PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ijma’
adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentative
setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara’.
Apabila
terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat islam pada
waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka
kesepakatan hal itu disebut ijma’, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu
hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat
islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah,
karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali
hukum syariat islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat
hukum islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena
kesepakatan itu tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang. Oleh karena
itu, kami menganggkat tema tentang ijma’ agar meminimalisirkan perdebatan
pendapat yang terjadi.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Jelaskan
yang dimaksud dengan ijma’ ?
2.
Bagaimana
kedudukan ijma’ ?
3.
Bagaimana
perbedaan pendapat mengenai ijma’?
4.
Bagaimana hukum mengingkari ijma’ ?
5.
Bagaimana masa ijma’ ?
6.
Apa
sajakah macam – macam ijma’ ?
7.
Apa
sajakah syarat – syarat ijma’ ?
8.
Apa
sajakah syarat – syarat mujtahid ?
9.
Apa
sajakah rukun ijma’ ?
10.
Apa saja contoh-contoh ijma’ ?
C.
Tujuan Masalah
Tujuan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui pengertian ijma’
2.
Untuk
mengetahui kedudukan ijma’
3.
Untuk
mengetahui perbedaan pendapat mengenai ijma’
4.
Untuk
mengetahui hukum
mengingkari ijma’
5.
Untuk
mengetahui masa ijma’
6.
Untuk
mengetahui macam – macam ijma’
7.
Untuk
mengetahui syarat – syarat ijma’
8.
Untuk
mengetahui syarat – syarat mujtahid
9.
Untuk
mengetahui rukun ijma’
10.
Untuk
mengetahui contoh – contoh
ijma’
D.
Manfaat
Manfaat makalah ini yaitu dapat
menambah wawasan para pembaca akan hal ijma’ sebagai sumber hukum sehingga
pembaca dapat menambah wawasan dalam materi keagamaan dan keyakinannya serta
ketakwaan pada Allah SWT. sehingga dapat menghasilkan hidup yang baik dan
tentram serta nyaman di dunia dan di akhirat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
Kata
Ijma’ (الاجماع) secara bahasa berarti “kesepakata atau
konsensus”, juga berarti tekad atau niat (العز م على شيء) [1] berdasarkan firman Allah
SWT :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ
الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ
لَا يَشْعُرُونَ
“Mak tatkala
mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedasar
sumur (lalu mereka memasukkan dia) dan (diwaktu dia sudah ada didalam
sumur) kami wahyukan kepada yusuf, ‘‘sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada
mereka perbuatan mereka ini sedang mereka tiada ingat lagi". (QS. Yusuf :
15).[2]
Adapun menurut istilah Jumhur Ulama
Ushul Fiqh mengemukakan bahwa ijma’ adalah:
اتفا ق
جميع ا لمجتهد ين من ا لمسلمين في عصر من
العصور بعد و فاة الر سول صلى الله عليه و
سلم على حكم شر عي
“Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Atas suatu Hukum Syara’ terhadap peristiwa
yang terjadi.”
Melihat definisi tersebut, ijma’ bisa dikatakan benar kalau semua
Mujtahid pada waktu itu memberikan pendapatnya, baik dengan perkataan, sikap
maupun perbuatan.[3]
B.
Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama
berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang
bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan di amalkan. Itulah sebabnya, jumhur
ulama menempatkan ijma’ sebagai sumber dalil dan hukum yang ketiga setelah
Al-Quran dan sunnah. Menurut jumhur ulama, dalil ijma’ sebagai hujjah yang
pasti, didasarkan alasan-alasan berikut :
Al-Quran surah an-Nisa’ (4): 115
و من يشا قق ا لر سو ل من بعد ما تبين له ا
لهد ى يتبع غير سبل ا لمؤ منين نو له ما تولي ونصله
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia
kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa
yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang
Rasulullah Saw, dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya
ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib.
Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena
meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka
mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib, dengan demikian mengikuti
ijma’ adalah wajib.[4]
Seluruh ulama' sepakat
bahwa ijma' merupakan hujjah. Berdasarkan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang beriman,
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya dan orang-orang yang memegang kekuasaan
diantara kamu sekalian" (Qs. An-Nisa :59).
Berdasarkan dalil-dalil diatas,
Ijma' memiliki kedudukan sumber hukum islam setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah.[5] Menurut pendapat Maliki, Syafe’I, Hanafi,
dan Hambali, mungkin saja ijma’ itu diketahui secara mudah, seperti dengan
mengajarkan kepada murid-muridnya, atau kepada orang yang dibawanya serta
mengajarkan kepada generasi sesudahnya.[6]
C.
Perbedaaan Pendapat Mengenai Ijma’
Realisasi ijma pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar dan Umar hanya berbentuk permusyawaratan
diantara ulama-ulama sahabat dalam mengahadapi suatu masalah, di mana para
sahabat tersebut tidak mendapati hukumnya di dalam Al-qur'an dan Hadis nabi.
Jadi, ijma pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar tidak lain dari hasil
permusyawaratan yang dilakukan oleh mereka yang dipandang dapat mewakili rakyat
atas dasar perintah kepala negara.
Namun, setelah berlalu abad pertama
dan abad kedua muncullah bermacam-macam pendapat ulama mujtahid tentang
pengertian ijma tersebut. Di antara pengertian yang populer di kalangan ahli
ulama fiqh ialah: kesepakatan semua ahli ijtihad dikalangan kaum Muslimin pada
suatu masa yang terjadi sesudah wafatnya Rasulullah Saw. atas suatu hukum pada
suatu kejadian.
Pengertian sebagaimana dimaksud
tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar,
karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan mereka berkumpul pada suatu
tempa. Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan mujtahid telah banyak dan
terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk mengetahui bahwa
mereka tahu tentang masalah yang sedang akan diijmakan tersebut.[7]
Menurut Imam
Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Hanafi tidak mustahil terjadinya
ijma’ jika tidak terdapat dalam kitab dan sunnah. Kesepakatan para ulama itu
mungkin saja terjadi secara mudah sekalipun tempat mereka berjauhan, lebih - lebih
lagi pada masa sekarang seperti dengan perantaraan tulisan atau dengan
memberikan kabar kepada para ulama mengenai suatu masalah.[8]
Adapun ulama yang mengatakan bahwa
tidak mungkin terjadi ijma’ dengan alasan : 1. Kita sulit untuk menentukan
siapa yang disebut mujtahid itu, 2. Dengan tersebarnya para mujtahid diseluruh
alam, 3. Tidak mungkin seorang mujtahidttidak berubah pendiriannya dalam
berpendapat, 4. Tidak mungkin para mujtahid sepakat atas asatu hal yang
didasarkan kepada dalil yang sifatnya zhanniy (relatif).[9]
D.
Mengingkari Hasil Ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui
adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia
secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah
ditetapkan oleh ijma’.[10] Pengingkaran terhadap
hasil ijma’ itu dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.
Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu
dalil hukum yang mengikat karena memang tidak ada dalil sharih dengan
dilalah yang qath’i tentang kehujjahan ijma’ tersebut yang dapat
diterima semua pihak.
2.
Ia mengakui ijma’ sebagai hujjah syari’ah secara prinsip,
nemun ia menolak menerima ijma’ tertentu karena menurut keyakinannya
cara penukilan ijma’ itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa
memang telah berlangsung ijma’ tentang suatu masalah.
3.
Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti
bahwa ijma’ telah berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hukum oarang
yang mengingkari ijma’ dengan alasan tersebut. Sebagian ulama berpendaoat
bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama
lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’. Mereka juga
sepakat tentang tidak kafirmya orang yang mengingkari ijma’ yang zhanni.
Para ulama sepakat yang menyatakan kafir orang yang megingkari ijma’
yang qath’i berpenfdapat bahwa keingkaran akan hukum ijma’ mengandung
arti mengingkari dalil qath’i. Ini berarti mengingkari kebenaran rislaah
yang dibawa Nabi. Sikap demikian nukumnya kafir sebagaimana mengingkari al-Qur’an
dan sunah Nabi.
Ulama yang menolak beralasan bahwa dalil tentang kekuatan hujah ijma’
berdasarkan kepada dalil yang tidak qath’i tetapi hanya zhanni. Karenanya
tidak menibulkan hukum yang meyakinkan. Mengingkari hukum yang tidak
meyakinkan, tidak sampai kepada kafir. Dengan demikian, kita tidak dapat
mengkafirkan orang yang memang secara prinsip tidak meyakini ke qath’ian hasil
ijma’.[11]
E.
Masa Ijma’
Sejak periode sahabat hingga masa-masa imam mujtahid, pemikiran
ijma’ telah berkembang melalui periodesasi sebagai berikut:
1.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, Khalifah Umar bin
Khattab misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar
pikiran dalam menetapkan hukum beberapa masalah yang mereka hadapi. Jika mereka
telah bersepakat pada sesuatu hukum, maka dia menjalankan pemerintahannya
berdasarkan hukum yang telah disepakati. Tetapi bila mereka belum menemukan
titik temu, maka mereka mengkaji kembali, hingga mencapai pada hukum yang
diputuskan oleh kalangan fuqoha di antara kalangan sahabat itu. Dengan demikian
hukum tersebut telah disepakati para mujtahid yang tentunya mempunyai kedudukan
yang lebih kuat dari pendapat pribadi. Namun pada umumnya, hukum-hukum yang
disepakati adalah hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh nash al-Qur’an san
Hadits.
2.
Pada masa ijtihad, para imam mujtahid berusaha agar pendapatnya
tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh para fuqoha di negerinya,
sehingga imam mujtahid tersebut tidak dipandang menyimpang dalam pola pikirnya.
Imam Abu Hanifah misalnya berusaha keras untuk mengikuti hukum yang telah
disepakati oleh ulama kufah yang hidup sebelumnya. Sedangkan Imam Malik
menganggap bahwa Ijma’ ahli Madinah dapat dijadikan argumentasi.
3.
Para fuqoha berusaha keras untuk mengetahui Ijma’ dari sahabat
untuk diikuti, agar mereka tidak menyimpang dari hukum yang telah disepakati
oleh para sahabat. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka,
maka mereka berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari pendapat-pendapat
para sahabat.[12]
F.
Macam – macam Ijma’
Ijma'dilihat dari segi bentuknya, biasanya meliputi atau terbagi
pada tiga macam:
1.
Ijma' dengan perbuatan (ijma' fi'liyah), artinya perbuatan para
mujtahid menunjukkan persetujuan atas hukum sesuatu masalah, demean bentuk
perbuatan. Seperti seseorang mujtahid makan daging kuda misalnya, menunjukkan
ia menghukumkan halal daging kuda dengan jalan perbuatannya.
2.
Ijma' dengan perkataan (ijma' qauliyah), artinya mujtahid
mengatakan persetujuannya terhadap hukum satu masalah dengan bentuk kata-kata
atau ucapan.
3.
Ijma' dengan diam (ijma' sukuty), artinya para mujtahid yang
mendiamkan hukum satu masalah yang telah disepakati mujtahid lain, ini berarti
menyetujui kesepakatan itu.[13]
Ijma’ sharih adalah ijma’
yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum
syara’. Sedangkan ijma’sukuti adalah yang seakan-akan, karena diam tidak
berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak
pasti terjadinya ijma’. Dengan demikian kehujjahan ijma’ ini
masih dipersilisihkan: jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukan ijma’,
iya hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu. Ulama kelompok Hanafi
berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’ jika mujtahid yang
diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang dimaksud, sudah ditunjukkan
kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu
yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak dikemukakan alasan mengenai diamnya; apakah karena takut, terkena
bujukan, payah, atau karena mendapat
ejekan.
Karena
diamnya seseorang mujtahid dalam kedudukannyas ebagai
pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum
syara’ dalamwaktu yang cukup untuk membahas
dan mempelajari, juga tidak ada halangan
untuk
menyampaikan pendapatnya yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain). Sebab,
jika pen dapatnya
bertentangan, tidak mungkin dia hanya
diam.
Pendapat
yang saya anggap lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama; karena seorang
mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan,
baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti semua
masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu memutuskan bahwa diamnya
adalah setuju dan dapat menerima pendapat yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak dapatd ikatakan setuju atau menentang.
Sedangkan
sebagian
besar yang dinamakan ijma’ adalah
ijma’ sukuti.
Ijma’
ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau
dugaan, ada dua macam: pertama, ijma’ yang mempunyai petunjuk hukum
pasti, yaitu ijma’ sharih. Yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan
untuk menetapkan hukum yang lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya dan
tidak boleh menjadikan obyek ijtihad pada peristiwa yang telah ditetapkan dalam
ijma’ sharih atas hukumnya. Kedua, ijma’ yang
mempunyai
petunjuk
hukum
dugaan
menurut
dugaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada
peristiwa yang telah diduga hukumnya, karena ijma’ ini cerminan dari
pendapat sekelompok mujtahid, bukan seluruhnya.[14]
G.
Syarat –
syarat Ijma’
Adapu
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ijma’
1.
Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid.
Mujtahid secara umum diartikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil Syara’. Dalam kitab Jam’ul
Jamawi disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih.[15]Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’.
Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi. Istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wahdi dalam kitab Isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal aqdi.
2.
Yang Bersepakat adalah
Seluruh Mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila
dilakukan oleh sebagian besar Mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’,
termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut
kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hokum keseluruhan.
Ada yang berpendapat bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu
adalah Hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena
kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil
sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
3.
Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari
golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada
juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan
Muhammad. Arti mukallaf itu sendiri adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
4.
Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik,
dan dianggap sebagai syari’at.
5.
Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at.
Maksudnya kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada
kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan
lainnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa
kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan
pendapat Al-Juwaini dalam kitab
Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul
usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir,
dan lainnya.[16]
H.
Syarat – syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Imam al Ghazali menyatakan
mujtahid mempunyai dua syarat yaitu:
1.
Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzanni di
dalan hal yang syara’ dan mendahulukan yang wajib.
2.
Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap
keadilan, mengerti dan paham akan tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sempurna
da menyeluruh, mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian
terhadap tujuan-tujuan syari’ah.
Menurut Dr.
Wahbah az Zuhaili, seorang mujtahid mempunyai dua syarat yang harus dimiliki,
yaitu:
1.
Mengetahui apa yang ada pada tuhan.
2
Mengetahui atau percaya adanya Rasul dan apa ayang dibawanya juga
mukjizat-mukjizat ayat-ayat Allah.
Al-Syatibi
berpendapat bahwa mujtahid hendaknya memiliki empat syarat yaitu:
1
Memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, Sunnah, dan tentang masalah
Ijma’ sebelumnya.
2.
Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
3
Menguasi ilmu Bahasa Arab.
4.
Memiliki pengetahuan tentang masaqid al-Syariah (tujuan syarat).
Selain dari
pendapat terkemuka tersebut para ulama Ushul Fiqh juga telah menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sebelum melakukan
ijtihad diantaranya yaitu:[17]
1.
Mengetahui Bahasa Arab.
2.
Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang al-Qur’an.
3.
Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang as-Sunnah
4.
Mengetahui letak dan khilaf.
5.
Mengetahui tujuan dari syariat Islam.
6.
Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar.
7.
Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
8.
Mengetahui tentang manusia dan lingkungan sekitarnya.
9.
Niat dan I’tiqad yang benar.[18]
I.
Rukun Ijma’
Kemudian secara rinci, Wahba Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ itu
bisa dikatakan sah apabila memenuhi lima rukun di bawah ini, yaitu:
1)
Kesepakatan itu harus di ambil oleh seluruh ulama’ Mujtahid. Oleh
sebab itu, setiap ulama’ Mujtahid diberi kesempatan untuk menyatakan
pendapatnya, jika ada satu orang saja di antara mereka berbeda pendapat, maka
ijma’nya tidak sah.
2)
Ijma’
harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok. Oleh sebab itu ijma’ tidak
sah hanya dilakukan oleh seorang Mujtahid, walaupun pada saat itu hanya dia
mujtahidnya.
3)
Tidak bolehh ada ijma’ Murakab, yaitu perpecahan pendapat
yang mendorong munculnya kelompok-kelompok kecil sehingga terdapat dua atau
tiga pendapat dengan pendapat yang berbeda-beda pula.
4)
Semua ulma harus menyatakan pendapat secara jelas, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan. Kalau ada di antara mereka yang tidak
menyatakan pendapatnya, maka menurut idealnya ijma’ tersebut tidak sah.
5)
Keputusan – keputusan hukum hasil ijma’ dilahirkan pada saat
mereka melakukan pembahasan dengan sidang ataupun musyawarah mufakat.[19]
J.
Contoh Ijma’
Contoh ijma’ yang menguatkan dalil sunah yang dijadikan
sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya.
Hal ini bermulai dari sebuah hadis yang lemah, namu akhirnya menjadi ijma’ yang
kuat. Latar belakang kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Seorang nenek menemui khalifah Abu Bakar untuk meminta haknya ats
harta peninggalan cucunya. Abu Bakar tidak menemukan dalilnya dalam al-Qur’an
maupun sunah Nabi. Kemudian beliau menyuruh si nenek pulang dan menunggu
jawabannya nanti. Dalam masa penantian itu Abu Bakar menanyai para sahabat
kalau-kalau ada di antara mereka yang mengetahui hadis Nabi tentang itu.
Kemudian tampil Mughirah ibn Syu’bah yang menyatakan bahwa ia mengetahui bahwa
Nabi pernsh memberikan hak bagi nenek sebanyak seperenam. Karena Abu Bakar
belum puas dengan jawaban itu, maka ia menanyai paa sahabat lain. Waktu itu
muncul Muhammad ibn Maslamah yang menyampaikan kesaksian bahwa ia juga
mengetahui Nabi berbuat demikian.
Tidak tahunya Abu Bakar akan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
sahabat itu menunjukkan bahwa hadis itu lemah. Masa Abu Bakar yang sebagian
besar hidupnya menyertai kehidupan Nabi sampai tidak mengetahui adanya hadis
Nabi itu. Namun berdasarkan berita dua orang sahabat itu, Abu Bakar pun
menetapkan kewarisan nenek sebnayak seperenam. Apa yang ditetapkan Abu Bakar
itu tidak disanggah oleh sahabat lain, sehingga ketetapan itu menjadi sebuah ijma’
dalam bentuk ijma’ sukuti dari sahabat. Dengan telah menjadi ijma’,
maka dalil hadis yang tadinya lemah dan zhanni itu telah terangkat
kualitasnya (dikuatkan) menjadi dalil qath’i yang menghasilkan hukum
yang pasti dan diterima semua pihak.
Contoh ijma’ yang berasal dari qiyas dapat dilihat
dalam kasus pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah. Keputusan ijma’ dalam
hal ini, bermula dari pendapat Umar ibn Khattab yang disampaikan dalam
pertemuan. Pendapat Umar itu didasarkan kepada pemikiran qiyas sebagaimana
terlontar dalam ucapannya, “Nabi telah bersedia menyuruh Abu Bakar sebagai
pemimpin keagamaan kita ( maksudnya menjadi imam shalat), kenapa kita tidak
bersedia menjadikannya sebagai pemimpin keduniaan kita (maksudya jabatan
khalifah) ?” Pandangan Umar itu tampaknya dapat diterima semua pihak hingga
mereka sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah, kecuali beberapa orang
dari kelompok ‘Ali ibn Abi Thalib. Kalau ketetapan itu hanya semata berdasarkan
pendapat Umar berdasarkan qiyas, maka kedudukannya hanyalah zhanni.
Namun setelah keputusan itu menjadi ijma’, maka kualitasnya menjadi qath’i.[20]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata Ijma’ (الاجماع) secara bahasa berarti “kesepakata atau
konsensus”, juga berarti tekad atau niat (العز م على شيء). Adapun menurut istilah Jumhur Ulama Ushul
Fiqh mengemukakan bahwa ijma’ adalah Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada
suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Atas suatu Hukum Syara’
terhadap peristiwa yang terjadi.
Jumhur ulama
berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada
orang yang menentang Rasulullah Saw, dan tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau
meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan
orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang
mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib,
dengan demikian mengikuti ijma’ adalah wajib Berdasarkan dalil-dalil diatas, Ijma' memiliki kedudukan sumber
hukum islam setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pendapat ulama mengenai ijma’ ada
beberapa ulama yang menyetujuinya dan ada yang tidak bersepakat atau tidak
setuju mengenai ijma’ sebagai hujjah atau sumber dalam menetapkan hukum masalah
islam.
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’
bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum atas suatu
kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa
yang telah ditetapkan oleh ijma’.
Sejak periode sahabat hingga masa-masa imam mujtahid, pemikiran
ijma’ telah berkembang melalui periodesasi sebagai berikut:
1.
Setelah Rasulullah wafat
2.
Pada masa ijtihad
3.
Para fuqoha
Ijma' dilihat dari segi bentuknya,
biasanya meliputi atau terbagi pada tiga macam yaitu, Ijma' dengan perbuatan
(ijma' fi'liyah), Ijma' dengan perkataan (ijma' qauliyah), Ijma' dengan diam
(ijma' sukuty).
Adapu
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ijma’
1.
Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid.
2.
Yang Bersepakat adalah
Seluruh Mujtahid.
3.
Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW
4.
Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
5.
Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at
Mujtahid ialah orang yang berijtihad
dan berikut adalah syarat – syarat mujtahid:
1.
Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzanni di
dalan hal yang syara’ dan mendahulukan yang wajib.
2.
Adil.
3.
Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
4.
Menguasi ilmu Bahasa Arab.
5.
Mengetahui tentang manusia dan lingkungan sekitarnya.
6.
Niat dan I’tiqad yang benar.
Kemudian secara rinci, Wahba Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ itu
bisa dikatakan sah apabila memenuhi lima rukun di bawah ini, yaitu:
1)
Kesepakatan itu harus di ambil oleh seluruh ulama’ Mujtahid.
2)
Ijma’
harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok.
3)
Tidak bolehh ada ijma’ Murakab.
4)
Semua ulama harus menyatakan pendapat secara jelas, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan.
5)
Keputusan – keputusan hukum hasil ijma’ dilahirkan pada saat
mereka melakukan pembahasan dengan sidang ataupun musyawarah mufakat.
Contoh ijma’ yang menguatkan dalil
sunah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari harta
peninggalan cucunya. Hal ini bermulai dari sebuah hadis yang lemah, namu
akhirnya menjadi ijma’ yang kuat.
B.
Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk
memahami diantara sumber-sumber islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya
tatanan umat atau masyarakat adil dan makmur. Dan demikianlah makalah ini yang
dapat kami buat, kami sebagai manusia biasa tentu masih banyak
kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami sangat berharap
teman-teman terutama dari dosen pembimbing mata kulia Ushul Fiqh untuk memberi
saran yang membangun kepada kelompok kami.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Saifudin, Ilmu Fiqh, Bandung: Tafakur, 2007.
Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017.
Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta:
RajaGrafindo, 2011
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Amirrudin dan Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, Bandung :
Refika Aditama,
2016.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1. Jakarta: Kencana, 2008.
Hasan,
Ahmad. Ijma’. Bandung: Pustaka, 1976.
Ali,
Mohammad Daud. PengantarImuHukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
[1] Amirrudin dan
Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung
: Refika Aditama, 2016), hlm 51.
[2] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), hlm 90 – 91.
[3] Amirrudin dan
Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung
: Refika Aditama, 2016), hlm 51.
[4] Rahman Dahlan,
Ushul Fiqh, (Jakarta :Amzah, 2010), hlm 148 – 149 .
[5] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), hlm 91 – 92.
[6] Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hlm 56.
[7] Alaiddin Koto,
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), hlm 79.
[8] Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hlm 55 – 56.
[9] Saifudin Nur, Ilmu
Fiqh, (Bandung : Tafakur, 2007), hlm 48.
[10] Ibid, hlm. 44.
[11] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 44 dan 45
[12]Mohammad Daud
Ali, PengantarImuHukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 153-155.
[13] Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 183 dan 184.
[14] Faiz el
Muttaqin, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 63.
[15]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 70.
[17]Mohammad Daud
Ali, PengantarilmuHukum, (Jakarta: RajawaliPers, 2014) hlm. 111-114.
[19] Amirrudin dan
Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm
51.
[20] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm 302 dan 303.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar