MAQAMAT DAN AHWAL
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Yang di ampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Oleh :
Karismawati 20170703022099
Lina
Cristina Andarwati 20170703022113
Moflihatin
Hosnaaniyah 20170703022126
IkafianaWidiastutik 20170703022082
Imroatus sholihah 20170703022085
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul: “Maqamat dan Ahwal”.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju
jalan yang terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT. yaitu agama Islam.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya
karya ilmiah ini, penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari
kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan
saran yang sifatnya membangun semangat penulis yang sangat penulis harapkan.
Dan atas terselesaikannya
penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Moch Cholid
Wardi, M.H.I selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah
membimbing dan mendidik penulis sehingga penulis menjadi siswa yang berilmu.
Semoga bimbingan dan
bantuan serta dorongan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal
‘Alamin
Pamekasan, 14 September 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.............................................................................
KATA
PENGANTAR.........................................................................
i
DAFTAR
ISI........................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...........................................................................1
B.
Rumusan
Masalah......................................................................1
C.
Tujuan
Masalah..........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqamat...................................................................2
B.
Pengertian
Ahwal.......................................................................7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...............................................................................10
B.
Saran........................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawwuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan
perhatian pada pembembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawwuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawwuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai
aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah Swt.
Perjalanan menuju Allah Swt. merupakan
metode pengenalan secara rasa yang benar terhadap Allah Swt. Manusia tidak akan
tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju
Allah Swt. walaupun ia adalah orang yang beriman secara akliyah. Hal ini karena
adanya perbedaan yang dalam antara iman secara akliyah atau logis.
Dalam makalah yang kami buat, disini kami tidak hanya menjelaskan
tentang Maqamat dan Ahwal saja, melainkan kami akan menjelaskan bagaimana cara
kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah menuju tuhan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dibuat diatas maka kami dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1)
Apa
yang dimaksud dengan maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf?
2)
Apa
yang dimaksud dengan ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf?
C. Tujuan Penulisan
1)
Untuk
mengetahui apa itu maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf.
2)
Untuk
mengetahui apa itu ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MAQAMAT
Ketika kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah untuk
Tuhan, maka mereka harus melewati jalan panjang dengan beberapa terminal. Hal
itu disebabkan karena maqamat adalah pengalaman individu atau pribadi
sang sufi yang hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah
ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum
sufi untuk mencapai derajat yang dengan Allah Swt.[1]
Berikut akan dijelaskan macam-macam maqam dalam ilmu tasawwuf:
1)
Al
Zuhud
Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniaan. Perilaku zuhud diteladani oleh Rasulullah Saw. dan para
sahabatnya. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang sederhana, hidup miskin dan
tidak mau bergelimang dengan harta. Sedangkan Sayyidina Abu Bakar, khalifah
pertama terkanal dengan kata mutiaranya: “Saya mendapatkan kedermawanan
dalam takwa, kecukupan dalam yaqin dan kehormatan dalam rendah hati”. Demikian
juga Sayyidina Umar ibn Khattab juga diriwayatkan ketika beliau menjabat sebagai
khalifah ketiga ummat islam, namun kesederhanaannya masih tetap nampak.
Demikian juga ‘Uthman ibn Affan juga dikenal dengan zuhud yaitu ia dengan segala kemampuan
dan kekayaan yang dimilikinya menafkahkan hartanya dijalan Allah Swt.
2)
Al
Taubah
Al Taubah adalah memohon ampun kepada Allah Swt. atas segala kesalahan yang
telah dilakukan pada saat yang lampau, dan inilah taubat yang paling rendah.
Sedangkan taubat tertinggi adalah
taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan kelalaian dari mengingat Allah Swt.
Ketika seseorang bertaubat dari dosa-dosa yang berkaitan hubungannya dengan
Allah Swt, maka harus diopenuhi persayaratan berikut:
a.
Meninggalkan
kemaksiatan yang dilakukan.
b.
Menyesali
perbuatan maksiat yang dilakukan.
c.
Bertekad
untuk tidak mengulangi perbuatan makasiat yang telah dilakukan.
3)
Al-Wara’[2]
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt.
Seseorang yang bersikap wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati
dalam perilakunya sehingga tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak disenangi
Allah Swt. baik yang hukumnya makruh apalagi haram.
4)
Al-Faqr
Al-Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang
telah diterima dan dianugerahi oleh Allah Swt, sehingga tidak mengharapkan atau
meminta suatu yang bukan haknya. Sikap ini sangat penting sehingga manusia
dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Selain itu sifat al-faqr
akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang
dianugerahkan Allah Swt. kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan
menuntut suatu yang bukan haknya.
5)
Al-Shabr
Sifat al-shabr adalah salah
satu sifat andalan bagi kaum sufi, karena kesabaran sangat didalam menapaki
jalan menuju jalan Allah.[3]
Sifat kesabaran merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.
Mereka yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulu al-‘azmi.
Seorang nabi
yang terkenal sabar dalam menerima cobaan dari Allah Swt adalah Nabi Ayyub,
yang ketabahannya menerima cobaan bertubi-tubi dari Allah Swt, mulai dari
hancurnya kekayaannya, kematian anak-anaknya sehingga menderita penyakit yang
tak kunjung sembuh dalam waktu yang lama. Namun dengan kesabarannya, beliau
dapat menjalani semua itu dan menjadi nabi dan Rasul yang lulus dari ujian
berat dari Allah Swt.
Dalam ajaran Tasawwuf sifat sabar dibagi tiga macam, yaitu:
a.
Sabar
dalam beribadah kepada Allah Swt.
b.
Sabar
dalam menjauhi larangan Allah Swt.
c.
Sabar
dalam menerima cobaan dari Allah Swt.
6)
Tawakkal
Secara terminologi tawakkal adalah
membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah Swt. Dan
menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada Allah Swt. Seorang yang
bertawakkal akan selalu merasa Allah Swt didekatnya, meskipun ia diderita
berbagai kesusahan dan kesedihan, dia yakin bahwa Allah Swt. sebagai maha
pencipta merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang terbaik bagi kehidupannya.
Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan diri kepada qada’
dan qadar Allah Swt. Sifat tawakkal ini dipraktekkan oleh para Rasul dan
Nabi. Dalam riwayat kenabian, terdapat banyak kisah yang menggambarkan betapa
para nabi dan rasul berjuang dan berperang dijalan Allah Swt. untuk menghadapi
kaum kafir dalam menegakkan agama Allah Swt. Dengan sikap tawakkal tersebut,
seseorang memiliki kekuatan yang kokoh dan tahan lama, karena ia menyandarkan
segala seuatunya kepada Allah Swt, segala sesuatu yang maha menentukan.
7)
Kerelaan
Secara harfiah ridha adalah rela,
suka, senang. Harun Naton mengatakan ridho berarti tidak berusaha,tidak
menentang kada dan kadar Tuhan. Manusia biasanya merasa sukar menerima
keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya,seperti kemiskinan,kerugian,kehilangan
barang,pangkat dan kedudukan,kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi
kesenangannya.Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah orang-orang
yang telah memiliki sifat ridha.
Dalam Hadist Qudsi, Nabi Saw. mengatakan:
اننى انا الله لا ا له الا انا من لم يصبر على بلا ثى ولم يشكر لنعما
ثى ولم يرضى بقضا ثى فليخرج من تحتى سما ثى وليطلب ربا سوا ي
“Sesungguhnya Aku ini Allah Swt,tiada Tuhan selain Aku. Barang
siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku,tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku
serta tidak rela terhadapkeputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong
langit dan cari Tuhan selain aku.”
8)
Mahabbah
Mahabbah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju keridhaan
Allah Swt, karena hanya Allah Swt. yang maha besar, maha penguasa, maha suci,
maha pencipta dan maha pemberi. Kecintaan kepada Allah Swt. akan mendapatkan
ketenangan dan kedamaian dalam hati , hal ini merupakan nikmat yang terbesar
dalam kehidupan seseorang.
Seorang hamba yang sangat cinta
kepada Allah Swt, ia dengan senang hati rela untuk berkorban di jalan Allah
Swt. dan siap menerima kemungkinan terjelek yang akan di terimanya.Kecintaan
kepada Allah Swt. sudah pasti harus di buktikan dengan mencintai kalamullah
atau aya- ayatnya baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Dalam praktek ibadah sehari-hari ada beberapa
amalan yang dapat mengantarkan cinta Allah Swt. yaitu :
a.
Mengamalkan
kewajiban-kewajiban yang qath’i
wajib maktubah dengan memperhatikan keikhlasan dan kekhusuan, selain itu
juga di upayakan membaca al-Qur’an
secara istiqomah yang di sertai dengan upaya memahami kandungan dan
tafsirnya.
b.
Berusaha
mengamalkan ibadah yang bersifat nawafil atau mustahab dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
c.
Selalu
mengingat Allah Swt. baik dengan lisan, terutama dzikir dengan hati dalam
setiap keadaan.
d.
Lebih
mengutamakan untuk mencintai Allah Swt. dari pada dirinya ketika hawa nafsunya
menguasai dirinya.
e.
Memahami
dan mendalami dengan hati tenang nama dan sifat-sifat Allah Swt.
f.
Melihat
kebaikan dan nikmat-Nya baik yang lahir maupun yang batin.
g.
Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan
Allah Swt.
h.
Melakukan
shalat, dzikir pada sepertiga malam dan membaca al-Qur’an.
i.
Bergaul
dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah Swt.
9)
Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifat berasal
dari kata arafah, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuaan
dan pengalaman. Dari akar kata ini, ma’rifat dapat dimaknai sebagai pengetahuan
tentang rahasia dan hakikat ketuhanan.
Ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan
dengan pengamalan tasawwuf, maka istilah ma’rifat disini berarti
mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam tasawwuf. Menurut
sebagian ulama’, ma’rifat adalah kemampuan seorang shufi untuk mengenal
Allah Swt, sifat-sifatnya, kemudian ia membenarkan Allah Swt. dengan keyakinan
dan iman yang sejati dan dengan suka rela melaksanakan ajarannya dalam segala
perbuatan.
B. PENGERTIAN AHWAL
Ahwal adalah jama’
dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah keadaan yang dialami oleh kaum sufi
ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan
pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah
Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah Swt.
Dalam ilmu tasawwuf dikenal beberapa hal yaitu:[4]
1.
Mawas
diri dan waspada (muhasabah muraqabah)
kaum sufi menyebutkan berbarengan
terhadap kedua istilah ini mengungat keduanya saling berkaitan erat. Ketikan
seorang sufi selalu mawas diri, bercermin pada diri sendiri, mencari
kesalahan dan kekhilafan diri sendiri, maka akan melahirkan sikap waspada agar
kesahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya tidak dilakukan lagi. Mawas
diri diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui segala pikiran, perbuatan dan
rahasia dalam hati, dan hal ini menjadikan seseorang takut, hormat dan taat
kepada Allah Swt.
2.
Mengharap
dan takut (Al-raja’ wa al-khauf)
Dalam pandangan kaum sufi sifat
mengharap dan takut berjalan secara berbarengan. Raja’ adalah perasaan
optimis tehadap rahmat Allah Swt, dan hati merasa tentram karena menunggu suatu
yang diinginkan. Namun sikap mengharap itu diikuti oleh perasaan takut terhadap
berbagai kemungkinan yang akan membawa kebencian Allah Swt.
Selanjutnya Ibn
Taimyah menjelaskan bahwa raja’ wa al-khauf merupakan konsekuensinya
dari cinta hamba kepada Allah Swt. Ini mengajarkan bahwa dengan cinta kepada
Allah Swt, akan menumbuhkan sikap harap-harap cemas kepada Allah Swt, yaitu
sikap mengharap akan nikmatnya.[5]
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a.
Cinta
kepada apa yang di harapkan.
b.
Takut
bila harapannya hilang.
c.
Berusaha
mencapainya.
3.
Hubb
(cinta)
Cinta dalam ilmu
tasawuf adalah pijakan dalam semua hal, sama dengan taubat yang merupakan
pangkal dari semua maqam. Menurut Mu’jam al-fasafi, mahabbah dapat berarti al
wadud yaitu yang sangat pengasih dan penyayang.
Ibn
Taimiyah membagi tingkatan-tingkatan cinta, yaitu:
a.
Al-‘alaqah,
yaitu keterkaitan hati dengan yang di cintai.
b.
Al-Shababah
(kegairahan), yaitu hati selalu bergairah kepadanya..
c.
Al-Ghuram,
yaitu cinta sebagaimana biasanya.
d.
Al-‘Isyq,
yaitu mencintai kepadanya dengan bergairah yang berlebih.
e.
Al-Tatayyum
(menjadi budak), yaitu menjadi budak kepadanya.
4.
Rindu
dan Intim (syauq wa al-uns)
Dalam ajaran tasawuf
di sebutkan bahwa seorang sufi selalu merasa rindu dalam jiwanya kepada Allah
Swt. Dalam pandangan sebagian sufi menyatakan bahwa maut adalah bukti yang
benar ketika seorang sufi merasakan rindu kepadanya.
Intim merasa selalu berteman, bercengkrama dengan Allah Swt.
Seorang sufi yang memiliki perasaan intim berhubungan dengan Allah Swt. penuh
keasyikan dan kenyamanan. Mereka beribadah dengan penuh ketentraman dan
ketenangan yang tiada tandingannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maqamat adalah pengalaman individu atau pribadi sang sufi yang
hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah ini selanjutnya digunakan
untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai
derajat yang dengan Allah Swt.
Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah
keadaan yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang
dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian
hal adalah pemberian dari Allah Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju
Allah Swt.
B. SARAN
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal,
hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu
makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun
berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawwuf, sehingga apa yang
sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-sehari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawwuf itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta :
Rajawali Pers : 2015.
Ni’am,
Syamsun. Tasawuf Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014.
Sholichin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.
[1] Mohammad
Muchlis Solichin, pendidikan akhlak tasawuf, (Pamekasan: Stain Pamekasan
Press, 2012), hal. 151.
[2]Ibid,
hal. 156.
[3] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers,
2015), hlm. 173.
[4] Ibid,
hal. 176.
[5] Syamsun
Ni’am, Tasawuf studies,(Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2014), hlm.155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar