Minggu, 23 Desember 2018

Kebijakan Moneter Islam

KEBIJAKAN MONETER ISLAM

MAKALAH 

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Moneter Syariah
Yang diampu oleh Ibu Riskiyatul Khasanah, M.E.

Disusun Oleh :
Moh Anis
Rudiyanto
Atikah Muksin
Robiatul Adawiyah


 



JURUSAN PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang masih sangat sederhana dengan judul “Kebijakan Moneter Islam”
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad  SAW. yang mana beliau telah mengangkis kita minadz dzulumati ilan nur dengan tulus ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita.
Kami akui makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat minim. Oleh karena itu, kami harapakan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah kedepannya.
           Kami berharap semoga makalah ini bisa membantu, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, serta semoga makalah ini bisa menjadi acuan untuk memahami pembahasan/pembelajaran tentang kebijakan moneter islam. Amin.


Pamekasan, 11 November 2018


Penyusun,




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang ..............................................................................
B.    Rumusan Masalah .........................................................................
C.    Tujuan Masalah .............................................................................
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebijakan Moneter .......................................................
B.     Sejarah Kebijakan Moneter ............................................................
C.     Kebijakan Moneter Menurut Mazab Ekonomi Islam .....................
D.    Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter Dalam Konvensional dan Syari’ah ....................................................................................
E.     Hubungan Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar Rupiah .......
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan ....................................................................................
B.    Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

i
ii
iii

1
1
1

3
6
7

9
13

14
14
15




BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Uang yang beredar dalam suatu negara tidak boleh terlalu berlebihan dan juga tidak boleh kurang solanya akan menyebabkan perekonomian dalam suatu negara tersebut tidak stabil dan bisa jadi mengakibatkan terjadinya inflasi/deflasi. Untuk mengatur hal itu maka dibutuhkan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan dengan mengatur jumlah uang beredar. Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi untuk terus tumbuh sekaligus mengendalikan inflasi.
Oleh sebab itu, sebagai penerus bangsa sangat penting rasanya pembahasan kebijakan moneter islam ini untuk di diskusikan, tujuannya adalah untuk memperdalam ilmu tentang ekonomi sehingga akan memudahkan kita semua dalam penerapannya di kemudian hari.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Kebijakan Moneter?
2.      Bagaimana Sejarah Kebijakan Moneter?
3.      Bagaimana Kebijakan Moneter Menurut Mazab Ekonomi Islam?
4.      Bagaimana Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter Dalam Konvensional dan Syari’ah?
5.      Bagaimana Hubungan Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar Rupiah?
C.       TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui apa itu Kebijakan Moneter
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Kebijakan Moneter
3.      Untuk Mengetahui Kebijakan Moneter Menurut Mazab Ekonomi Islam
4.      Untuk Mengetahi Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter Dalam Konvensional dan Syari’ah
5.      Untuk Mengetahui Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar Rupiah


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah panting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang.[1] Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya terkait dengan masalah uang yaitu :[2]
1.      Persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat dengan mata uang negara lain (inisalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil karena bila nilai mata uang tertentu bergejolak pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.
2.      Kenyataannya bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.      Kebijakan moneter ekspansif (monetary axpansive policy) adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar.[3] Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy).
2.      Kebijakan Moneter Kontraktif (monetary contractive policy) adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).[4]
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas. Abdul Qodim Zallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Hal yang paling panting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wadhatu al-naqdiyatu alasahsiyah ) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Apabila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money.[5]
Dalam sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar’i beratnya 2,975 gram perak.[6]
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW Ketika itu kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia (ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak eksklusif hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79 H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah juga tidak akan terjadi.[7]
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.[8]
Secara syar’i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimana disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya dengan uang dua logam dan menghilangkan hambatan dalam ekspor dan impor emas.[9] Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan transaksi yang semakin meningkat.[10]
B.  SEJARAH KEBIJAKAN MONETER
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi empiris maupun historis bila di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah di gunakan bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rasulullah ini relative stabil dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan pada masa bani umayyah (41 H/662 M-132 H/750 M) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132 H/750 M-656 H/ 1258 M) berada pada kisaran 1:15.[11]
Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami Huktuasi dengan nilai paling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam nilai tukar yang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins out of circulations atau kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literature konvensional peristiwa ini di sebut hukum Gresham. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan bany mamluk (1263-1328), dimana mata uang yang beredar tersebut dari fulus (uang tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. oleh ibnu taimiyah di katakan bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.[12]
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi yaitu:[13]
1.      The gold coins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
2.      The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar.
3.      Woe gold exchange standard (bretton woods system), di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak.
C.  KEBIJAKAN MONETER MENURUT MAZAB EKONOMI ISLAM
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain:[14]
1.      Mazhab pertama (Iqtishaduna)
Pada masa awal Islam tidak diperlukan suatu kebijakan moneter karena sistem perbankan hampir tidak ada dan penggunaan uang sangat minim. Jadi, tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap penawaran akan uang melalui disktesioner. Tambahan pula, kredit tidak memiliki peran dalam penciptaan uang karena kredit hanya digunakan diantara para pedagang. Selain itu, peraturan pemerintah tentang surat peminjaman (promissory notes) dan instrument negosiasi (negotiable instruments) dirancang sedemikian sehingga tidak memungkinkan penciptaan uang.
Promissory nates atau bill exchange dapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa atau mendapatkan sejumlah dana segar, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit aturan-aturan tersebut mempengaruhi keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi'a atau aturan transaksi lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima bertujuan mendapatkan komoditas atau jasa.
Instrument lain yang pada saat ini digunakan untuk mengatur jumlah peredaran uang serta mengatur tingkat suku bunga jangka pendek adalah OMO (jual-beli surat berharga pemerintah) yang belum dikenal pada masa awal pemerintahan islam. Selain itu, tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang praktek riba
2.      Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter pemerintah adalah maksimisasi alokasi sumber daya untuk kegiatan ekonomi produktif Al-Qur'an melarang praktek penumpukan uang (money boarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, mazhab ini merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar kecilnya permintaan akan uang (MD) agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan dalam Islam dikelompokkan dalam dua motif yaitu motif transaksi (transaction motive) dan motif berjaga-jaga (precautionary motive). Semakin banyak uang yang menganggur (iddle) berarti permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (MDprec) semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang menganggur berbanding terbalik dengan permintaaan akan uang untuk berjaga-jaga. Dues of iddle fund adalah instrument kebijakan yang dikenakan pada semua asset produktif yang menganggur.


3.      Mazhab ketiga (alternative)
Kebijakan moneter melalui “syaratiq process”, dimana suatu kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Sehingga terjadi harmonisasi antara kebijakan moneter dan sektor riil.
D.    lNSTRUMEN-INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER DALAM KONVENSIONAL DAN SYARI’AH
Ada empat instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar:
1.      Operasi pasar terbuka (Open Market Operation)[15]
OMO adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government security) yang dilakukan oleh Bank Sentral. Jika ingin mengurangi jumlah uang yang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (Open market selling). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying).
Di Indonesia, Operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dab Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika ingin mengurangi uang beredar, pemerintah menjual SBI atau SBPU. Dengan penjualan tersebut maka uang yang ada di masyarakat akan tertarik sehingga uang beredar semakin berkurang. Biasanya penjualan SBI atau SBPU  dilakukan bila jumlah uang beredar sudah terlalu banyak dan dianggap berpotensi untuk mengganggu stabilitas perekonomian, begitu juga sebaliknya.
2.      Fasilitas diskonto (Discount Rate)
Instrumen moneter ini berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki oleh bank-bank untuk meminjam uang secara langsung kepada bank sentral.[16] Yang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang menjamin ke bank sentral.[17]
3.      Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya. Kesuksesan kedua jenis kebijakan moneter yang baru dibicarakan di atas sangat tergantung kepada apakah kebanyakan bank perdangan mempunyai kelebihan cadangan atau tidak. Apabila kelebihan cadangan terdapat dalam kebanyakan bank perdagangan, kedua-dua tindakan di atas tidak dapat digunakan untuk membuat perubahan-perubahan dalam penawaran uang.
4.      Himbauan Moral (Moral Suasion)[18]
Bank sentral menggukan pengaruhnya (kekuatan Himbauan moral) untuk mendorong institusi keuangan dan perbankan agar cenderung berpihak pada kepentingan publik. Bank sentral biasanya menggunakan himbauan moral untuk meyakinkan para bankir dan manajer senior institusi keuangan agar lebih memperhatikan kepentingan jangka panjang dari pada kepentingan jangka pendek istitusinya.
Sebagai contoh : pada saat terjadi inflasi, bank sentral dapat menyarankan kepada institusi-institusi keuangan agar mengurangi penyaluran pinjaman (kredit) yang sekaligus juga bersifat mendinginkan perekonomian yang sedang panas (oberheat). Hal ini bertujuan untuk mengurangi uang beredar di masyarakat dan agar tingkat inflasi turun kembali. Dengan himbauan moral tersebut, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar.
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini disebutkan Al-Qur’an dalam QS.Al- An’am:152, yang artinya: “..Dan sempurnakan-lah takaran dan timbangan dengan adil.”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra, kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan Moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksplorasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Walaupun pencapaian tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan target dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya.
Adapun instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrument moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti: Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menempatkan kebijakan discount rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam. antara Iain :[19]
1.      Reserve Ratio
Reserve Ratio adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5%. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5% menjadi 20%, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
2.      Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3.      Financing Ratio
Bank sentral menentukan rasio pembiayaan yang dilakukan oleh bank komersial dalam menyalurkan pembiayaannya.
4.      Refinance Ratio
Refinance Ratio Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
5.      Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
6.      Operasi Moneter Syariah (OMS)[20]
Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. Tujuan OMS yaitu mencapai target operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia.
E.     Hubungan Kebijakan Moneter Terhadap Nilai Tukar Rupiah[21]
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesa menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menganut system nilai tukar yang mengambang (free floating). ITF merupakan kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai inflasi beberapa tahun kedepan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan system keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter ( seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah panting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang.
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi empiris maupun historis bila di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah di gunakan bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rasulullah ini relative stabil dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, stabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand.
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain: Mazhab pertama (Iqtishaduna), Mazhab Kedua (Mainstream), dan Mazhab ketiga (alternative).
Ada empat instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), Fasilitas diskonto (Discount Rate),. Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio), dan Himbauan Moral (Moral Suasion).
B.     SARAN
Kami menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih baik kedepannya.

 

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Nur Rianto Al. Teori Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis. Bandung : Alfabeta, 2010.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhammad. Ekonomi Moneter Islam. Yogyakarta : UII Press, 2018.
Srisusilawati, Eva Misfah Bayuni dan Popon. Kontribusi Instrumen Moneter Syariah Terhadap Pengendalian Inflasi Di Indonesia. Vol. 2. Bandung: Amwaluna, 2018.
Http://organisasi.org/definisi kebijakan moneter dan instrument serta penjelasannya, diakses pada tanggal 15 November 2018 pukul 19.40.



[1] Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2018), hlm. 208.
[2] Ibid. hlm. 208-209.
[3] Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung : Alfabeta, 2010), hlm. 131.
[4] Muhammad, Ekonomi, hlm. 209.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 210.
[8] Ibid.
[9] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 217.
[10] Muhammad, Ekonomi, hlm. 201.
[11] Ibid.
[12] Ibid. hlm. 211-212.
[13] Ibid. hlm. 212.
[14] Ibid. hlm. 215-216.
[15] Al Arif, Teori Makroekonomi, hlm. 138-139.
[16] Ibid. hlm. 141.
[17] Muhammad, Ekonomi, hlm. 212.
[18] Al Arif, Teori Makroekonomi, hlm. 143.
[19]Ibid. hlm. 214.
[20] Eva Misfah Bayuni dan Popon Srisusilawati, Kontribusi Instrumen Moneter Syariah Terhadap Pengendalian Inflasi Di Indonesia, Vol. 2, (Bandung: Amwaluna, 2018), hlm. 19-20.
[21] Http://organisasi.org/definisi kebijakan moneter dan instrument serta penjelasannya, diakses pada tanggal 15 November 2018 pukul 19.40.