Kamis, 24 Mei 2018

IJTIHAD



IJTIHAD

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Disusun Oleh :
Robiatul Adawiyah
Safira Paramadina Ismail
Santi Wulandari
Shofia Noer Qomary
ST. Latifah
Tuty Alawiyah
Wildania Sucuati A







PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang masih sangat sederhana dengan judul “IJTIHAD"
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad  SAW. Yang mana beliau telah mengangkis kita minadz dzulumati ilan nur dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
           Kami berharap semoga makalah ini bisa membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, dan semoga makalah ini bisa menjadi pedoman untuk lebih memahami ijtihad dan tingkatan tingkatannya. Serta lebih memahami tentang hukum dan syarat-syarat menjadi mujtahid  Amin.
Kami akui makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat minim. Oleh karena itu, kami harapakan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kedepannya.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Pamekasan, 13 April 2018


Penulis,



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang ..............................................................................
B.    Rumusan Masalah .........................................................................
C.    Tujuan Masalah .............................................................................
BAB II  PEMBAHASAN
A.     Pengertian ijtihad ...........................................................................
B.     Perkembangan ijtihad......................................................................
C.     Syarat-syarat mujtahid............. .......................................................
D.    Tingkatan mujtahid.........................................................................
E.     Lapangan ijtihad.............................................................................
F.      Metode ijtihad ................................................................................
G.    Hukum berijtihad ...........................................................................
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan ....................................................................................
B.    Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

i
ii
iii

1
1
2

3
4
6
9
11
12
16

18
18










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang utama, juga sebagai pedoman dalam semua aspek kehidupan umat manusia. Penjelasan isi dalam Al-Qur’an banyak diterangkan oleh sunnah yang memerlukan pengkajian yang sungguh-sungguh. Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist). Sedangkan Mujitahid adalah ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh kesanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengintinbathkan hukum dari al-Qur’an dan as-sunah.
Al-Qur’an harus bisa memberi solusi terhadap semua masalah kemanusiaan. Namun ternyata pada masa Rasulullah SAW pun tidak semua masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan al-Qur’an yang terkadang tidak turun memberi solusi. Hal itu telah memaksa Rasulullah SAW untuk melakukan Ijtihad dengan cara menafsirkan dan memperluas aturan-aturan umum Al-Qur’an, bahkan tidak jarang melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, karena ternyata diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang bertalian langsung dengan hukum hanya memuat prinsip-prinsip dasar secara global, sedangkan perinciannya diserahkan kepada Rasulullah SAW.
Kemudian setelah wafatnya Rasulullah SAW Islam semakin luas dan para sahabat menyebar keberbagai penjuru, sehingga mereka dihadapkan pada berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan al-hadis. Hal itu, mengharuskan mereka menyelesaikannya dengan cara ijtihad.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian ijtihad?
2.    Bagaimana perkembangan ijtihad?
3.    Apa saja syarat-syarat mujtahid?
4.    Bagaimana tingkatan mujtahid?
5.    Bagimana tentang lapangan mujtahid?
6.    Apa saja metode ijtihad?
7.    Bagaimana hukum ijtihad?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui Pengertian ijtihad.
2.      Untuk mengetahui perkembangan ijtihad.
3.      Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid.
4.      Untuk mengetahui tingkatan mujtahid.
5.      Untuk mengetahui lapangan mujtahid.
6.      Untuk mengetahui metode mujtahid.
7.      Untuk mengetahui hukum berijtihad.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad di ambil dari akar kata dalam bahasa arab ”hahada” (جھد). Bentuk masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya :
a.    Jahdun (جھد)dengan arti kesungguhan atas sepenuh hati atau serius. dengan Contohnya dapat kita temukan dalam surat al-an’am (6); 109
   واقسموا با لله جھد أيمانھم ( الانعا م ١٠٩)                                                                            
Artinya : mereka bersumpah dengan Allah sungguh-sungguh sumpah.
b.    Juhdun (جھد) dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya dalam firman Allah dalam surat at-Taubah (9); 79
والذين لا يجدونا الا جھدھم فيسخرون منھم ( التوبة٧٩)                                                 
Artinya : dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.
Perubahan kata dari ja ha da (جھد) atau ha ji da (جھد) menjadi ij ti ha da (اجتھد) dengan menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di bawah dan “ta” antara huruf “jim” dan “ha” mengandung enam maksud, satu diantaranya maksudnya yang tepat adalah “mubalaghah”(مبالغة), yaitu dalam pengertian “sangat”. Jika kata ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk masdarnya tersebut, penggantinya berarti “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang sangat”. Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah  tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan serta sepenuh hati.[1]
Sedangkan menurut istilah
الإ جتھاد ھوااستفراغ الوسع في نيل حكم شرعي بطريق الإستنبا ط من الكتاب والسنة            
 Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil Nash (Al-qur’an dan Al-hadist)
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid
                      ھوالفقيه المستفرغ لوسعه لتحصيل ظن بحكم شرعي بطريق الاء ستنبا ط منھما
mujitahid adalah ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh kesanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengintinbathkanhukum dari Al-qur’an dan as-sunah.[2]
B.     Perkembangan Ijtihad
Pada masa Rasulullah SAW, sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Namun demikian, ijtihâd pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad SAW dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.
Banyak riwayat yang menjelaskan betapa Rasulullah SAW memberikan wewenang kepada para sahabat beliau untuk melakukan ijtihâd. Salah satu yang paling sering diungkapkan dalam kitab-kitab ushul fiqh ialah kisah pengutusan Mu’az bin Jabal ke Yaman. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah SAW memuji Mu’az ketika ia menjelaskan metode ijtihâd, dimana sumber hukum secara berturut-turut ialah Al-Qur’an, sunnah, dan ar-ra’yu (penalaran hukum).
Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah SAW kepada sahabat itu, ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah SAW, ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapat pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah SAW, jika hasil ijtihadnya mereka keliru.
Setelah Rasulullah SAW wafat, sejalan dengan perluasan wilayah Islam dan banyak pemeluk Islam yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang beragam, para sahabat banyak menemukan kasus-kasus hukum yang sama sekali tidak disebutkan ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Kenyataan ini disikapi para sahabat untuk menerapkan pengalaman ijtihad yang mereka praktikan pada masa Rasulullah SAW yaitu dengan menggunakan ra’yu. Metode yang ditempuh dalam penggunaan ra’yu ini ialah, meneliti persamaan ‘illah kasus-kasus yang mereka hadapi dengan kasus-kasus yang terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Berdasarkan persamaan ‘illah itu kemudian menerapkan hukum yang sama. Metode ini belakangan dikenal dengan istilah al-qiyâs. Apabila metode ini dapat diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang mereka hadapi dengan yang terdapat dalam nashsh Al-Qur’an dan sunnah, maka mereka menggunakan metode mashlahah dalam menetapkan hukum.
Penggunaan ar-ra’yu kemudian semakin berkembang, terutama setelah lewat masa sahabat dan dimulainya masa tabi’in dan sesudahnya, sehingga banyak ditemukan mujtahid yang menggunakan ar-ra’yu di berbagai daerah Islam seperti Madinah, Mekah, Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan Baghdad. Nama-nama para mujtahid yang terkenal, antara lain: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, yang belakangan dikenal sebagai pendiri mazhab masing-masing. Akan tetapi, metode ijtihad untuk menemukan hukum tidak lagi hanya terbatas pada qiyâs, dan mashlalah, tetapi beragam seperti: ihtisân, ‘urf, ijma’ ahl al-madinah, istishhab, syar’u man qablanâ dan lain-lain.[3]
Disamping ijtihad dan Al-ra’yu terdapat pula dalam istilah qiyas. Qiyas  mengandung arti mengukur sesuatu dengan ukuran tertentu dan sebagai diketahui dalam istilah fiqih kata itu berarti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya atas dasar persamaan illat atau sebab. Untuk menentukan adanya persamaan itu diperlukan pemikiran. Sebagai umpama selalu disebut haramnya khamer; yaitu minuman keras lain yang dibuat dari anggur, atas illat memabukkan.minuman illat lain yang dibuat umpamanya dari kurma atau dari gandum, karena juga memabukkan, dari dasar qiyas atau analogi, hukumnya dalam fiqih adalah haram pula. Haramnya minuman keras dari kurma dan gandum yang tidak ada nash hukumnya, disamakan dengan haramnya khamar yang ada nash hukumnya dalam Al-Qur’an.
Selanjutnya terdapat pula istilah al-istihsan yang mengandung arti memandang lebih baik dalam istilah fiqih “meninggalkan qiyas jelas untuk mengambil qiyas tak jelas” atau “meninggalkan hukum umum untuk mengambil hukum kecuali” karena dipadang lebih baik.
Semua kata-kata tersebut diatas mengandung arti berfikir atau memakai akal oleh karena itu tidak mengherankan kalau Mustafa Abd Al-Raziq memandang bahwa keempat istilah ijtihad, ra’yu, qiyas dan isatihsan adalah kata-kata sinonim.
Jadi sungguhpun sumber utama dari fiqih atau hukum islam adalah Al-Qur’an dan sumber kedua adalah sunnah, dalam menentukan hukum islam, banyak dipakai akal. Bahkan sebagai telah dilihat sumber ketiga adalah ijtihad. Tidak mengherankan kalau ada ulama fiqih di zaman modern ini memasukkan pembahasan usul fiqih dalam bidang filsafat. Syeikh Mustafa Abd Ar-Razik dari Al-Ahzar memasukkan dalam bukunya : yang telah dikutip atas argumennya ialah karena dalam ilmu ushul fiqih banyak dipakai ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan ilmu mantiq atau logika. Dalam pendapatnya ushul fiqih banyak dipengaruhi oleh filsafat.[4]
C.      Syarat-Syarat Mujtahid
Para ahli menetapkan syarat atau kriteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu seorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya.
1.         Syarat yang berhubungan dengan kepribadian. Syarat kepribadian menyangkut dua hal:
a.         Syarat umum yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah balig dan berakal.
Seseorang mujtahid itu harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak-anak tidak akan mungkin melakukan ijtihad. Kemudian, seseorang mujtahid itu harus berakal atau sempurna akalnya, karena pada orang yang berakal ditemukan adanya kemapuan ilmu dan ijtihad itu sendiri adalah suatu karya ilmiah. Orang yang tidak sempurna akalnya seperti orang gila tidak akan mungkin melakukan ijtihad.
b.        Syarat kepribadian khusus. Ijtihad itu merupakan karya ilmiah secara umum. Namun yang dilakukan dan dihasilkan dalamnya adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah. Oleh karena itu dituntut pada seorang mujtahid adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Ia percaya akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan percaya akan adanya hukum Allah yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia percaya kepadaa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dan percaya pula akan fungsi beliau sebagai sebagai penyampai dan penjelas hukum Allah kepada umat manusia.[5]
2.         Syarat yang berhubungan dengan kemampuan.
Seseorang harus memiliki kemampuan akademis untuk meneliti dan menggali huku syara’ dari dalil-dalinya serta memuaskannya dalam formulasi hukum. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Mengetahui “ilmu alat”, dalam hal ini adalah bahasa Arab, karena sumber pokok hukum syara’, yaitu Al-Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Pengetahuan akan bahasa Arab ini meliputi seluruh seginya seperti ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, dan badi’.
b.        Pengetahuan tentang Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber asasi hukum syara’. Karena itu seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang Al-Qur’an. Persyaratan ini disepakati oleh semua ulama, karena tidak mungkin seseorang dapat memahami syariah, apalagi menggali dan merumuskannya tanpa memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an.

c.         Memahami hadis Nabi
Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang hadis atau sunnah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam. Di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an. Pemahaman akan hadis tersebut meliputi keseluruhannya, baik yang qauliyah, fi’liyah, maupun taqririyah.
d.        Pengetahuan tentang Ijma’ Ulama
Setiap mujtahid harus mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama. Dengan demikian, ia akan mengetahui kasus atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya talah di-ijma’-kan ulama, setidaknya dalam hal-hal yang menyangkut pokok-pokok kewajiban agama dan hal yang harus diketahui setiap muslim secara dharuri, seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji serta kewajiban pokok lainnya.
e.         Pengetahuan tentang qiyas
Qiyas disepakati oleh ulama jumhur sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum Allah. Oleh karena itu, setiap yang akan menggali dan menemukan hukum Allah (berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyas.
f.         Pengetahuan tentang maksud Syari’ dalam menetapkan hukum
Setiap mujtahid harus dapat mengetahui maksud Syari’ dalam menerapkan suatu hukum, sehingga dengan demikian saat mencari dan menggali hukum melalui ijtihad, ia dapat berpedoman kapada tujuan Syari’ tersebut.
g.        Pengetahuan tentang ushul fiqh
Seorang mujtahid harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh, karena ilmu ini mempelajari apa-apa yang diperlukan untuk berijtihad. Dengan ilmu ini ia akan mampu menegembalikan furu’ kepada ashal dengan cara yang mudah. Sebaliknya, bila ia kurang menguasai ilmu ushul fiqh, maka akan menemui kesulitan untuk mengembalikan masalah tersebut dan mungkin keliru.[6]
Untuk menjadi mujtahid yang mutlat seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Mengetahui secara mendalam Nash-Nash Al-qur’an dan as-sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
b.      Kalau ia memegangi ijma’, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa yang telah di ijma’kan.
c.       Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih, karena ilmu ini merupakan dasar pokok di dalam berijtihad.
d.      Mengetahui secara mendalam tentang nasikh mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula dalil yang tidak d mansukh.
e.       Mengetahui mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
Ulama’ ushul berpendapat bahwa ijtihad ini boleh sebagian hukum saja, artinya boleh berijtihad pada beberapa masalah saja.
Diharuskan bagi ulama’ yang berijtihad pada sebagian hukum saja itu untuk mengetahui hokum apa yang diijtihadkan itu, ia tidak perlu mengetahui seluruh hal-hal yang berkaitan dengan segala macam hukum sebagaimana mujtahid mutlak.[7]
D.      Tingkatan Mujtahid
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuti “umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlak itu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan  mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
Adapun tingkat para mujtahid, menurut para ulama, di antaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
1.      Mujtahid Mustaqil.
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, ia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab  yang ada. Menurut As-Suyuti, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.      Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun ia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai mutlak mustasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid  kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya.  Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3.      Mujtahid Muqayyad / Mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terkait oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
4.      Mujtahid Tajrih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab majmu’ mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.[8]
5.      Mujtahid Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, “tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut.[9]
E.       Lapangan Ijtihad
Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan dalam menghadapi masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan maupun Hadis Nabi. Hal ini sejalan dengan apa yang dapat ditangkap dari dialog antara Nabi dan Mu’adz ibn Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa lapangan ijtihad itu adalah masalah-masalah yang hukumnya tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis itu dapat dilihat dari dua segi:
1.      Al-Qur’an dan Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan tidak pula sebagiannya.
2.      Secara jelas, langsung dan menyeluruh memang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya.
Penjelasan yang mengenai bagian umpamanya memindahkan organ orang-orang mati kepada orang hidup (transplantasi), memang tidak ada penjelasannya dalam Al-Qur’an maupun hadis secara jelas, namun ada larangan merusak jasad orang mati dalam Hadis Nabi. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan Al-Qur’an dan hadis, maka diperlukan ijtihad. Dengan demikian, ketidakpastian itu dapat dirinci menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Tidak pasti keberadaannya sebagai nash, namun pasti penunjukannya terhadap hukum.
2.      Tidak pasti penunjukan terhadap hukum (zhannĭ al-dilâlah) tetapi pasti keberadaan sabagai dalil nash (qath’i al-wurûd).
3.      Tidak pasti keberadaannya sebagai dalil atau nash dan tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-wurud wa al-dilâlah).[10]
F.       Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasa ini adalah thariqah, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, merumuskan hukum syara'.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ijtihad itu pada dasarnya adalah usaha untuk memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara'. Bagi hukum yang jelas terdapat dalam nash yang berisi hukum itu dan merumuskannya dalam bentuk rumusan hukum yang mudah dilaksanakan secara operasional. Bagi hukum yang yang tidak tersurat secara jelas dalam nash, kerja ijtihad adalah mencari apa yang terdapat di balik nash tersebut, kemudian merumuskannya dalam bentuk hukum. Bagi hukum yang sama sekali tidak ditemukan petunjuknya dalam nash, tetapi mujahid menyadari bahwa hukum Allah pasti ada, maka kerja ijtihad adalah menggali sampai menemukan hokum Allah, kemudian merumuskannya dalam rumusan hukum yang operasional. Di antara ulama ada yang menganggap bentuk terakhir inilah yang disebut ijtihad dalam arti sebenarnya; sedangkan ulama lain menganggap semua kegiatan untuk menemukan hukum Allah tersebut dapat disebut ijtihad.
Dalam pengertian ijtihad diatas, ushul fiqh membahas tentang langkah yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid. Hadis yang sangat populer tentang dialog Nabi dengan Mu'adz ibn Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi wali, merupakan dasar dari langkah ijtihad. Langkah Mu'adz ibn Jabal dalam menghadapi sesuatu masalah hukum adalah: pertama, mencari jawabannya dalam al-Qur'an; kedua, jika tidak menemukan dalam al-Qur'an, ia mencarinya dalam sunnah Nabi; ketiga, bila dalam sunnah juga tidak ditemukan maka ia menggunakan akal (ra'yu).
Kronologis langkah yang dilakukan oleh Mu'adz ibn Jabal itu diikuti pula oleh utama yang datang sesudahnya, termasuk imam mazhab terkemuka yang populer. Namun mereka berbeda dalam cara memahami al-Qur'an, berbeda dalam peneriman hadis-hadis tertentu serta pemahaman maksudnya, begitu pula mereka berbeda mengenai kadar penggunaan akal dalam menetapkan hukum. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam menetapkan fiqh  yang mereka rumuskan dan pada akhirnya menghasilkan beberapa mazhab fiqh yang satu sama lainnya memiliki perbedaan,tetapi semuanya diakui keberadaannya dalam Islam.[11]
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam istinbath hukum.
1.          Langkan pertama yang harus dilakukan mujtahid adalah merujuk pada al-Qur'an. Kemutlakannya bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir, maka si mujtahid harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafaz khas yang akan men-takhsis-kan; lafaz muqayyad yang menjelaskan; qarinah (petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya.
Selanjutnya, dalam meneliti ayat al-Qur'an yang mengandung hukum tersebut perlu dipilah-pilah antara lafaz-nya yang zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Perlu dipilah juga antara penunjukannya secara haqiqat dan majaz; antara yang sharih dan kinayah. Kemudian diteliti penunjukan secara 'ibarah, isyarah, iqtidhah, dan dilalah. Diperiksan pula manthuq-nya dan dicari mafhum yang terdapat sibalik manthuq itu.
Hukum dalam al-Qur'an itu dianalisis dari segala seginya. Bila mujtahid tidak menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat secara jelas dalam teks atau manthuq Al-Qur'an, ia mencarinya dari pengertian yang terkandung (tersirat) di balik teks al-Qur'an.
Dari pengkajian dan penelitian terhadap al-Qur'an secara menyeluruh, mujtahid akan menemukan hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an.
2.    Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur'an, mujtahid melangkah ke tahap berikutnya, yaitu merujuk kepada sunnah Nabi. Mula-mula mujtahid mencarinya dari sunah yang mutawatir, kemudian dari sunah yang tingkat kesahihannya berada dibawah mutawatir. Bila tidak menemukan dari yang tersurat dalam lafaz hadis, mujtahid mencarinya dari apa yang tersirat dibalik lafaz itu.
3.    Langkah selanjutnya, mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut.
4.    Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fiqih.
Meskipun ulama sepakat untuk menjadikan al-Qur'an sebagai rujukan utama, namun dalam cara memahami al-Qur'an untuk menemukan hukum dari al-Qur'an mereka berbeda pendapat. Demikian juga meskipun secara prinsip mereka sepakan menggunakan sunah Nabi sebagai rujukan kedua, namun dalam menetapkan dan menilai suatu hadis untuk dijadikan rujukan, mereka berbeda pendapat karena berbeda dalam melihat kesahihan hadis. Selanjutnya, meskipun mereka sepakat menerima kebenaran sebuah hadis, tetapi dalam memahami maksudnya belum tentu sependapat. Dalam menggukan ra'yu (nalar) sebagai alat dan rujukan dalam berijtihad, terdapat perbedaan yang meluas sekali. Mereka berbeda dalam cara dan langkah-langkah yang digunakan, dan berbeda dalam melihatnya sebagai suatu kekuatan dalam kekuatan hukum. Meskipun secara prinsip ulama mujtahid sependapat dalam penggunaan tiga sumber diatas (al-Qur'an, sunah, ijma'), namun dalam penempatan urutan penggunaannya terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan dalam urutan ini terlihat ketika di temukan pembenturan antara pentunjuk dengan petunjuk lain. Dalam hal ini timbul masalah yang di perbincangankan ulama mengenai petunjuk mana yang diutamakan dalam pengamalannya. Umpanya:[12]
a.       Apakah ijma' harus di dahulukan atas hadis ahad (yang dialah-nya zhanni) dengan pertimbangan bahwa ijma' itu dhialah-nya qath'i sedangkan hadis ahad dialah-nya zhanni atau hadis ahad harus didahlukan atas ijma' dengan pertimbangan bahwa hadis itu merupakan sandaran ijma'.
b.       Demikian pula dalam hal mendahulukan ijma' atas qiyas. Ada yang mendahulukan ijma' atas qiyas dengan pertimbangan isyarat firman Allah dalam surat An-nisaa (4):59, yang menyebutkan "ketaatan kepada ulil amri (ijma')" lebih dahulu atas " mengembalikan hal yang diperdebatkan kepada Allah dan Rasul (qiyas)". Ada juga yang mendahulukan qiyas atas ijma' dengan pertimbangan Hadis Nabi yang memuji sikap Mu'adz dan hadis dalam menetapkan hukum.
Disamping empat rujukan tersebut (Al-Qur'an, sunah, ijma' dan qiyas) yang disepakati secara prinsip, diantara ulama mujtahid ada yang menggunakan cara-cara lain secara  tersendiri yang antara seorang mujtahid dengan yang lainnya belum tentu sama. Ide dan cara yang digunakan oleh mujtahid diluar empat rujukan diatas ada yang diikuti oleh mujtahid lain dan ada banyak pula mujadi yang menolaknya. Perbedaan dalam segala segi yang disebutkan diatas menyebabkan hasil ijtihad temuan setiap mujtahid pun terdapat perbedaan dan masing-masing diikuti oleh orang-orang yang menganggapnya benar.[13]
Langkah dan metode istinbath yang dilakukan Abu Hanifah adalah sebagaimana  yang tampak dalam ucapannya yang populer dan dikutip hampir semua kitab Ush Fiqh, yaitu: Saya mengambilnya dari al-Qur'an sejauh yang mungkin saya temukan. Kalau tidak saya temukan dalam al-Qur'an saya ambil dari sunah Nabi dan atsar-nya yang sahih yang tersebar luas dikalangan orang-orang yang terpercaya. Kalau tidak saya temukan dalam kitab Allah dan sunah Nabi, saya ambil dari ucapan para sahabat Nabi yang saya kehendaki. Kemudian saya tidak akan keluar dari ucapannya untuk mengambil ucapan sahabat yang lain. Bila berakhir suatu urusan kepada pendapat Ibrahim, Hasan, Ibnu Sirrin, Sa'id ibn al-Musayyab, dan lain-lain melalui ijtihadnya, saya akan berijtihad sebagaimana mereka melakukan ijtihad.
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam mazhab yang empat, yaitu:
a.       Metode ijtihad Imam Abu Hanafiah, adalah sebagai berikut al-Qur'an; Sunah Nabi dengan caranya yang ketat dan hati-hati, pendapat sahabat,  qiyas dalam penggunaan yang luas, istihsan dan telah syariat. Tidak disebutkannya ijma' dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanafiah menolak ijma' tetapi menggunakan ijma' sahabat yang tergambar dalam ucapannya diatas.
b.    Imam Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut: al-Qur'an, Sunah Nabi, amal ahli Madinah, maslahat mursalah, qiyas dan Saddu al-Zari'ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan disini berarti ijma' dalam artian umum.
c.    Imam Syafi'i menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut: Al-Qur'an, sunah Nabi yang shahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad), ijma' seluruh mujtahid umat Islam dan qiyas. Al-Qur'an dan sunah dijadikannya dalam satu level sedangkan ijma' sahabat lebih kuat dari ijma' ulama dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishan.
d.   Iman Ahmad ibn Hambal dalam berijtihad menempuh langkah sebagai berikut: mula-mula mencarinya dalam nash al-Qur'an san Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat disini ialah fatwa sahabat dalam keadaan pendapat mereka sama, yakni ijma' sahabat) kemudian memilih di antara fatwa sahabat bila diantara fatwa itu terdapat beda pendapat; selanjutnya mengambil hadis mursal dan hadis yang tingkatnya diperkirakan lemah; baru terakhir menempuh jalan qiyas.[14]
G.      Hukum Berijtihad
Hukum melakukan kegiatan ijtihad adalah sebagai berikut:
1.      Apabila seseorang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan dirinya mengahadapi masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ‘ain) melakukan kegiatan ijtihad. Ia wajib mengamalkan hasil ijtihadnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lainnya.
2.      Demikian juga, jika hanya ia yang memenuhi persyaratan ijtihad dan tidak ada yang lainnya, sedangkan ia ditanya orang tentang masalah hukum yang memerlukan jawaban hukum yang sifatnya segera, yang jika ia tidak berijtihad, akan terjadi kesalahan dalam penerapan hukum syara’. Hukum melakukan ijtihad pada keadaan seperti itu adalah wajib baginya. Akan tetapi, jika ada orang lain yang yang memenuhi syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi wajib kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan ijtihad dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka semua mereka yang memenuhi syarat berijtihad menjadi berdosa.
3.      Hukum berijtihad adalah sunnah, apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang belum terjadi, baik masalah itu ditanyakan orang kepada si mujtahid ataupun tidak. Demikian juga terhadap masalah-masalah ynag sudah terjadi, tetapi tidak memerlukan jawaban hukum yang bersifat segera.
4.      Hukum melakukan kegiatan ijtihad menjadi haram, apabila ditujukan terhadap masalah-masalah yang telah jelas hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an maupun sunnah yang bersifat qath’i ats-tsubUt wa ad-dalâlah.
5.      Sedangkan tehadap masalah-masalah yang tidak didasarkan atas nash yang bersifat qath’i ats-tsubût/al-wurûd wa ad-dalâlah, maka hukumnya adalah mubah.[15]




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil Nash (Al-qur’an dan Al-hadist), sedangkan  Mujitahid adalah ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh kesanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengintinbathkan hukum dari Al-qur’an dan as-sunah
Untuk menjadi mujtahid yang mutlat seseorang harus memenuhi berbagai syarat ; Mengetahui secara mendalam Nash-Nash Al-qur’an dan as-sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya, kalau ia memegangi ijma’, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa yang telah di ijma’kan, mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih, karena ilmu ini merupakan dasar pokok di dalam berijtih, mengetahui secara mendalam tentang nasikh mansukh, mana dalil yang sudah mansukh mana pula dalil yang tidak d mansukh, mengetahui mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
Ada beberapa tingkatan mujtahid, antaranya Mujtahid Mustaqil, Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil, Mujtahid Muqayyad / Mujtahid Takhrij, Mujtahid Tajrih, Mujtahid Fatwa dan hukum berijtihad antara lain wajib ‘ain, wajib kifayah, Sunnat.
B.       SARAN
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.




DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yokyakarta: Sukses Offset.
Dahlan, Abd. Rahman.2010.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Zuhri,Saifuddin. 2009. Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.







[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 257-258
[2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yokyakarta: sukses offset, 2009), hlm. 195-196
[3] Abd. Rahman Dahlan, ushul fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 341-342.
[4] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: pustaka pelajar offset, 2009), hlm. 75-76
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm. 291-293
[6] Ibid. 293-301
[7]  Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, hlm. 196-197
[8] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 108-109
[9] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 109
[10]Ibid. 328-330.
[11] Ibid. 323-324
[12] Ibid. 324-326
[13] Ibid. 326
[14] Ibid. 327-328
[15]Ibid. 352-353.

1 komentar:

  1. Casino Site Review - Lucky Club Live
    Casino site. Lucky Club Live is the latest in our family of luckyclub.live slots betting enthusiasts. We aim to provide all our clients with a thrilling, fun and  Rating: 4 · ‎Review by LuckyClub

    BalasHapus