TASAWUF FALSAFI
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Yang
diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi,
M.H.I
Disusun
Oleh :
Philia
Dewinta B.P
Qoyyimah
R.A.
Kristina Y.L
Rif’atun
Hasanah S
Robiatul
Adawiyah
PROGAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah
Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tasawuf Falsafi”
sehingga dapat terbit sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SWT. Para sahabat, serta para
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulisan
makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak
Tasawuf dan semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga dapat memperbaiki isi
makalah ini. Disamping itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat
terealisasikanlah makalah ini.
Penulisan makalah ini masih memiliki
banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu pembaca untuk memberikan saran
dan komentar yang kontruktif sebagai perbaikan dan penyempurnaan untuk masa-masa
yang akan datang dan menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Pamekasan, 27 November 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
|
|
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................
B. Rumusan Masalah
.........................................................................
C. Tujuan Masalah
.............................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Falsafi ..........................................................
B. Ciri-ciri Tasawuf Falsafi ...............................................................
C. Para
Tokoh Taswuf Falsafi .......................................................
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
....................................................................................
B. Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
|
i
ii
iii
1
1
1
2
3
5
15
15
16
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
manusia mempunyai konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketempat yang
lebih tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari kesatuan wujud (wihdatul wujud). Tasawuf juga bisa
dikatakan sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan
menuju kedatangan dengan Allah.
Tasawuf
falsafi ini sangat penting dibahas karena dengan adanya pembahasan ini kita
dapat mengetahui apa tasawuf falsafi, tokoh-tokohnya serta ciri umum yang hanya
dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf falsafi.
Tasawuf
falsafi memiliki empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yakni
latihan rohaniah, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, peristiwa
dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau
keluarbiasaan, dan menciptakan ungkapan-ungkapan. Oleh karena itu makalah ini
lebih menginformasikan tentang ajaran tasawuf falsafi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian dari tasawuf falsafi ?
2. Bagaimana ciri-ciri tasawuf falsafi ?
3. Siapa saja tokoh dalam ajaran tasawuf
falsafi ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian
tasawuf falsafi
2. Untuk mengetahui ciri-ciri tasawuf falsafi
3. Untuk mengetahui siapa saja tokoh dalam tasawuf
falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Falsafi
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang
mengenal tuhan (makrifat) dengan
pendekatan rasio (filsafat) hingga
menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih
tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan
wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi
yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.[1]
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf
dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang
filosof. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi tidak dapat di kategorikan
sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu
ditemukan dalam term-term filsafat yang lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan
sebagai filsafat dalam arti yang sebenarnya karena teori-teorinya juga
didasarkan pada rasa.[2]
Tasawuf
falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan
rasional. Terminologi falsafi yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran
filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai
tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada ras (dzauq). Selain itu, tasawuf ini tidak
pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan
dengan bahasa filsafat.
Tasawuf
falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad VI
Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Pada abad ini
tasawuf falsafi terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang
juga filsuf sampai masa menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan
antara tasawuf dan filsafat dengan sedirinya telah membuat ajaran-ajaran
tasawuf falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar islam, seperti
Yunani, Persia, India, dan negeri nasrani. Namun orisinalitasnya sebagai
tasawuf tidak hilang. Para tokoh berusaha menjaga kemandirian ajarannya,
meskipun ekspansi islam meluas pada waktu itu sehingga membuat mereka memiliki
latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang beragam. Sikap ini dengan sendirinya
dapat menjawab petanyaan mengapa para tokoh tasawuf falsafi begitu gigih
mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam ke dalam
tasawuf mereka serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya
disesuaikan dengan tasawuf yang mereka anut.[3]
B. Ciri-Ciri Tasawuf Falsafi
Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar
akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang
sebagai filsafat karena ajarannya dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di
kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya
sering di ungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[4]
Sebagai
sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman filsafat, tasawuf falsafi
memiliki karakteristik tesendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Adapun
karakteristik tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran akibat banyaknya
ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat yang
memahaminya. Selanjutnya, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai
filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) dan tidak pula dapat
dikategorikan sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa
dan terminologi filsafat, serta cenderung kepada panteisme.
Berkembangnya
tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan
menuju kedatangan dengan Allah SWT, menarik perhatian para pemikir muslim yang
berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah
sufi yang filosofis atau filsuf yang sufis. Tasawuf mereka disebut tasawuf
falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran
filsafat yang paling banyak dipergunakan adalah emanasi neo-platonisme dalam semua variasinya. Dikatan falsafi, sebab
konteksnya sudah memasuki wilayah pantologi
(ilmu kaun), yaitu hubungan Allah SWT dengan alam semesta. Dengan demikian
wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi (faidh), ingkar nasionisme (hulul),
persatuan roh tuhan dengan roh manusia (ittihad),
dan keesaan (wahdah).
Berdasarkan
karakteristik umum itu tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda
dengan tasawuf sunni. Menurut Ibnu Khaldun, dalam karyanya muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi
perhatian para sufi falsafi, antara lain sebagai berikut.
Pertama, latihan
rohaniah dengan rasa, intuisi, dan introspeksi diri. Mengenai latihan rohaniah,
baik dengan tahapan (maqam), keadaan
(hal), dan rasa (dzauq). Para sufi falsafi cenderung sependapat dgan para sufi sunni
sebab, masalah tersebut, menurut ilmu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak
dapat ditolak oleh siapapun.
Kedua, iluminasi atau
hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sang pencipta,
sifat-sifat-Nya, arsyi, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, dan hakikat
realitas. Mengenai ilmu nasi ini, para sufi falsafi melakukan latihan rohaniah
dengan mematikan kekuatan syahwat dan menggairahlan roh dengan jalan
menggiatkan dzikir. Menurut mereka dzikir membuat jiwa dapat memahami hakikat
realitas.
Ketiga,
peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan
Keempat, penciptaan
ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat). Hal ini memunculkan reaksi masyarakat yang beragam,
baik mengingkari, menyetujui, maupun menginterpretasikannya dengan interpretasi
yang berbeda-beda.
Tasawuf
falsafi juga memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan tasawuf
lainnya, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, tasawuf
falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara
pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq).
Kendatipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya
dengan mengambil sumber-sumber naqliyyah,
tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar serta sulit dipahami
oleh orang lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan oleh orang lain,
interprertasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
Kedua, seperti halnya
tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan sebagai
peningkatan moral dan mecapai kebahagiaan.
Ketiga, tasawuf
falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat
realitas, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut
tasawuf filsafi ini selalu menyamarkan ungkapan ungkapan tentang hakikat
realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.[5]
C. Para Tokoh Tasawuf Falsafi
Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam
dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat, antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in,
dan Ibn Masarrah.[6]
1.
Ibn ‘Arabi
a.
Biografi
Singkat Ibn `Arabi
Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di
Murcia, Andalusi Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan,
dan ilmuwan. Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol Karena
situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang di
anutnya tidak di sukai di kawasan itu. Barang kali dengan tujuan utama untuk
ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama
yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi
ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh
karna itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di
Makkah untuk beberapa lama.
Di kawasan Saudi
ternyata ia di terima penguasa dan masyarakat yang baik. Akan tetapi, ia tidak
menetap di kota suci itu, Karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus
sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan
di kaki gunung Qosiyun. Ia mempunyai dua orang putra yang seorang terkenal sebagai
penyair sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya di
makamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah penulis yang
produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul
diantaranya asli tulisan tangannya tersimpan di Perpustakaan di Negara Mesir.
Tetapi menurut Sya’roni , Ibnu Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja
termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim
di Makkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.[7]
b.
Ajaran
Tasawuf Ibn ‘Arabi
-
Wahdat Al-Wujud
Ajaran sentral
Ibn `Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud
(kesatuan wujud). Meskipun demikian,
istilah wahdat al-wujud yang dipakai
untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal
dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajran
sentral tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam
mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke
tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang
sepakat menggunakan istilah Wahdat
Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn `Arabi, mereka berbeda pendapat
dalam memformulasikan pengertian Wahdat
Al-wujud. Menurut Ibnu Taimiyah, Wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurutnya orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu
sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud
yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan ,
tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn
`Arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk
adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat.
Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal
itu dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas
kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-nya dari kesatuan dzariyah, yang segala sesuatu berhimpun
pada-Nya.[8]
2.
Al-Jilli
a.
Biografi
Singkat Al-Jilli
Nama lengkapnya
adalah Abd .Karim bin Ibrahim al-Jili. Beliau dilahirkan di al-Jili bagian
selatan laut Kaspia yang terletak di Asia Tengah pada Tahun 767 H bertepatan
dengan tahun 1365 M dan wafat pada tahun 805 H/1405 M. Nicolson menilainya
bahwa al-Jili terkait dengan Abd. Karim al-Jili atau Gilani (masyarakat kita,
tokoh ini lebih dikenal dengan nama Abd.Qadir Jaelani), seorang pendiri Tarekat
Qadariyah yang wafat pada tahun 300 sebelum kelahiran Abd. Karim al-Jili.
Al-Jili belajar
agama di daerahnya setelah merasakan cukup baginya tentang pengetahuan agama.
Beliau mengembara untuk mencari ilmudi daerah lain. Di Zahid salah satu negeri
di Yaman Selatan ,ia berguru kepada Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim
al-Jabari. Dengan berbasis ilmu dan pengalaman yang sangat luas, beliau
menekuni dunia tasawuf. Agaknya corak tasawuf yang di kembangkan banyak memiliki
kesamaan dengan Ibn Arabi, karena ia dianggap sebagai pelanjut ajaran tasawuf
Ibn Arabi terutama tentang konsep Nur
Muhammad. Al- Jili sebagai seorang yang kreatif dan produktif dalam
mengembangkan ilmunya, beliau banyak mempunyai karya-karya, baik dalam bentuk
buku maupun dalam bentuk makalah. Adapun bukunya yang terkenal dengan judul al-Insan al- Kamil fi Ma’Rifat al- Awakhir
wa al- Awail[9].
b.
Ajaran
Tasawuf Al-Jili Insan Kamil
Ajaran Tasawuf
Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan
Kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili, Insan Kamil adalah nuskhah
atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti
hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun
memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah
setelah Tuhan menciptakan substansi. Huwiyah
Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah
Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam dan akhirnya Adam berhadapan
dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat
dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat, bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah
itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang
inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memilki tempat berwujud melainkan kepada insan kami.
Lebih lanjut
Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil adalah bagaikan cermin di
mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin
itu. Begitu pula halnya dengan insan kamil sebagaimana Tuhan tidak dapat
melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin Insan
Kamil. Al-Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal
(kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi,
termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Karnal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara
professional (bi al-qawah) dan
mungkin pula secara aktual (bi Al-fiil)
seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam identitas
yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi
Muhammad SAW. Sehingga manusia lain,
baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila di bandingkan dengan Muhammad SAW.
Bagaikan Al-Kamil (yang sempurna)
dengan Al-Kamal (yang paling
sempurna) atau Al-Fadhil (yang utama)
dengan Al- Afdal (yang paling utama).[10]
-
Maqamat (al- Martabah)
Al-Jili dengan
filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui seorang
sufi, yang menurut istilahnya ia di sebut al-martabah
(jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama,
islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi
tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih
dalam.
Kedua,
iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan
melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap Tabir
alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang
lebih tinggi.
Ketiga,
ash-shalah, yakni dengan maqam ini
seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan
penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah
illahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan
mentaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat,
ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan
bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan
sifat Tuhan sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di
hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap
istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud,
tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima,
syahadah, seorang sufi dalam maqam
ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih,
mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi
keinginan pribadi. Syahadah terbagi
ke dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikanTuhan pada
semua makhluk-Nya secara ‘Ainul yaqin.
Ini adalah yang paling tinggi.[11]
Keenam,
shiddiqiyah, istilah ini
menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara
bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin,
sampai haqul yaqin. Menurut Al-Jili
seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan meyaksikan hal-hal yang
ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat
dari-Nya.
Ketujuh,
qurbah, Maqam ini merupakan maqam
yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang
mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili
dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili
mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi itu secara kasyaf ilahi, yaitu kamu di hadapan-Nya dan dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad, sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh
karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. Dengan
pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama
dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya[12]
3.
Ibnu Sab’in
a.
Biografi
singkat Ibn Sab’in
Nama lengkapnya
adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Ia termasuk kelompok sufi
yang juga filsuf dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena tanggapannya atas
pernyataan Raja Frederik 2, penguasa Sicilia. Ibn Sab’in digelari “Quthb
Ad-Din” dan terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ibn Sab’in lahir pada
tahun 614 H(1217-1218 M) dikawasan Murcia, Spanyol.
Ibn Sab’in
mempunyai asal usul dari kalangan Arab. Ia mempelajari bahasa dan sastra Arab
pada kelompok gurunya. Ia mempelajari ilmu agama dari Mazhab Maliki, Ilmu
logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibnu Dihaq, yang dikenal
dengan Ibnu Al-Mir’ah( w.611 H), pensyarah larya Al Juwaini.
Ibnu Sab’in
meninggalkan karya sebanyak 41 judul, yang menguraikan tasawufnya secara
teoretis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar.
Kebanyakan karyanya telah hilang, sebagian risalahnya telah disunting
Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibnu Sab’in (1965 M).
Karya-karya itu
menggambarkan bahwa pengetahuan Ibnu Sab’in cukup luas dan beragam. Ia mengenal
berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, India, dan Hermetisisme. Disamping
itu, ia banyak menelaah karya-karya filsuf islam bagian timur, seperti Al-
Farabi dan Ibnu Sina, dan filsuf islam bagian barat, seperti Ibnu Bajah, Ibnu
Thufail, dan Ibnu Rusyid. Terlebih lagi, ia begitu menguasai kandungan risalah
risalah Ikhwan Ash-Shafa dan secara
terperinci mengetahui aliran-aliran teologi,
khususmya aliran Asy’ariyyah.
Pengetahuannya tentang aliran tasawuf begitu mendalam. Ini semua tampak jelas
dari kritiknya terhadap para filsuf, teolog dan sufi sebelumnya. Di samping
itu, dia begitu menguasai aliran-aliran fiqh, karena ia juga seorang fakih.[13]
b.
Ajaran
Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas
sebuah paham dalam kalangan tasawuf Falsafi, yang dikenal dengan paham kesatuan
mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, wujud adalah wujud Allah
semata. Wujud-wujud yang lain hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud
Yang Satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang
tetap. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak, karena
berbeda dari paham tasawuf yang memberi ruang lingkup yang pendapat-pendapat
tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk. Kesatuan mutlak menurut
terminologi Ibnu sab’n sendiri, hampir tidak mungkin mendreskipsikan kesatuan
itu sendiri. Dalam hal ini karena para pengikutnya terlalu berlebihan dalam
memutlakkannya dan karena gagsan tersebut menolak semua atribut tambahan, atau
nama. Dengan begitu, pada gagasan ini dikenakan konsepsi-konsepsi manusia.
Dalam paham ini, Ibnu Sab’in menempatkan
ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya, adalah asal segala yang
ada pada masa lalu, masa kni, dan masa depan. Sementara itu, wujud materi yang
tampak justru ditujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham
ini menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material. Ibnu Sab’in
terkadang menyerupakan wujud dengan lingkungan. Porosnya adalah wujud yang
mutlak (luas), sementara wujud yang nisbi (sempit) berada didalam lingkaran.
Sebenarnya antara kedua wujud tersbut tidak ada perbedaan sebab keduanya pada
hakikatnya adalah satu. Karena itu, yang mutlak dilihat didalam yang nisbi serta
kesatuan diantara keduanya adalah mutlak. Ada kalanya ia menggambarkan wujud
Allah yang wajib dengan wujud yang mungkin dalam kedudukan sebagaimana materi
dengan bentuk. Menurutnya, wujud hanyalah satu, tidak ada dua, apalagi banyak.[14]
4.
Ibn Masarrah
a.
Biografi
singkat Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin
Abdullah Bin Masarrah (269-319 H). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus
filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap
mazhab Al-Mariyyah. Ibnu Hazm mengatakan
bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan besar terhadap filsafat. Sementara
itu Mushthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk sufi aliran ittihadiyyah.
Bersamaan dengan masa Ibn Masarrah, di
Andalusia telah muncul tasawuf falsafi. Ia lebih banyak disebut sebut sebagai
filsuf dibandingkan sufi. Namun, pandangan-padangan filfusi tertutupi oleh
kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran mu’tazillah, tetapi ia berpaling pada
mazhab Neo-platonisme. Oleh karena
itu, ia dianggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno. Walaupun
demikian, Ibn Masarrah tergolong seorang sufi yang memadukan paham sufistiknya
dengan pendekatan filosofis.
b.
Ajaran
tasawuf Ibn Masarrah
Diantara
ajaran ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
1)
Jalan
menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, dzuhud, dan mahabbah yang merupakan
asal dari semua kejadian.
2)
Dengan
penakwilan ala Philun atau aliran isma’iliyyah
terhadap ayat ayat al-qur’an, iya menolak adanya kebangkitan jasmani.
3)
Siksa
neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf falsafi
adalah ajaran yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional
(filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal
tuhan saaja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdat
al-wujud (kesatuan wujud).
Ciri umum
tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus
yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Sedangkan ciri khusus tasawuf falsafi yaitu mengonsepsikan pemahaman ajarannya
dengan menggabungkan antara pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq), falsafi didasarkan pada
latihan-latihan rohaniah (riyadhah),
falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat
realitas, dan tasawuf filsafi selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang
hakikat realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Para tokoh
Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat, antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in,
dan Ibn Masarrah.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan
membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon
kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Ahmad
Bangun dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya Disertai Biograf dan Tokoh-tokoh Sufi. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Amin, Samsul
Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amza, 2015.
Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014.
[1] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 33.
[2] Cecep Alba, Tasawuf dan
Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014), hlm. 70.
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu
Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 264-265.
[4] Nasution dan Siregar, Akhlak
Tasawuf, hlm. 33-34.
[5] Amin, Ilmu Tasawuf, hlm.
265-267.
[6] Ibid. 272.
[7] Nasution dan Siregar, Akhlak
Tasawuf, hlm. 34.
[13] Amin, Ilmu Tasawuf, hlm.
286.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar