Rabu, 29 November 2017

Makalah Tasawuf Falsafi



TASAWUF FALSAFI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Disusun Oleh :
Philia Dewinta B.P
Qoyyimah
R.A. Kristina Y.L
Rif’atun Hasanah S
Robiatul Adawiyah


 


PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017

 
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tasawuf Falsafi” sehingga dapat terbit sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SWT. Para sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.
            Penulisan makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf dan semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga dapat memperbaiki isi makalah ini. Disamping itu kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Penulisan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu pembaca untuk memberikan saran dan komentar yang kontruktif sebagai perbaikan dan penyempurnaan untuk masa-masa yang akan datang dan menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Pamekasan, 27 November 2017


Penulis,





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ..............................................................................
B.     Rumusan Masalah .........................................................................
C.     Tujuan Masalah .............................................................................
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Falsafi ..........................................................
B.     Ciri-ciri Tasawuf Falsafi ...............................................................
C.     Para Tokoh Taswuf Falsafi .......................................................
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan ....................................................................................
B.    Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

i
ii
iii

1
1
1

2
3
5

15
15
16


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari kesatuan wujud (wihdatul wujud). Tasawuf juga bisa dikatakan sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedatangan dengan Allah.
Tasawuf falsafi ini sangat penting dibahas karena dengan adanya pembahasan ini kita dapat mengetahui apa tasawuf falsafi, tokoh-tokohnya serta ciri umum yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi memiliki empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, yakni latihan rohaniah, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan, dan menciptakan ungkapan-ungkapan. Oleh karena itu makalah ini lebih menginformasikan tentang ajaran tasawuf falsafi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari tasawuf falsafi ?
2.      Bagaimana ciri-ciri tasawuf falsafi ?
3.      Siapa saja tokoh dalam ajaran tasawuf falsafi ?

C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi
2.      Untuk mengetahui ciri-ciri tasawuf falsafi
3.      Untuk mengetahui siapa saja tokoh dalam tasawuf falsafi




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.[1]
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi tidak dapat di kategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam term-term filsafat yang lebih berorientasi pada pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam arti yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.[2]
Tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan rasional. Terminologi falsafi yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Walaupun demikian, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada ras (dzauq). Selain itu, tasawuf ini tidak pula dapat dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad VI Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Pada abad ini tasawuf falsafi terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai masa menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sedirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf falsafi bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat diluar islam, seperti Yunani, Persia, India, dan negeri nasrani. Namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tidak hilang. Para tokoh berusaha menjaga kemandirian ajarannya, meskipun ekspansi islam meluas pada waktu itu sehingga membuat mereka memiliki latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang beragam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjawab petanyaan mengapa para tokoh tasawuf falsafi begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam ke dalam tasawuf mereka serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf yang mereka anut.[3]

B.     Ciri-Ciri Tasawuf Falsafi
Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajarannya dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering di ungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[4]
Sebagai sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman filsafat, tasawuf falsafi memiliki karakteristik tesendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Adapun karakteristik tasawuf falsafi secara umum mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat yang memahaminya. Selanjutnya, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq) dan tidak pula dapat dikategorikan sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa dan terminologi filsafat, serta cenderung kepada panteisme.
Berkembangnya tasawuf sebagai latihan untuk merealisasikan kesucian batin dalam perjalanan menuju kedatangan dengan Allah SWT, menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filsuf yang sufis. Tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan adalah emanasi neo-platonisme dalam semua variasinya. Dikatan falsafi, sebab konteksnya sudah memasuki wilayah pantologi (ilmu kaun), yaitu hubungan Allah SWT dengan alam semesta. Dengan demikian wajarlah jika jenis tasawuf ini berbicara masalah emanasi (faidh), ingkar nasionisme (hulul), persatuan roh tuhan dengan roh manusia (ittihad), dan keesaan (wahdah).
Berdasarkan karakteristik umum itu tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Menurut Ibnu Khaldun, dalam karyanya muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi, antara lain sebagai berikut.
Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, dan introspeksi diri. Mengenai latihan rohaniah, baik dengan tahapan (maqam), keadaan (hal), dan rasa (dzauq). Para sufi falsafi cenderung sependapat dgan para sufi sunni sebab, masalah tersebut, menurut ilmu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh siapapun.
Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sang pencipta, sifat-sifat-Nya, arsyi, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, dan hakikat realitas. Mengenai ilmu nasi ini, para sufi falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat dan menggairahlan roh dengan jalan menggiatkan dzikir. Menurut mereka dzikir membuat jiwa dapat memahami hakikat realitas.
Ketiga, peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
Keempat, penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat). Hal ini memunculkan reaksi masyarakat yang beragam, baik mengingkari, menyetujui, maupun menginterpretasikannya dengan interpretasi yang berbeda-beda.
Tasawuf falsafi juga memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan tasawuf lainnya, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, tasawuf falsafi banyak mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq). Kendatipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya dengan mengambil sumber-sumber naqliyyah, tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar serta sulit dipahami oleh orang lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan oleh orang lain, interprertasi itu cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
Kedua, seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan moral dan mecapai kebahagiaan.
Ketiga, tasawuf falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat realitas, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.
Keempat, para penganut tasawuf filsafi ini selalu menyamarkan ungkapan ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.[5]

C.    Para Tokoh Tasawuf Falsafi
Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat,  antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.[6]
1.         Ibn ‘Arabi
a.         Biografi Singkat Ibn `Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad ‘Abdullah ath-Thai Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusi Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Pada tahun 1201 M/598 H Ibnu Arabi meninggalkan Spanyol Karena situasi politik pada masa itu tidak menguntungkan baginya serta tasawuf yang di anutnya tidak di sukai di kawasan itu. Barang kali dengan tujuan utama untuk ibadah haji, ia berangkat menuju kawasan timur. Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama, tetapi  ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh karna itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap di Makkah untuk beberapa lama.
Di kawasan Saudi ternyata ia di terima penguasa dan masyarakat yang baik. Akan tetapi, ia tidak menetap di kota suci itu, Karena ternyata pengembaraan itu berakhir di Damaskus sebagai tempat menetapnya sampai ia meninggal tahun 1240 M/638 H dan dimakamkan di kaki gunung Qosiyun. Ia mempunyai dua orang putra yang seorang terkenal sebagai penyair sufi, namanya Sa’duddin dan yang satu lagi Imaduddin, keduanya di makamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya tersimpan di Perpustakaan di Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni , Ibnu Arabi menulis buku sekitar 400 judul buku saja termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama ia bermukim di Makkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya.[7]

b.        Ajaran Tasawuf  Ibn ‘Arabi
-            Wahdat Al-Wujud
Ajaran sentral Ibn `Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun   demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajran sentral tersebut. Setidaknya Ibnu Taimiyah yang telah berjasa dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn `Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian Wahdat Al-wujud. Menurut Ibnu Taimiyah, Wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berpaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham ini juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan , tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn `Arabi wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-nya dari kesatuan dzariyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.[8]

2.         Al-Jilli
a.         Biografi Singkat Al-Jilli
Nama lengkapnya adalah Abd .Karim bin Ibrahim al-Jili. Beliau dilahirkan di al-Jili bagian selatan laut Kaspia yang terletak di Asia Tengah pada Tahun 767 H bertepatan dengan tahun 1365 M dan wafat pada tahun 805 H/1405 M. Nicolson menilainya bahwa al-Jili terkait dengan Abd. Karim al-Jili atau Gilani (masyarakat kita, tokoh ini lebih dikenal dengan nama Abd.Qadir Jaelani), seorang pendiri Tarekat Qadariyah yang wafat pada tahun 300 sebelum kelahiran Abd. Karim al-Jili.
Al-Jili belajar agama di daerahnya setelah merasakan cukup baginya tentang pengetahuan agama. Beliau mengembara untuk mencari ilmudi daerah lain. Di Zahid salah satu negeri di Yaman Selatan ,ia berguru kepada Syarifuddin bin Ismail bin Ibrahim al-Jabari. Dengan berbasis ilmu dan pengalaman yang sangat luas, beliau menekuni dunia tasawuf. Agaknya corak tasawuf yang di kembangkan banyak memiliki kesamaan dengan Ibn Arabi, karena ia dianggap sebagai pelanjut ajaran tasawuf Ibn Arabi terutama tentang konsep Nur Muhammad. Al- Jili sebagai seorang yang kreatif dan produktif dalam mengembangkan ilmunya, beliau banyak mempunyai karya-karya, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk makalah. Adapun bukunya yang terkenal dengan judul al-Insan al- Kamil fi Ma’Rifat al- Awakhir wa al- Awail[9].

b.        Ajaran Tasawuf Al-Jili Insan Kamil
Ajaran Tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut al-Jili, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan substansi. Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat, bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memilki tempat berwujud melainkan kepada insan kami.
Lebih lanjut Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. Begitu pula halnya dengan insan kamil sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin Insan Kamil. Al-Jili berkata bahwa duplikasi Al-Kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Karnal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-qawah) dan mungkin pula secara aktual (bi Al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam identitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW.  Sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila di bandingkan dengan Muhammad SAW. Bagaikan Al-Kamil (yang sempurna) dengan Al-Kamal (yang paling sempurna) atau Al-Fadhil (yang utama) dengan Al- Afdal (yang paling utama).[10]
-            Maqamat (al- Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia di sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap Tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah illahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan mentaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam  tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi ke dalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang  paling rendah, dan menyaksikanTuhan pada semua makhluk-Nya secara ‘Ainul  yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.[11]
Keenam, shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yaqin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan meyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat dari-Nya.
Ketujuh, qurbah, Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi itu secara kasyaf ilahi, yaitu kamu di hadapan-Nya dan dia di hadapanmu tanpa hulul dan ittihad, sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya. Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya[12]
3.         Ibnu Sab’in
a.         Biografi singkat Ibn Sab’in
Nama lengkapnya adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr. Ia termasuk kelompok sufi yang juga filsuf dari Andalusia. Ia terkenal di Eropa karena tanggapannya atas pernyataan Raja Frederik 2, penguasa Sicilia. Ibn Sab’in digelari “Quthb Ad-Din” dan terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ibn Sab’in lahir pada tahun 614 H(1217-1218 M) dikawasan Murcia, Spanyol.
Ibn Sab’in mempunyai asal usul dari kalangan Arab. Ia mempelajari bahasa dan sastra Arab pada kelompok gurunya. Ia mempelajari ilmu agama dari Mazhab Maliki, Ilmu logika, dan filsafat. Di antara guru-gurunya adalah Ibnu Dihaq, yang dikenal dengan Ibnu Al-Mir’ah( w.611 H), pensyarah larya Al Juwaini.
Ibnu Sab’in meninggalkan karya sebanyak 41 judul, yang menguraikan tasawufnya secara teoretis maupun praktis, dengan cara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karyanya telah hilang, sebagian risalahnya telah disunting Abdurrahman Badawi dengan judul Rasa’il Ibnu Sab’in (1965 M).
Karya-karya itu menggambarkan bahwa pengetahuan Ibnu Sab’in cukup luas dan beragam. Ia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, India, dan Hermetisisme. Disamping itu, ia banyak menelaah karya-karya filsuf islam bagian timur, seperti Al- Farabi dan Ibnu Sina, dan filsuf islam bagian barat, seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyid. Terlebih lagi, ia begitu menguasai kandungan risalah risalah Ikhwan Ash-Shafa dan secara terperinci mengetahui aliran-aliran teologi,  khususmya aliran Asy’ariyyah. Pengetahuannya tentang aliran tasawuf begitu mendalam. Ini semua tampak jelas dari kritiknya terhadap para filsuf, teolog dan sufi sebelumnya. Di samping itu, dia begitu menguasai aliran-aliran fiqh, karena ia juga seorang fakih.[13]

b.        Ajaran Tasawuf Ibn Sab’in
Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf Falsafi, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, wujud adalah wujud Allah semata. Wujud-wujud yang lain hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud Yang Satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak, karena berbeda dari paham tasawuf yang memberi ruang lingkup yang pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin dalam suatu bentuk. Kesatuan mutlak menurut terminologi Ibnu sab’n sendiri, hampir tidak mungkin mendreskipsikan kesatuan itu sendiri. Dalam hal ini karena para pengikutnya terlalu berlebihan dalam memutlakkannya dan karena gagsan tersebut menolak semua atribut tambahan, atau nama. Dengan begitu, pada gagasan ini dikenakan konsepsi-konsepsi manusia.
Dalam paham ini, Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Wujud Allah, menurutnya, adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kni, dan masa depan. Sementara itu, wujud materi yang tampak justru ditujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, paham ini menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material. Ibnu Sab’in terkadang menyerupakan wujud dengan lingkungan. Porosnya adalah wujud yang mutlak (luas), sementara wujud yang nisbi (sempit) berada didalam lingkaran. Sebenarnya antara kedua wujud tersbut tidak ada perbedaan sebab keduanya pada hakikatnya adalah satu. Karena itu, yang mutlak dilihat didalam yang nisbi serta kesatuan diantara keduanya adalah mutlak. Ada kalanya ia menggambarkan wujud Allah yang wajib dengan wujud yang mungkin dalam kedudukan sebagaimana materi dengan bentuk. Menurutnya, wujud hanyalah satu, tidak ada dua, apalagi banyak.[14]

4.         Ibn Masarrah
a.         Biografi singkat Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdullah Bin Masarrah (269-319 H). Ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap mazhab Al-Mariyyah. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Masarrah memiliki kecenderungan besar terhadap filsafat. Sementara itu Mushthafa Abdul Raziq, Ibnu Masarrah termasuk sufi aliran ittihadiyyah.
Bersamaan dengan masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf falsafi. Ia lebih banyak disebut sebut sebagai filsuf dibandingkan sufi. Namun, pandangan-padangan filfusi tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan penganut sejati aliran mu’tazillah, tetapi ia berpaling pada mazhab Neo-platonisme. Oleh karena itu, ia dianggap mencoba menghidupkan kembali filsafat yunani kuno. Walaupun demikian, Ibn Masarrah tergolong seorang sufi yang memadukan paham sufistiknya dengan pendekatan filosofis.

b.        Ajaran tasawuf Ibn Masarrah
Diantara ajaran ajaran Ibn Masarrah adalah sebagai berikut :
1)        Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, dzuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian.
2)        Dengan penakwilan ala Philun atau aliran isma’iliyyah terhadap ayat ayat al-qur’an, iya menolak adanya kebangkitan jasmani.
3)        Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.[15]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf falsafi adalah ajaran yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasional (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal tuhan saaja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdat al-wujud (kesatuan wujud).
Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Sedangkan ciri khusus tasawuf falsafi yaitu mengonsepsikan pemahaman ajarannya dengan menggabungkan antara pemkiran rasional filosofis dan perasaan (dzauq), falsafi didasarkan pada latihan-latihan rohaniah (riyadhah), falsafi memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui beberapa hakikat realitas, dan tasawuf filsafi selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Para tokoh Tasawuf Falsafi dalam dunia islam cukup banyak yang berpengaruh dimasyarakat,  antara lain Ibn `Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.

B.     Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan dan membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertangung jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.


DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biograf dan Tokoh-tokoh Sufi. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amza, 2015.
Alba, Cecep. Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.




[1] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 33.
[2] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 70.
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 264-265.
[4] Nasution dan Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 33-34.
[5] Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 265-267.
[6] Ibid. 272.
[7] Nasution dan Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 34.
[8] Ibid. hlm. 35.
[9] Ibid. hlm. 36.
[10] Ibid. hlm. 36-37.
[11] Ibid. hlm. 38.
[12] Ibid. hlm. 39.
[13] Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 286.
[14] Ibid. hlm. 286-287.
[15] Ibid. hlm. 289.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar