Minggu, 27 Mei 2018

Ijma'



PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
       Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat dibawah dalil-dalil nash (Al-qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
       Apabila terjadi suatu kejadian dan dihadapkan kepada seorang mujtahid umat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu, maka kesepakatan hal itu disebut ijma’, kemudian dianggaplah ijma’ mereka atas suatu hukum mengenai hal itu, sebagai dalil bahwa hukum ini adalah hukum syariat islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan setelah kewafatan Rasulullah, karena sewaktu beliau masih hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena kesepakatan itu tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang. Oleh karena itu, kami menganggkat tema tentang ijma’ agar meminimalisirkan perdebatan pendapat yang terjadi.
B.               Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Jelaskan yang dimaksud dengan ijma’ ?
2.        Bagaimana kedudukan ijma’ ?
3.        Bagaimana perbedaan pendapat mengenai ijma’?
4.        Bagaimana hukum mengingkari ijma’ ?
5.        Bagaimana masa ijma’ ?
6.        Apa sajakah macam – macam ijma’ ?
7.        Apa sajakah syarat – syarat ijma’ ?
8.        Apa sajakah syarat – syarat mujtahid ?
9.        Apa sajakah rukun ijma’ ?
10.    Apa saja contoh-contoh ijma’ ?
C.      Tujuan Masalah
Tujuan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Untuk mengetahui pengertian ijma’
2.        Untuk mengetahui kedudukan ijma’
3.        Untuk mengetahui perbedaan pendapat mengenai ijma’
4.        Untuk mengetahui hukum mengingkari ijma’
5.        Untuk mengetahui masa ijma’
6.        Untuk mengetahui macam – macam ijma’
7.        Untuk mengetahui syarat – syarat ijma’
8.        Untuk mengetahui syarat – syarat mujtahid
9.        Untuk mengetahui rukun ijma’
10.    Untuk mengetahui contoh – contoh ijma’
D.      Manfaat
Manfaat makalah ini yaitu dapat menambah wawasan para pembaca akan hal ijma’ sebagai sumber hukum sehingga pembaca dapat menambah wawasan dalam materi keagamaan dan keyakinannya serta ketakwaan pada Allah SWT. sehingga dapat menghasilkan hidup yang baik dan tentram serta nyaman di dunia dan di akhirat.














BAB II
PEMBAHASAN
A.              Pengertian Ijma’
Kata Ijma’ (الاجماع) secara bahasa berarti “kesepakata atau konsensus”, juga berarti tekad atau niat (العز م على شيء) [1] berdasarkan firman Allah SWT :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Mak tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedasar sumur (lalu mereka memasukkan dia) dan (diwaktu dia sudah ada didalam sumur) kami wahyukan kepada yusuf, ‘‘sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini sedang mereka tiada ingat lagi". (QS. Yusuf : 15).[2]
Adapun menurut istilah Jumhur Ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa ijma’ adalah:
 اتفا ق جميع ا لمجتهد ين من ا لمسلمين في عصر  من العصور بعد و فاة الر سول صلى الله  عليه و سلم على حكم شر عي
“Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Atas suatu Hukum Syara’ terhadap peristiwa yang terjadi.”
Melihat definisi tersebut, ijma’ bisa dikatakan benar kalau semua Mujtahid pada waktu itu memberikan pendapatnya, baik dengan perkataan, sikap maupun perbuatan.[3]
B.               Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan di amalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama menempatkan ijma’ sebagai sumber dalil dan hukum yang ketiga setelah Al-Quran dan sunnah. Menurut jumhur ulama, dalil ijma’ sebagai hujjah yang pasti, didasarkan alasan-alasan berikut :
Al-Quran surah an-Nisa’ (4): 115
و من يشا قق ا لر سو ل من بعد ما تبين له ا لهد ى يتبع غير سبل ا لمؤ منين نو له ما تولي ونصله
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang Rasulullah Saw, dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib, dengan demikian mengikuti ijma’ adalah wajib.[4]
    Seluruh ulama' sepakat bahwa ijma' merupakan hujjah. Berdasarkan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu sekalian" (Qs. An-Nisa :59).
Berdasarkan dalil-dalil diatas, Ijma' memiliki kedudukan sumber hukum islam setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah.[5] Menurut pendapat Maliki, Syafe’I, Hanafi, dan Hambali, mungkin saja ijma’ itu diketahui secara mudah, seperti dengan mengajarkan kepada murid-muridnya, atau kepada orang yang dibawanya serta mengajarkan kepada generasi sesudahnya.[6]
C.              Perbedaaan Pendapat Mengenai Ijma’
Realisasi ijma pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan Umar hanya berbentuk permusyawaratan diantara ulama-ulama sahabat dalam mengahadapi suatu masalah, di mana para sahabat tersebut tidak mendapati hukumnya di dalam Al-qur'an dan Hadis nabi. Jadi, ijma pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar tidak lain dari hasil permusyawaratan yang dilakukan oleh mereka yang dipandang dapat mewakili rakyat atas dasar perintah kepala negara.
Namun, setelah berlalu abad pertama dan abad kedua muncullah bermacam-macam pendapat ulama mujtahid tentang pengertian ijma tersebut. Di antara pengertian yang populer di kalangan ahli ulama fiqh ialah: kesepakatan semua ahli ijtihad dikalangan kaum Muslimin pada suatu masa yang terjadi sesudah wafatnya Rasulullah Saw. atas suatu hukum pada suatu kejadian.
Pengertian sebagaimana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan mereka berkumpul pada suatu tempa. Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang sedang akan diijmakan tersebut.[7]
Menurut Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Hanafi tidak mustahil terjadinya ijma’ jika tidak terdapat dalam kitab dan sunnah. Kesepakatan para ulama itu mungkin saja terjadi secara mudah sekalipun tempat mereka berjauhan, lebih - lebih lagi pada masa sekarang seperti dengan perantaraan tulisan atau dengan memberikan kabar kepada para ulama mengenai suatu masalah.[8]
Adapun ulama yang mengatakan bahwa tidak mungkin terjadi ijma’ dengan alasan : 1. Kita sulit untuk menentukan siapa yang disebut mujtahid itu, 2. Dengan tersebarnya para mujtahid diseluruh alam, 3. Tidak mungkin seorang mujtahidttidak berubah pendiriannya dalam berpendapat, 4. Tidak mungkin para mujtahid sepakat atas asatu hal yang didasarkan kepada dalil yang sifatnya zhanniy (relatif).[9]

D.      Mengingkari Hasil Ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’.[10] Pengingkaran terhadap hasil ijma’ itu dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.        Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil hukum yang mengikat karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah yang qath’i tentang kehujjahan ijma’ tersebut yang dapat diterima semua pihak.
2.        Ia mengakui ijma’ sebagai hujjah syari’ah secara prinsip, nemun ia menolak menerima ijma’ tertentu karena menurut keyakinannya cara penukilan ijma’ itu tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa memang telah berlangsung ijma’ tentang suatu masalah.
3.        Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa ijma’ telah berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hukum oarang yang mengingkari ijma’ dengan alasan tersebut. Sebagian ulama berpendaoat bahwa mengingkari hukum yang sudah ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirmya orang yang mengingkari ijma’ yang zhanni.
Para ulama sepakat yang menyatakan kafir orang yang megingkari ijma’ yang qath’i berpenfdapat bahwa keingkaran akan hukum ijma’ mengandung arti mengingkari dalil qath’i. Ini berarti mengingkari kebenaran rislaah yang dibawa Nabi. Sikap demikian nukumnya kafir sebagaimana mengingkari al-Qur’an dan sunah Nabi.
Ulama yang menolak beralasan bahwa dalil tentang kekuatan hujah ijma’ berdasarkan kepada dalil yang tidak qath’i tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak menibulkan hukum yang meyakinkan. Mengingkari hukum yang tidak meyakinkan, tidak sampai kepada kafir. Dengan demikian, kita tidak dapat mengkafirkan orang yang memang secara prinsip tidak meyakini ke qath’ian hasil ijma’.[11]
E.       Masa Ijma’
Sejak periode sahabat hingga masa-masa imam mujtahid, pemikiran ijma’ telah berkembang melalui periodesasi sebagai berikut:
1.      Setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, Khalifah Umar bin Khattab misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam menetapkan hukum beberapa masalah yang mereka hadapi. Jika mereka telah bersepakat pada sesuatu hukum, maka dia menjalankan pemerintahannya berdasarkan hukum yang telah disepakati. Tetapi bila mereka belum menemukan titik temu, maka mereka mengkaji kembali, hingga mencapai pada hukum yang diputuskan oleh kalangan fuqoha di antara kalangan sahabat itu. Dengan demikian hukum tersebut telah disepakati para mujtahid yang tentunya mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pendapat pribadi. Namun pada umumnya, hukum-hukum yang disepakati adalah hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh nash al-Qur’an san Hadits.
2.      Pada masa ijtihad, para imam mujtahid berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh para fuqoha di negerinya, sehingga imam mujtahid tersebut tidak dipandang menyimpang dalam pola pikirnya. Imam Abu Hanifah misalnya berusaha keras untuk mengikuti hukum yang telah disepakati oleh ulama kufah yang hidup sebelumnya. Sedangkan Imam Malik menganggap bahwa Ijma’ ahli Madinah dapat dijadikan argumentasi.
3.      Para fuqoha berusaha keras untuk mengetahui Ijma’ dari sahabat untuk diikuti, agar mereka tidak menyimpang dari hukum yang telah disepakati oleh para sahabat. Bahkan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, maka mereka berusaha agar pendapatnya tidak menyimpang dari pendapat-pendapat para sahabat.[12]

F.                Macam – macam Ijma’
Ijma'dilihat dari segi bentuknya, biasanya meliputi atau terbagi pada tiga macam:
1.        Ijma' dengan perbuatan (ijma' fi'liyah), artinya perbuatan para mujtahid menunjukkan persetujuan atas hukum sesuatu masalah, demean bentuk perbuatan. Seperti seseorang mujtahid makan daging kuda misalnya, menunjukkan ia menghukumkan halal daging kuda dengan jalan perbuatannya.
2.        Ijma' dengan perkataan (ijma' qauliyah), artinya mujtahid mengatakan persetujuannya terhadap hukum satu masalah dengan bentuk kata-kata atau ucapan.
3.        Ijma' dengan diam (ijma' sukuty), artinya para mujtahid yang mendiamkan hukum satu masalah yang telah disepakati mujtahid lain, ini berarti menyetujui kesepakatan itu.[13]
Ijma’ sharih adalah ijma’ yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijma’sukuti adalah yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’. Dengan demikian kehujjahan ijma’ ini masih dipersilisihkan: jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukan ijma’, iya hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu. Ulama kelompok Hanafi berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’ jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang dimaksud, sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak dikemukakan alasan mengenai diamnya; apakah karena takut, terkena bujukan, payah, atau karena mendapat ejekan. Karena diamnya seseorang mujtahid dalam kedudukannyas ebagai pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syara’ dalamwaktu yang cukup untuk membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain). Sebab, jika pen dapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama; karena seorang mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti semua masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu memutuskan bahwa diamnya adalah setuju dan dapat menerima pendapat yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak dapatd ikatakan setuju atau menentang. Sedangkan sebagian besar yang dinamakan ijma’ adalah ijma’ sukuti.
Ijma’ ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada dua macam: pertama, ijma’ yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu ijma’ sharih. Yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk menetapkan hukum yang lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya dan tidak boleh menjadikan obyek ijtihad pada peristiwa yang telah ditetapkan dalam ijma’ sharih atas hukumnya. Kedua, ijma’ yang mempunyai petunjuk hukum dugaan menurut dugaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga hukumnya, karena ijma’ ini cerminan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan seluruhnya.[14]
G.             Syarat – syarat Ijma’
Adapu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ijma’
1.    Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid.
Mujtahid secara umum diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil Syara’. Dalam kitab Jam’ul Jamawi disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang faqih.[15]Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’.
Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi. Istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wahdi dalam kitab Isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal aqdi.
2.    Yang Bersepakat  adalah Seluruh Mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar Mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hokum keseluruhan.
Ada yang berpendapat bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah Hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
3.    Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Arti mukallaf itu sendiri adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
4.    Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan dianggap sebagai syari’at.
5.    Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at.
Maksudnya kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lainnya. Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lainnya.[16]
H.      Syarat – syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat yaitu:
1.      Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzanni di dalan hal yang syara’ dan mendahulukan yang wajib.
2.      Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan, mengerti dan paham akan tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sempurna da menyeluruh, mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari’ah.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, seorang mujtahid mempunyai dua syarat yang harus dimiliki, yaitu:
1.      Mengetahui apa yang ada pada tuhan.
2        Mengetahui atau percaya adanya Rasul dan apa ayang dibawanya juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat Allah.
Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya memiliki empat syarat yaitu:
1        Memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, Sunnah, dan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
2.      Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
3        Menguasi ilmu Bahasa Arab.
4.      Memiliki pengetahuan tentang masaqid al-Syariah (tujuan syarat).
Selain dari pendapat terkemuka tersebut para ulama Ushul Fiqh juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad diantaranya yaitu:[17]
1.      Mengetahui Bahasa Arab.
2.      Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang al-Qur’an.
3.      Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang as-Sunnah
4.      Mengetahui letak dan khilaf.
5.      Mengetahui tujuan dari syariat Islam.
6.      Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar.
7.      Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
8.      Mengetahui tentang manusia dan lingkungan sekitarnya.
9.      Niat dan I’tiqad yang benar.[18]
I.                    Rukun Ijma’
Kemudian secara rinci, Wahba Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ itu bisa dikatakan sah apabila memenuhi lima rukun di bawah ini, yaitu:
1)        Kesepakatan itu harus di ambil oleh seluruh ulama’ Mujtahid. Oleh sebab itu, setiap ulama’ Mujtahid diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, jika ada satu orang saja di antara mereka berbeda pendapat, maka ijma’nya tidak sah.
2)        Ijma’ harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok. Oleh sebab itu ijma’ tidak sah hanya dilakukan oleh seorang Mujtahid, walaupun pada saat itu hanya dia mujtahidnya.
3)        Tidak bolehh ada ijma’ Murakab, yaitu perpecahan pendapat yang mendorong munculnya kelompok-kelompok kecil sehingga terdapat dua atau tiga pendapat dengan pendapat yang berbeda-beda pula.
4)        Semua ulma harus menyatakan pendapat secara jelas, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Kalau ada di antara mereka yang tidak menyatakan pendapatnya, maka menurut idealnya ijma’ tersebut tidak sah.
5)        Keputusan – keputusan hukum hasil ijma’ dilahirkan pada saat mereka melakukan pembahasan dengan sidang ataupun musyawarah mufakat.[19]
J.        Contoh Ijma’
Contoh ijma’ yang menguatkan dalil sunah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermulai dari sebuah hadis yang lemah, namu akhirnya menjadi ijma’ yang kuat. Latar belakang kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Seorang nenek menemui khalifah Abu Bakar untuk meminta haknya ats harta peninggalan cucunya. Abu Bakar tidak menemukan dalilnya dalam al-Qur’an maupun sunah Nabi. Kemudian beliau menyuruh si nenek pulang dan menunggu jawabannya nanti. Dalam masa penantian itu Abu Bakar menanyai para sahabat kalau-kalau ada di antara mereka yang mengetahui hadis Nabi tentang itu. Kemudian tampil Mughirah ibn Syu’bah yang menyatakan bahwa ia mengetahui bahwa Nabi pernsh memberikan hak bagi nenek sebanyak seperenam. Karena Abu Bakar belum puas dengan jawaban itu, maka ia menanyai paa sahabat lain. Waktu itu muncul Muhammad ibn Maslamah yang menyampaikan kesaksian bahwa ia juga mengetahui Nabi berbuat demikian.
Tidak tahunya Abu Bakar akan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat itu menunjukkan bahwa hadis itu lemah. Masa Abu Bakar yang sebagian besar hidupnya menyertai kehidupan Nabi sampai tidak mengetahui adanya hadis Nabi itu. Namun berdasarkan berita dua orang sahabat itu, Abu Bakar pun menetapkan kewarisan nenek sebnayak seperenam. Apa yang ditetapkan Abu Bakar itu tidak disanggah oleh sahabat lain, sehingga ketetapan itu menjadi sebuah ijma’ dalam bentuk ijma’ sukuti dari sahabat. Dengan telah menjadi ijma’, maka dalil hadis yang tadinya lemah dan zhanni itu telah terangkat kualitasnya (dikuatkan) menjadi dalil qath’i yang menghasilkan hukum yang pasti dan diterima semua pihak.
Contoh ijma’ yang berasal dari qiyas dapat dilihat dalam kasus pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah. Keputusan ijma’ dalam hal ini, bermula dari pendapat Umar ibn Khattab yang disampaikan dalam pertemuan. Pendapat Umar itu didasarkan kepada pemikiran qiyas sebagaimana terlontar dalam ucapannya, “Nabi telah bersedia menyuruh Abu Bakar sebagai pemimpin keagamaan kita ( maksudnya menjadi imam shalat), kenapa kita tidak bersedia menjadikannya sebagai pemimpin keduniaan kita (maksudya jabatan khalifah) ?” Pandangan Umar itu tampaknya dapat diterima semua pihak hingga mereka sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah, kecuali beberapa orang dari kelompok ‘Ali ibn Abi Thalib. Kalau ketetapan itu hanya semata berdasarkan pendapat Umar berdasarkan qiyas, maka kedudukannya hanyalah zhanni. Namun setelah keputusan itu menjadi ijma’, maka kualitasnya menjadi qath’i.[20]

                                                                                       


BAB III
PENUTUP

A.              Kesimpulan
Kata Ijma’ (الاجماع) secara bahasa berarti “kesepakata atau konsensus”, juga berarti tekad atau niat (العز م على شيء). Adapun menurut istilah Jumhur Ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa ijma’ adalah Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Atas suatu Hukum Syara’ terhadap peristiwa yang terjadi.
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat diatas, ditujukan kepada orang yang menentang Rasulullah Saw, dan tidak mengikuti jalan orang mukmin. Ancaman siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam pada itu, ijma’ adalah mengikuti jalan orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib, dengan demikian mengikuti ijma’ adalah wajib Berdasarkan dalil-dalil diatas, Ijma' memiliki kedudukan sumber hukum islam setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pendapat ulama mengenai ijma’ ada beberapa ulama yang menyetujuinya dan ada yang tidak bersepakat atau tidak setuju mengenai ijma’ sebagai hujjah atau sumber dalam menetapkan hukum masalah islam.
Seseorang disebut mengingkari hasil ijma’ bila ia mengetahui adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum atas suatu kasus, namun ia secara sadar berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh ijma’.   
Sejak periode sahabat hingga masa-masa imam mujtahid, pemikiran ijma’ telah berkembang melalui periodesasi sebagai berikut:
1.      Setelah Rasulullah wafat
2.      Pada masa ijtihad
3.      Para fuqoha

Ijma' dilihat dari segi bentuknya, biasanya meliputi atau terbagi pada tiga macam yaitu, Ijma' dengan perbuatan (ijma' fi'liyah), Ijma' dengan perkataan (ijma' qauliyah), Ijma' dengan diam (ijma' sukuty).
Adapu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ijma’
1.      Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid.
2.      Yang Bersepakat  adalah Seluruh Mujtahid.
3.      Para Mujtahid Harus Umat Nabi Muhammad SAW
4.      Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
5.      Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at
Mujtahid ialah orang yang berijtihad dan berikut adalah syarat – syarat mujtahid:
1.      Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzanni di dalan hal yang syara’ dan mendahulukan yang wajib.
2.      Adil.
3.      Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
4.      Menguasi ilmu Bahasa Arab.
5.      Mengetahui tentang manusia dan lingkungan sekitarnya.
6.      Niat dan I’tiqad yang benar.
Kemudian secara rinci, Wahba Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ itu bisa dikatakan sah apabila memenuhi lima rukun di bawah ini, yaitu:
1)        Kesepakatan itu harus di ambil oleh seluruh ulama’ Mujtahid.
2)        Ijma’ harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok.
3)        Tidak bolehh ada ijma’ Murakab.
4)        Semua ulama harus menyatakan pendapat secara jelas, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.
5)        Keputusan – keputusan hukum hasil ijma’ dilahirkan pada saat mereka melakukan pembahasan dengan sidang ataupun musyawarah mufakat.
       Contoh ijma’ yang menguatkan dalil sunah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermulai dari sebuah hadis yang lemah, namu akhirnya menjadi ijma’ yang kuat.
B.               Saran
       Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat atau masyarakat adil dan makmur. Dan demikianlah makalah ini yang dapat kami buat, kami sebagai manusia biasa tentu masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami sangat berharap teman-teman terutama dari dosen pembimbing mata kulia Ushul Fiqh untuk memberi saran yang membangun kepada kelompok kami.


DAFTAR PUSTAKA

Nur Saifudin, Ilmu Fiqh, Bandung: Tafakur, 2007.
Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017.
Koto Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo, 2011
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Amirrudin dan Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, Bandung : Refika Aditama,
2016.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1. Jakarta: Kencana, 2008.
Hasan, Ahmad. Ijma’. Bandung: Pustaka, 1976.
Ali, Mohammad Daud. PengantarImuHukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2010.


[1] Amirrudin dan Fathurrohman,  Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm 51.
[2] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), hlm  90 – 91.
[3] Amirrudin dan Fathurrohman,  Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm 51.
[4] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta :Amzah, 2010), hlm 148 – 149 .
[5] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), hlm 91 – 92.
[6] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hlm 56.
[7] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), hlm 79.
[8] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003), hlm 55 – 56.
[9] Saifudin Nur, Ilmu Fiqh, (Bandung : Tafakur, 2007), hlm 48.
[10] Ibid, hlm. 44.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008),  hlm 44 dan 45
[12]Mohammad Daud Ali, PengantarImuHukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),  hlm. 153-155.
[13] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 183 dan 184.
[14] Faiz el Muttaqin, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003),  hlm 63.
[15]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),  hlm. 70.
[16] Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),  hlm 70 dan 71.
[17]Mohammad Daud Ali, PengantarilmuHukum, (Jakarta: RajawaliPers, 2014)  hlm. 111-114.
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008),  hlm 283.
[19] Amirrudin dan Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm 51.
[20] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008),  hlm 302 dan 303.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar