliru.[6]
Untuk
menjadi mujtahid yang mutlat seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Mengetahui secara mendalam Nash-Nash
Al-qur’an dan as-sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
b. Kalau ia memegangi ijma’, maka ia
harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa yang telah di ijma’kan.
c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul
fiqih, karena ilmu ini merupakan dasar pokok di dalam berijtihad.
d. Mengetahui secara mendalam tentang
nasikh mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula dalil yang tidak d
mansukh.
e. Mengetahui mendalam bahasa arab dan
ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan
bayan serta mantiqnya.
Ulama’ ushul berpendapat bahwa ijtihad ini boleh
sebagian hukum saja, artinya boleh berijtihad pada beberapa masalah saja.
Diharuskan bagi ulama’ yang berijtihad pada sebagian
hukum saja itu untuk mengetahui hokum apa yang diijtihadkan itu, ia tidak perlu
mengetahui seluruh hal-hal yang berkaitan dengan segala macam hukum sebagaimana
mujtahid mutlak.[7]
D.
Tingkatan Mujtahid
Dalam
membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak
terlepas dari perbedaan di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya
menurut pintu ijtihad.
Menurut
As-Suyuti “umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlak itu sudah tidak ada lagi
dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid
muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan
pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
Adapun tingkat
para mujtahid, menurut para ulama, di
antaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima
tingkatan:
1. Mujtahid
Mustaqil.
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan
kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, ia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut
As-Suyuti, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2. Mujtahid
Mutlaq Ghairu Mustaqil
Adalah orang
yang memiliki kriteria seperti mujtahid
mustaqil, namun ia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi
mengikuti metode salah satu imam madzhab.
Dia bisa disebut juga sebagai mutlak
mustasib, tidak mustaqil, tetapi
juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya,
melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar
dari Hanafiyah.
3. Mujtahid
Muqayyad / Mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terkait oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi
kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak
boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan
bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki,
serta Al-Buaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
4. Mujtahid
Tajrih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya
pada mujtahid takhrij, tetapi menurut
Imam Nawawi dalam kitab majmu’ mujtahid
ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah
imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga
mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi
kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid
di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, Al-Qaduri dan pengarang
kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.[8]
5. Mujtahid
Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham
terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih
lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, “tingkatan ini
dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh
imam madzhab, serta berbagai cabang
yang ada dalam madzhab tersebut.”[9]
E.
Lapangan Ijtihad
Pada dasarnya
ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan maupun Hadis Nabi. Hal ini sejalan dengan apa
yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi dan Mu’adz ibn Jabal yang
menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari
Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Tidak
terdapatnya penjelasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis itu dapat dilihat dari
dua segi:
1. Al-Qur’an dan Hadis secara jelas dan
langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan tidak pula sebagiannya.
2. Secara jelas, langsung dan menyeluruh
memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun secara
tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.
Penjelasan yang
mengenai bagian umpamanya memindahkan organ orang-orang mati kepada orang hidup
(transplantasi), memang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an maupun
hadis secara jelas, namun ada larangan merusak jasad orang mati dalam Hadis
Nabi. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan Al-Qur’an dan hadis,
maka diperlukan ijtihad. Dengan demikian, ketidakpastian itu dapat dirinci
menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tidak pasti keberadaannya sebagai nash,
namun pasti penunjukannya terhadap hukum.
2. Tidak pasti penunjukan terhadap hukum (zhannĭ
al-dilâlah) tetapi pasti keberadaan sabagai dalil nash (qath’i
al-wurûd).
3. Tidak pasti keberadaannya sebagai dalil
atau nash dan tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum (zhanni
al-wurud wa al-dilâlah).[10]
F.
Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasa ini adalah thariqah,
yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam
memahami, menemukan, merumuskan hukum syara'.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad itu pada dasarnya
adalah usaha untuk memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'. Bagi hukum
yang jelas terdapat dalam nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam
bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum
yang yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari
apa yang terdapat di balik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk
hukum. Bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash,
tetapi mujahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah
menggali sampai menemukan hokum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan
hukum yang operasional. Di antara ulama ada yang menganggap bentuk terakhir
inilah yang disebut ijtihad dalam arti sebenarnya; sedangkan ulama lain
menganggap semua kegiatan untuk menemukan hukum Allah tersebut dapat disebut ijtihad.
Dalam pengertian ijtihad diatas, ushul fiqh membahas tentang
langkah yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid. Hadis yang sangat populer
tentang dialog Nabi dengan Mu'adz ibn Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk
menjadi wali, merupakan dasar dari langkah ijtihad. Langkah Mu'adz ibn
Jabal dalam menghadapi sesuatu masalah hukum adalah: pertama, mencari jawabannya
dalam al-Qur'an; kedua, jika tidak menemukan dalam al-Qur'an, ia mencarinya
dalam sunnah Nabi; ketiga, bila dalam sunnah juga tidak ditemukan maka ia
menggunakan akal (ra'yu).
Kronologis langkah yang dilakukan oleh Mu'adz ibn Jabal itu diikuti
pula oleh utama yang datang sesudahnya, termasuk imam mazhab terkemuka yang
populer. Namun mereka berbeda dalam cara memahami al-Qur'an, berbeda dalam
peneriman hadis-hadis tertentu serta pemahaman maksudnya, begitu pula mereka
berbeda mengenai kadar penggunaan akal dalam menetapkan hukum. Perbedaan
tersebut menyebabkan perbedaan dalam menetapkan fiqh yang mereka rumuskan dan pada akhirnya
menghasilkan beberapa mazhab fiqh yang satu sama lainnya memiliki
perbedaan,tetapi semuanya diakui keberadaannya dalam Islam.[11]
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai langkah-langkah yang
harus ditempuh seorang mujtahid dalam istinbath hukum.
1.
Langkan
pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah merujuk pada al-Qur'an. Kemutlakannya
bila menemukan dalil
atau petunjuk yang umum dan lahir, maka si mujtahid harus mencari
penjelasannya, baik dalam bentuk lafaz khas yang akan men-takhsis-kan; lafaz muqayyad yang menjelaskan; qarinah (petunjuk) yang akan menjelaskan
maksudnya.
Selanjutnya,
dalam meneliti ayat al-Qur'an yang mengandung hukum tersebut perlu
dipilah-pilah antara lafaz-nya yang zhahir, nash, mufassar, dan muhkam.
Perlu dipilah juga antara penunjukannya secara haqiqat dan majaz; antara yang sharih
dan kinayah. Kemudian diteliti penunjukan secara 'ibarah, isyarah, iqtidhah, dan dilalah. Diperiksan pula manthuq-nya
dan dicari mafhum yang terdapat
sibalik manthuq itu.
Hukum
dalam al-Qur'an itu dianalisis dari segala seginya. Bila mujtahid tidak
menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat secara jelas dalam teks atau manthuq
Al-Qur'an, ia mencarinya dari pengertian yang terkandung (tersirat) di balik
teks al-Qur'an.
Dari
pengkajian dan penelitian terhadap al-Qur'an secara menyeluruh, mujtahid akan
menemukan hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an.
2. Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur'an, mujtahid melangkah ke
tahap berikutnya, yaitu merujuk kepada sunnah Nabi. Mula-mula mujtahid
mencarinya dari sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang tingkat
kesahihannya berada dibawah mutawatir.
Bila tidak
menemukan dari yang tersurat dalam lafaz hadis, mujtahid mencarinya dari apa
yang tersirat dibalik lafaz itu.
3. Langkah selanjutnya, mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan
ulama sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum
menurut apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut.
4. Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya,
maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan
menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam
formulasi hukum yang kemudian disebut fiqih.
Meskipun ulama sepakat untuk menjadikan
al-Qur'an sebagai rujukan utama, namun dalam cara memahami al-Qur'an untuk
menemukan hukum dari al-Qur'an mereka berbeda pendapat. Demikian juga meskipun secara
prinsip mereka sepakan menggunakan sunah Nabi sebagai rujukan kedua,
namun dalam
menetapkan dan menilai suatu hadis untuk dijadikan rujukan, mereka berbeda
pendapat karena berbeda dalam melihat kesahihan hadis. Selanjutnya, meskipun
mereka sepakat menerima kebenaran sebuah hadis, tetapi dalam memahami maksudnya
belum tentu sependapat. Dalam menggukan ra'yu
(nalar) sebagai alat dan rujukan dalam berijtihad, terdapat perbedaan yang
meluas sekali. Mereka berbeda dalam cara dan
langkah-langkah
yang digunakan, dan berbeda dalam melihatnya sebagai suatu kekuatan dalam
kekuatan hukum. Meskipun secara prinsip ulama mujtahid sependapat dalam
penggunaan tiga sumber diatas (al-Qur'an, sunah, ijma'), namun dalam penempatan
urutan penggunaannya terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan dalam urutan ini
terlihat ketika di temukan pembenturan antara pentunjuk dengan petunjuk lain.
Dalam hal ini timbul masalah yang di perbincangankan ulama mengenai petunjuk
mana yang diutamakan dalam pengamalannya. Umpanya:[12]
a. Apakah ijma'
harus di dahulukan atas hadis ahad (yang dialah-nya zhanni) dengan pertimbangan bahwa ijma' itu dhialah-nya
qath'i sedangkan hadis ahad dialah-nya zhanni atau hadis
ahad harus didahlukan atas ijma' dengan pertimbangan bahwa hadis
itu merupakan sandaran ijma'.
b. Demikian pula dalam hal mendahulukan ijma'
atas qiyas. Ada yang mendahulukan ijma' atas qiyas dengan pertimbangan isyarat firman Allah
dalam surat An-nisaa (4):59, yang menyebutkan "ketaatan kepada ulil amri (ijma')" lebih dahulu atas "
mengembalikan hal yang diperdebatkan kepada Allah dan Rasul (qiyas)". Ada juga yang mendahulukan
qiyas atas ijma' dengan pertimbangan Hadis Nabi yang memuji sikap
Mu'adz dan hadis dalam menetapkan hukum.
Disamping empat rujukan
tersebut (Al-Qur'an, sunah, ijma' dan qiyas) yang disepakati secara prinsip, diantara
ulama mujtahid ada yang menggunakan cara-cara lain secara tersendiri yang antara seorang mujtahid
dengan yang lainnya belum tentu sama. Ide dan cara yang digunakan oleh mujtahid
diluar empat rujukan diatas ada yang diikuti oleh mujtahid lain dan ada banyak
pula mujadi yang menolaknya. Perbedaan dalam segala segi yang disebutkan diatas
menyebabkan hasil ijtihad temuan setiap mujtahid pun terdapat perbedaan
dan masing-masing diikuti oleh orang-orang yang menganggapnya benar.[13]
Langkah dan metode istinbath yang dilakukan Abu Hanifah
adalah sebagaimana yang tampak dalam
ucapannya yang populer dan dikutip hampir semua kitab Ush Fiqh, yaitu: Saya
mengambilnya dari al-Qur'an sejauh yang mungkin saya temukan. Kalau tidak saya
temukan dalam al-Qur'an saya ambil dari sunah Nabi dan atsar-nya yang sahih
yang tersebar luas dikalangan orang-orang yang terpercaya. Kalau tidak saya
temukan dalam kitab Allah dan sunah Nabi, saya ambil dari ucapan para sahabat
Nabi yang saya kehendaki. Kemudian saya tidak akan keluar dari ucapannya untuk
mengambil ucapan sahabat yang lain. Bila berakhir suatu urusan kepada pendapat
Ibrahim, Hasan, Ibnu Sirrin, Sa'id ibn al-Musayyab, dan lain-lain melalui
ijtihadnya, saya akan berijtihad sebagaimana mereka melakukan ijtihad.
Dalam beberapa
literatur ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh
oleh empat imam mazhab yang empat, yaitu:
a. Metode ijtihad
Imam Abu Hanafiah, adalah sebagai berikut al-Qur'an; Sunah Nabi dengan caranya yang
ketat dan hati-hati, pendapat sahabat, qiyas
dalam penggunaan yang luas, istihsan dan telah syariat. Tidak
disebutkannya ijma' dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanafiah menolak
ijma' tetapi menggunakan ijma' sahabat yang tergambar dalam ucapannya
diatas.
b. Imam
Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut: al-Qur'an,
Sunah Nabi, amal ahli Madinah, maslahat mursalah, qiyas dan Saddu
al-Zari'ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan disini berarti ijma'
dalam artian umum.
c. Imam Syafi'i
menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut: Al-Qur'an, sunah Nabi yang
shahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad), ijma' seluruh
mujtahid umat Islam dan qiyas. Al-Qur'an dan sunah dijadikannya dalam
satu level sedangkan ijma' sahabat lebih kuat dari ijma' ulama
dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishan.
d. Iman
Ahmad ibn Hambal dalam berijtihad menempuh langkah sebagai berikut: mula-mula
mencarinya dalam nash al-Qur'an san Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa
sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat disini ialah fatwa sahabat dalam keadaan
pendapat mereka sama, yakni ijma' sahabat) kemudian memilih di antara
fatwa sahabat bila diantara fatwa itu terdapat beda pendapat; selanjutnya
mengambil hadis mursal dan hadis yang tingkatnya diperkirakan lemah; baru
terakhir menempuh jalan qiyas.[14]
G.
Hukum Berijtihad
Hukum melakukan
kegiatan ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Apabila seseorang memenuhi syarat untuk
melakukan ijtihad, dan dirinya mengahadapi masalah hukum yang perlu segera
mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ‘ain) melakukan kegiatan ijtihad.
Ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada
mujtahid lainnya.
2. Demikian juga, jika hanya ia yang
memenuhi persyaratan ijtihad dan tidak ada yang lainnya, sedangkan ia ditanya
orang tentang masalah hukum yang memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera,
yang jika ia tidak berijtihad, akan terjadi kesalahan dalam penerapan hukum
syara’. Hukum melakukan ijtihad pada keadaan seperti itu adalah wajib
baginya. Akan tetapi, jika ada orang lain yang yang memenuhi syarat berijtihad
selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi wajib kifayah
baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan ijtihad
dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya,
maka semua mereka yang memenuhi syarat berijtihad menjadi berdosa.
3. Hukum berijtihad adalah sunnah, apabila ijtihad
dilakukan untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang belum terjadi, baik
masalah itu ditanyakan orang kepada si mujtahid ataupun tidak. Demikian juga
terhadap masalah-masalah ynag sudah terjadi, tetapi tidak memerlukan jawaban
hukum yang bersifat segera.
4. Hukum melakukan kegiatan ijtihad
menjadi haram, apabila ditujukan terhadap masalah-masalah yang telah jelas
hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an maupun sunnah yang bersifat qath’i
ats-tsubUt wa ad-dalâlah.
5. Sedangkan tehadap masalah-masalah yang
tidak didasarkan atas nash yang bersifat qath’i ats-tsubût/al-wurûd
wa ad-dalâlah, maka hukumnya adalah mubah.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ijtihad
adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil Nash (Al-qur’an dan
Al-hadist), sedangkan Mujitahid adalah ahli fikih yang
berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh kesanggupannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengintinbathkan hukum dari Al-qur’an
dan as-sunah
Untuk menjadi
mujtahid yang mutlat seseorang harus memenuhi berbagai syarat ; Mengetahui
secara mendalam Nash-Nash Al-qur’an dan as-sunnah dan segala ilmu yang terkait
dengannya, kalau ia memegangi ijma’, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan
apa yang telah di ijma’kan, mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih, karena
ilmu ini merupakan dasar pokok di dalam berijtih, mengetahui secara mendalam
tentang nasikh mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula dalil yang
tidak d mansukh, mengetahui mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait
dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
Ada beberapa
tingkatan mujtahid, antaranya Mujtahid
Mustaqil, Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil, Mujtahid Muqayyad / Mujtahid
Takhrij, Mujtahid Tajrih, Mujtahid Fatwa dan hukum berijtihad antara lain
wajib ‘ain, wajib kifayah, Sunnat.
B.
SARAN
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan membukukan setiap
materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan
tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan
sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh jilid
2. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yokyakarta: Sukses Offset.
Dahlan, Abd. Rahman.2010.Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah.
Zuhri,Saifuddin. 2009. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2008), hlm. 257-258
[2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yokyakarta:
sukses offset, 2009), hlm. 195-196
[3] Abd. Rahman Dahlan, ushul fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.
341-342.
[4] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih
Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar offset,
2009), hlm. 75-76
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm. 291-293
[6] Ibid. 293-301
[7] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, hlm. 196-197
[8] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 108-109
[9] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul
Fiqih, hlm. 109
[10]Ibid. 328-330.
[11] Ibid. 323-324
[12] Ibid. 324-326
[13] Ibid. 326
[14] Ibid. 327-328
[15]Ibid. 352-353.
Casino Site Review - Lucky Club Live
BalasHapusCasino site. Lucky Club Live is the latest in our family of luckyclub.live slots betting enthusiasts. We aim to provide all our clients with a thrilling, fun and Rating: 4 · Review by LuckyClub